Oleh
Citrapujiyati
Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Permasalahan tentang
anak jalanan seakan-akan tiada henti. Hal ini menimbulkan
permasalahan sosial yang kompleks, yang keberadaannya pun tidak
dianggap, bahkan diabaikan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya
masyarakat awam. Anak jalanan merupakan kategori anak yang tidak
berdaya. Mereka adalah korban dari para oknum yang tidak bertanggung
jawab. Hidup sebagai anak jalanan merupakan pilihan yang tidak
menyenangkan. Kehidupan mereka jelaslah berbeda dengan kehidupan
anak-anak pada umumnya. Mereka harus berjuang dan bertahan hidup di
tengah jalanan yang kejam demi dapat memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Mereka terkadang lebih memilih hidup di jalanan yang
sarat dengan kekerasan, karena hanya jalananlah yang mampu menafkahi.
Keberadaan anak jalanan juga selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Permasalahan yang sangat serius dan perlu mendapat perhatian lebih
dari masyarakat dan pemerintah. Hal ini juga bertujuan untuk
mengetahui tentang penyebab meningkatnya anak jalanan, selain itu
strategi dan upaya pemberdayaan terhadap anak jalanan melalui
pendidikan, kesehatan, keagamaan, peningkatan kreatifitas dan
keterampilan, etos kerja, bahkan pemberdayaan dalam keadilan dan
penegakan hukum.
Kata
Kunci
: Anak jalanan; kekerasan; masalah sosial; pendidikan; strategi
pemberdayaan
- Pendahuluan
Merebaknya anak
jalanan menjadi permasalahan yang sangat kompleks yang perlu
mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak, baik keluarga,
masyarakat, maupun pemerintah. Sejauh ini perhatian tersebut
nampaknya belum efektif dan solutif, belum memadai, belum terencana,
dan terintegrasi dengan baik. Anak jalanan merupakan kategori anak
yang tidak berdaya. Secara psikologis, anak jalanan adalah anak-anak
yang pada suatu taraf tertentu belum memiliki cukup mental dan
emosional yang kuat, sementara mereka harus bergelut dengan dunia
jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi
perkembangan dan pembentukan kepribadiannya (Itsnaini, 2010). Kondisi
yang sangat memprihatinkan. Jumlah anak jalanan dan anak terlantar
dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Keberadaan anak
jalanan dan anak terlantar sering terlihat di kota-kota besar di
Indonesia. Anak jalanan seharusnya dilindungi dan dijamin hak-haknya
sebagaimana anak pada umumnya agar menjadi manusia yang bermanfaat
dan bermasa depan cerah. Anak-anak perlu mendapatkan hak-haknya
secara normal sebagaimana layaknya, antara lain hak sipil dan
kemerdekaan (civil
right and freedoms),
lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family
environment and alternative care),
kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic
health and welfare),
pendidikan, rekreasi dan budaya (education,
leisure, and culture activities),
dan perlindungan khusus (special
protection)
(Darmawan, 2008 : 28). Hak-hak anak tersebut yang seharusnya diterima
oleh seorang anak belum dapat terpenuhi, sehingga seorang anak
terpaksa memilih untuk hidup di jalanan. Dalam UUD
1945 dinyatakan bahwa “anak terlantar itu dipelihara oleh Negara”.
Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan
pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak
asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan
hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan dalam Pengesahan
Konvensi
Hak-hak Anak (Convention
on the Right of the Child
) yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh
Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 telah
meletakkan dasar utama bagi pemenuhan hak-hak anak.
Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak menjelaskan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan termasuk anak jalanan”
(Herlina, Apong, 2003).
- Kehidupan Anak Jalanan
Siapa saja sih yang
disebut dengan anak jalanan ? Istilah yang sudah tidak asing lagi.
Istilah anak jalanan pertama kali sebenarnya diperkenalkan di Amerika
Serikat dan Brazil. Istilah itu digunakan pada kelompok anak-anak
yang hidup di jalan yang umumnya sudah tidak memiliki hubungan dengan
keluarganya. Anak-anak pada taraf ini sering diasumsikan anak-anak
yang terlibat dalam hal kriminalitas. UNICEF lalu memakai istilah
hidup di jalanan untuk mereka yang sudah tidak mempunyai ikatan
dengan keluarga, bekerja di jalanan untuk mereka yang masih mempunyai
hubungan dengan keluarganya.
Departemen Sosial RI (Murniatun, 2004) menjelaskan definisi anak
jalanan sebagai anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan ataupun tempat-tempat umum
lainnya.
Sedangkan
dalam Konvensi
Hak-hak Anak (Convention
on The Right of The Child)
dinyatakan bahwa anak adalah setiap individu yang berusia di bawah 18
tahun. Atau dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Selain itu dalam Undang-undang Republik
Indonesia nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, dinyatakan
bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan
belum pernah menikah.
Anak jalanan
kesehariannya dihabiskan di jalanan. Mereka memenuhi kebutuhannya
sendiri dengan mengais rezeki di tengah-tengah jalanan yang keras
tanpa kasih sayang dari orang tua. Meskipun lelah dan peluh tak
mereka hiraukan, karena memang sisi kehidupan mereka yang lebih
senang berada di jalanan. Tidak ada seseorang yang mengatur kehidupan
mereka. Mereka dapat melakukan hal apa saja sesuai dengan keinginan
diri mereka. Kapan saja dan dimana saja mereka inginkan. Dalam
realita sehari-hari, tindak kejahatan atau eksploitasi seksual akan
sering terjadi terhadap anak dan anak jalananlah yang paling rentan
menjadi korban tindak kejahatan tersebut. Anak jalanan terdiri atas
beberapa kelompok yang keberadaannya menimbulkan masalah, terutama di
sudut-sudut kota besar. Anak jalanan membutuhkan perhatian lebih
besar dari banyak pihak bukan untuk diasingkan atau dikuncilkan dan
dibuang semena-mena tanpa dibekali sesuatu yang bermanfaat bagi hidup
mereka. Secara garis besar ada dua kelompok anak jalanan, (1)
Kelompok anak jalanan yang bekerja dan hidup di jalanan. Seluruh
kegiatan dan aktifitas sehari-hari mereka dilakukan di jalanan, tidur
dan menggelandang secara berkelompok; (2) Kelompok anak jalanan yang
bekerja di jalanan, namun masih pulang ke rumah orang tuanya (Dewi,
2013).
Pekerjaan yang
mereka lakukan juga bermacam-macam. Mulai dari hal kecil hingga hal
yang berbahaya. Biasanya pekerjaan yang mereka lakukan di jalanan
sebagai penyemir sepatu, penjual asongan, pengamen, pengemis di
persimpangan jalan atau di terminal, pengelap kaca mobil, parkir
liar, bahkan membersihkan bus umum. Apa saja akan mereka lakukan di
jalanan demi mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksud bukan
hanya jalan raya saja, melainkan juga tempat-tempat lain seperti
pasar, alun-alun kota, pusat pertokoan, taman kota, emperan took,
terminal, dan stasiun. Himpunan Mahasiswa
Pemerhati Masyarakat Marjinal (HIMMATA) mengelompokkan anak jalanan
menjadi dua golongan, yakni anak semi jalanan dan anak jalanan murni.
Anak semi jalanan adalah anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan
di jalanan, namun masih memiliki hubungan erat dengan keluarganya.
Anak jalanan murni adalah anak-anak yang hidup dan mencari
penghidupan di jalanan serta tidak memiliki hubungan erat dengan
keluarga (Asmawati, 2001). Sementara itu seperti yang dikemukakan
oleh Tata Sudarajat (1999) anak jalanan dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu yang pertama, anak yang putus hubungan dengan keluarganya,
tidak bersekolah, dan hidup di jalanan (childen
the street).
Kedua, anak yang berhubungan tidak teratur dengan keluarganya, tidak
bersekolah, tetapi kembali kepada orang tuanya seminggu sekali, dua
minggu sekali, atau sebulan sekali, yang biasanya disebut dengan anak
yang bekerja di jalanan (children
on th street).
Dan ketiga, yaitu anak yang masih bersekolah, atau sudah tidak
bersekolah, kategori ini masuk dalam kelompok anak yang rentan
menjadi anak jalanan (vulnerable
to be street children).
Hal senada juga
disampaikan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (Dewi, 2013)
mengelompokkan anak jalanan menjadi empat kelompok, antara lain
sebagai berikut. (1) Anak-anak yang tidak memiliki hubungan lagi
dengan orang tuanya (children
of the street).
Mereka tinggal 24 jam di jalanan yang sebagai ruang hidupnya.
Hubungan dengan orang tuanya sudah terputus. Kelompok anak ini
merupakan kelompok anak jalanan yang disebabkan karena faktor
psikologis keluarganya, mereka mengalami kekerasan, penyiksaan,
bahkan perceraian orang tua, sehingga mereka tidak mau kembali ke
rumah, karena kehidupandi jalanan dan solidaritas antar sesama teman
sudah menjadi ikatan dalam hidup mereka; (2) Anak –anak yang
memiliki hubungan tidak teratur dengan orang tua mereka dan bekerja
di jalanan (children
on the street).
Jadi mereka pulang ke rumah setelah beberapa minggu ata beberapa
bulan sekali. Seringkali mereka diidentikkan sebagai pekerja migran
kota yang pulang tidak teratur. Tempat tinggal mereka umumnya di
lingkungan kumuh bersama dengan teman-teman senasibnya; (3) Anak-anak
yang memiliki hubungan teratur dengan orang tua mereka. Tinggal
bersama orang tua mereka, beberapa jam sebelum atau sesudah sekolah.
Mereka turun ke jalan biasanya dimotivasi karena ajakan teman,
belajar mandiri, membantu orang tua atau disuruh orang tua. Dan
biasanya mereka menjadi penjual koran; (4) Anak-anak jalanan yang
berusia diatas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari
pekerjaan. Pada umumnya mereka sudah lulus SD bahkan ada yang lulus
SLTP. Biasanya mereka adalah kelompok urban yang mengikuti orang tua
atau saudaranya ke kota. Pekerjaan yang mereka lakukan biasanya
mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan atau kuli
panggul, pedangan asongan, pengamen, pengemis, dan pemulung.
Keuntungan yang mereka dapatkan tidaklah seberapa, namun itu semua
harus mereka lakukan agar dapat bertahan hidup di tengah kerasnya
jalanan.
- Sebab Meningkatnya Anak Jalanan
Keberadaan anak-anak
jalanan terutama di kota-kota besar sudah sangat lazim terlihat. Dari
tahun ke tahun jumlahnya pun selalu meningkat. Hal ini tentu saja
membawa dampak buruk bagi anak jalanan itu sendiri dan lingkungan
dimana mereka berada yang seharusnya dapat tumbuh secara wajar.
Keberadaan mereka di jalanan selalu berdampak negatif. Mereka akan
sangat rentan terhadap situasi yang buruk seperti tindak
kriminalitas, korban eksploitasi, tindak kekerasan, penyalahgunaan
narkoba, sampai pelecehan seksual. Dalam konteks permasalahan anak
jalanan ini, yang dianggap menjadi penyebab utama munculnya anak-anak
jalanan adalah kemiskinan. Peningkatan angka penduduk miskin telah
mendorong munculnya anak yang putus sekolah dan meningkatnya
anak-anak terlantar serta anak jalanan. Hal ini terlihat dari latar
belakang sosial ekonomi keluarga yang datang dari daerah-daerah
miskin di pedesaan ataupun lingkungan kumuh di perkotaan. Tetapi,
mereka tetap saja bertahan dan terus saja bertambah seiring
berkembangannya laju pembangunan.
Menurut Pedoman
Pelayanan Sosial Anak Terlantar (Departemen Sosial RI, 2008 ) masalah
anak terlantar dapat dilihat dari beberapa perpektif, antara lain :
anak terlantar yang mengalami masalah dalam sistem pengasuhan,
seperti yang dialami anak-anak yatim piatu, anak dari orang tua
tunggal, anak dengan ayah/ibu tiri, anak dari keluarga yang kawin
muda, anak yang tidak diketahui asal-usulnya (anak yang dibuang orang
tuanya); anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhan, seperti
anak yang terlibat dalam tindak kekerasan baik secara fisik, sosial,
maupun psikologis, anak yang mengalami eksploitasi ekonomi dan
seksual bahkan anak yang diperdagangkan; anak yang kebutuhan dasarnya
tidak terpenuhi, seperti anak yang kurang gizi dan anak yang sudah
tidak bersekolah atau putus sekolah. Hal seperti inilah yang banyak
terjadi pada anak-anak jalanan. Meskipun demikian, satu-satunya
penyebab utama munculnya anak-anak jalanan bukan hanya kemiskinan.
Banyak faktor yang menyebabkan muncul dan berkembanganya anak
jalanan. Parsudi Suparlan (1984 : 36) mengatakan bahwa adanya orang
gelandangan di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah
kota, melainkan karena tekanan-tekanan ekonomi dan rasa tidak aman
sebagai warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tepat yang
diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih
baik di kota.
Anak
jalanan dilihat dari penyebab intensitasnya mereka berada di jalanan
memang tidak dapat disamaratakan. Dilihat dari sebabnya, sangat
dimungkinkan tidak semua anak-anak berada di jalan karena sebab
tekanan ekonomi keluarga, namun juga perlu diperhatikan
variable-variabel lain yang mendukung anak-anak hidup di jalanan,
seperti kekerasan dalam keluarga, perpecahan dalam keluarga, atau
pengaruh dari lingkungan sosialnya (Subhansyah, Aan T, 1996 ). Faktor
yang paling menonjol yang menjadi penyebab timbulnya anak jalanan
yaitu faktor kesulitan dalam kondisi sosial ekonomi, di samping itu
juga karena adanya faktor broken home, faktor kekerasan dalam
keluarga, dorongan dari orang tua, rendahnya tanggung jawab orang tua
terhadap anak, dan sulit mendapat layanan pendidikan secara maksimal
juga menjadi faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan serta
anak-anak putus sekolah. Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun
selalu mengalami peningkatan. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia
sejak pertengahan tahun 1997 diyakini banyak pihak sangat berpengaruh
terhadap peningkatan jumlah anak jalanan di Indonesia (Kushartati,
2004). Berdasarkan data resmi, diperkirakan jumlah anak jalanan
sekitar 50.000 pada tahun 1998 (Anwar dan Irwanto, dalam Shalahuddin,
2000). Kesalahan dalam manajemen pembangunan nasional memang membawa
dampak positif maupun dampak negatif. Bukan hanya dampak positif yang
dirasakan, akan tetapi dampak negatif pun dirasakan lebih
memprihatinkan. Anak jalanan banyak bermunculan mulai dari alun-alun
kota, pasar, pusat pertokoan, bioskop, jalan raya, persimpangan
jalan, stasiun, terminal, dan mall. Sekarang, kondisi anak-anak
jalanan kian terpuruk dan sudah dapat dilihat dari kondisi fisiknya
saja. Keberadaannya yang semakin besar jumlahnya dirasakan semakin
mencemaskan karena mereka merupakan generasi penerus bangsa yang
terabaikan.
Menurut catatan
Dinas Sosial DKI Jakarta, sedikitnya ada 4.023 anak jalanan yang
tersebar di 52 wilayah di Jakarta (Abin, 2003). Dalam tiga tahun
terakhir ini, jumlah anak jalanan di Jakarta juga meningkat secara
signifikan. Data yang didapat dari Dinas Sosial DKI Jakarta bahwa
jumlah anak jalanan pada tahun 2009 sebanyak 2.724 anak, pada tahun
2010 meningkat menjadi 5.650 anak, sedangkan pada tahun 2011 juga
mengalami peningkatan menjadi 7.315. Mereka sebagian besar bekerja
sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, pengelap kaca mobil,
penyemir sepatu, pembersih bus umum, dan joki 3 in 1, dan parkir liar
(Kompas, 24 Agustus 2011). Dinas Sosial propinsi DIY pada tahun 2010
juga mencatat jumlah anak terlantar pada tahun 2009 sebanyak 36.468
anak. Ini tersebar pada lima kabupaten, antara lain di Kabupaten
Kulon Progo terdapat 8.070 anak, Kabupaten Bantul terdapat 5.153
anak, Kabupaten Gunung Kidul terdapat 9.236 anak, Kabupaten Sleman
sebanyak 9.453, dan di Kota Jogja sebanyak 816 anak, jumahnya 36.468
anak. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah anak jalanan di Yogyakarta
mengalami penurunan menjadi sebanyak 32.728 anak terlantar. Jumlah
anak jalanan di Yogyakarta tergolong sangat besar. Selain itu,
berdasarkan data dari Yayasan Setara kota Semarang pada tahun 2007,
bahwa selama tiga tahun terakhir di Kota Semarang terdapat sebanyak
416 anak jalanan (Wijayanti, 2010). Menurut paparan dari ketua PAJS
(Persatuan Anak Jalanan Semarang) Winarto, anak-anak jalanan lebih
banyak berasal dari kota Semarang, yaitu sebesar 60 persen. Dari
daerah lain diluar kota Semarang diperkirakan hanya sebesar 40
persen, mereka berasal dari Purwodadi atau Demak. Pekerjaan yang
dilakukan mereka pun beraneka ragam. Menurut data penelitian PAJS,
anak jalanan yang pekerjaannya sebagai pengamen terdapat sebanyak
41,1 persen, sebagai tukang semir sebanyak 22,2 persen, penjual koran
sebanyak 15,6 persen, ciblek 7,8 persen, dan sisanya bekerja sebagai
apa saja, termasuk menjadi mayeng (pemungut barang sampah). Mereka
menyebar di berbagai sudut kota di Semarang, seperti di kawasan Tugu
Muda, Simpang Lima, di pasar Johar, Bundaran Kalibanteng, Perempatan
Metro, di Pasar Karangayu, dan Swalayan ADA Banyumanik (Jawa Pos, 21
Juli 2008).
Berdasarkan
informasi dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008),
jumlah anak jalanan sebesar 232.984 jiwa. Jumlah tersebut cenderung
meningkat bila dibandingkan tahun 2007 sebanyak 104.000 anak dan
tahun 2006 sebanyak 144.000 anak (Yusuf, 2010). Dan dari jumlah
tersebut anak jalanan yang tertampung dalam rumah singgah hanya
sebesar 12% saja, sedangkan yang 50% masih bersama orang tuanya.
- Upaya Penanganan dan Pemberdayaan Anak Jalanan
Anak merupakan
generasi penerus masa depan bangsa. Kemajuan sebuah bangsa juga
ditentukan oleh generasi mudanya. Dapat dilihat bahwa kondisi
anak-anak di Indonesia kian memprihatinkan. Mereka tumbuh dan
berkembang dengan latar belakang kehidupan yang dekat dengan
kemiskinan, tindak kekerasan, hilangnya rasa kasih sayang orang tua,
dan rendahnya tanggung jawab dari orang tua, sehingga memicu mereka
untuk melakukan perilaku negatif. Hal ini dilihat dari makin
meningkatnya jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun. Anak jalanan
sebenarnya merupakan korban dari kebijakan pemerintah yang belum
tepat mengurus rakyat, penyalahgunaan amanah rakyat, yang berarti
pula mereka merupakan korban penyimpangan dari oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Pemerintah sebenarnya telah melakukan program
pengentasan masalah anak jalanan, akan tetapi dirasakan jumlah anak
jalanan belum berkurang, justru makin menambah. Pengentasan masalah
anak jalanan perlu disesuaikan dengan karakteristik mereka. Hal ini
juga perlu ditunjang oleh adanya sarana prasarana yang memadai demi
pengentasan masalah anak jalanan.
Adanya rumah singgah
bagi anak-anak jalanan juga merupakan salah satu cara pemberdayaan
anak jalanan. Rumah
singgah dapat berfungsi sebagai tempat pemusatan sementara yang
sifatnya nonformal, tempat dimana anak-anak dapat dan belajar untuk
memperoleh informasi, pengetahuan, wawasan, serta pembinaan diri awal
sebelum menuju kedalam proses pembinaan yang lebih lanjut. Secara
umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak jalanan
dalam mengatasi masalah-masalah dan menemukan alternatif untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya (Achmad, 2002). Melalui rumah singgah,
anak-anak jalanan yang masih berada di jalanan dapat dijangkau untuk
diberikan keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, melalui
beberapa program pendidikan luar sekolah. Seperti yang dikemukakan
oleh Kalida Muhsin (2005), keberadaan rumah singgah terhadap
anak-anak jalanan sangat penting peranannya untuk memperoleh masukan
yang berkaitan dengan pembinaan yang menanamkan nilai-nilai normatif
dan ilmu pengetahuan, serta kesempatan untuk bermain bersama-sama
dengan anak-anak yang lain. Melalui rumah singgah akan terbentuk
kembali sikap dan tingkah laku seorang anak yang sesuai dengan
aturan, nilai-nilai, dan norma yang berlaku di masyarakat dan
memberikan pendidikan moral dan karakter demi terwujudnya pemenuhan
dasar kebutuhan anak serta menyiapkan masa depan anak sehingga mampu
menjadi masyarakat yang bermanfaat, produktif, dan bermasa depan
cerah. Fungsi rumah singgah antara lain adalah (1) untuk tempat
perlindungan dari bentuk tindak kekerasan yang sering sekali menimpa
anak jalanan, baik penyimpangan seksual maupun bentuk tindak
kekerasan lain; (2) sebagai rehabilitasi, artinya menanamkan dan
menumbuhkan fungsi sosial anak; (3) sebagai tempat persinggahan
anak-anak jalanan juga sebagai akses pelayanan sosial seperti
pendidikan dan kesehatan (Itsnaini, 2010). Selain itu,
upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pemberdayaan anak jalanan
seperti pembuatan program peningkatan kesadaran masyarakat, yang
bertujuan agar tidak menelantarkan anak yang berujung menjadi anak
jalanan serta menumbuhkan empati masyarakat agar lebih peduli
terhadap anak jalanan. Lebih lanjut lagi, Keluarga Direktur
Kesejahteraan Sosial Anak, Harry Hikmat, mengatakan bahwa pemerintah
memiliki rencana dalam upaya pemberdayaan anak jalanan yang mengarah
pada pembinaan anak di dalam keluarga atau komunitasnya. Akan tetapi,
karena beragamnya masalah maka suatu program yang secara menyeluruh
menyertakan anak, keluarga, dan komunitasnya harus segera
dikembangkan. Hasil akhir program tersebut sebaiknya memberikan dua
pilihan pengasuhan anak, yaitu anak bersatu kembali dengan keluarga
dan komunitasnya supaya anak bisa mendapatkan hak-hak dasarnya dan
tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan tanggung
jawab, atau anak diasuh di pusat-pusat perkembangan anak (child
development center) seperti di Lombok, NTB (lihat selengkapnya
Republika Koran dalam Ginting, 2011).
Pemenuhan pendidikan
juga sangat penting bagi anak-anak jalanan. Seperti yang tercantum
dalam
Pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dijelaskan “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya termasuk anak jalanan” (Herlina, Apong,
2003). Pendidikan yang pada hakikatnya dapat mengubah pola pikir dan
perilaku seseorang menjadi lebih baik. Fasilitas dalam bidang
pendidikan misalnya melalui pendidikan kerja paket A, B, dan C bagi
anak jalanan yang sempat mengalami putus sekolah, pemberian motivasi
dan pembinaan. Lembaga
Kementerian Sosial juga bekerja sama dengan rumah singgah dan yayasan
yang menerima bantuan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA),
memfasilitasi pemberdayaan tersebut (lihat selengkapnya Republika
Koran dalam Ginting, 2011). Disamping
itu, pelatihan dan pemberdayaan
keterampilan serta potensi yang dimiliki anak jalanan seperti
keterampilan vokasional berbasis hobi, menyediakan wadah sebagai
tempat hasil karya anak-anak jalanan yang kemudian dapat dijual di
pasaran dan menghasilkan uang, serta penerbitan buku-buku dan iklan
layanan masyarakat (Jawa Pos, 14 April 2011 ). Berbagai upaya
preventif perlu dilakukan pemerintah agar harapan tentang
berkurangnya jumlah anak jalanan dapat terwujud. Dengan adanya progam
pemberdayaan anak jalanan tersebut diharapkan juga terwujudnya kerja
sama yang baik antara keluarga, masyarakat, lembaga sosial, bahkan
pemerintah, agar program pemberdayaan anak jalanan ini dapat
terlaksana dengan baik.
- Kesimpulan
Anak jalanan adalah
anak-anak yang pada suatu taraf tertentu belum memiliki cukup mental
dan emosional yang kuat. Mereka yang harus berjuang di tengah jalanan
yang keras maka cenderung mendapat pengaruh negatif bagi pembentukan
dan perkembangan kepribadiannya. Jumlah anak jalanan dan anak
terlantar dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Anak
jalanan terdiri atas beberapa kelompok yang keberadaannya menimbulkan
masalah, terutama di sudut kota-kota besar. Anak jalanan membutuhkan
perhatian lebih besar dari banyak pihak bukan untuk diasingkan atau
dikuncilkan dan dibuang semena-mena tanpa dibekali sesuatu yang
bermanfaat bagi hidup mereka. Secara garis besar ada dua kelompok
anak jalanan, yakni yang bekerja dan hidup di jalanan. Seluruh
kegiatan dan aktifitas sehari-hari mereka dilakukan di jalanan, tidur
dan menggelandang secara berkelompok, lalu anak jalanan yang bekerja
di jalanan, namun masih pulang ke rumah keluarganya. Keberadaan
anak jalanan di jalanan selalu berdampak negatif. Mereka akan sangat
rentan terhadap situasi yang buruk seperti tindak kriminalitas,
korban eksploitasi, tindak kekerasan, penyalahgunaan narkoba, sampai
pelecehan seksual. Dalam konteks permasalahan anak jalanan ini, yang
dianggap menjadi penyebab utama munculnya anak-anak jalanan adalah
kemiskinan. Peningkatan angka penduduk miskin telah mendorong
munculnya anak yang putus sekolah dan meningkatnya anak-anak
terlantar serta anak jalanan. Keberadaannya yang semakin besar
jumlahnya dirasakan semakin mencemaskan karena mereka merupakan
generasi penerus bangsa yang terabaikan. Pemerintah sebenarnya telah
melakukan program pengentasan masalah anak jalanan, akan tetapi
dirasakan jumlah anak jalanan belum berkurang, justru makin menambah.
Adanya rumah singgah bagi anak-anak jalanan juga merupakan salah satu
cara pemberdayaan anak jalanan. Selain itu program pemenuhan
pendidikan, pengembangan dan pelatihan kreatifitas yang sesuai dengan
bakat dan minat yang dimiliki anak jalanan juga merupakan upaya
pemberdayaan anak jalanan. Diperlukan kerja sama yang baik antara
keluarga, masyarakat, lembaga sosial, bahkan pemerintah, agar program
pemberdayaan anak jalanan ini juga dapat terlaksana dengan baik.
Daftar
Pustaka
Abin,
Syamsuddin. 2003. Psikologi
Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Achmad, Arief. 2002.
Rumah
Singgah Sebagai Tempat Alternatif Pemberdayaan Anak Jalanan.
Dalam Jurnal Fajar. Jakarta: LPM UIN, hlm 1
Afifah, Riana. 2011.
Jumlah
Anak Jalanan Meningkat Signifikan.
Kompas. Jakarta. 24 Agustus. Diunduh dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/08/24/1641249/Jumlah.Anak.Jalanan.Meningkat.Signifikan
Amandemen IV.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Tentang Hak Asasi Manusia.
(Surakarta: Al-Hikmah. 2002), hlm. 14
Asmawati. 2001. Anak
Jalanan Dan Upaya Penanganannya Di Kota
Surabaya.
Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/Nov 1999
Darmawan, W. 2008.
Peta
Masalah Anak Jalanan dan Alternatif Model Pemecahannya Berbasis
Pemberdayaan Keluarga dalam HTML Docoment,
21 Januari, hlm.28
Dewi, Ni Luh Putu
Sintya. 2013. Menanggulangi
Masalah Anak Jalanan.
Diunduh dari
(http://indreamy.blogspot.com/2013/02/artikel-menanggulangi-masalah-anak.html)
pada 20 September 2013
Departemen
Sosial Propinsi DIY. 2010. Populasi
Anak Jalanan di DI Yogyakarta.
Yogyakarta
Departemen Sosial
RI. 2008. Populasi
Anak Jalanan di DI Yogyakarta.
Yogyakarta: Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar
Ginting, Selamat.
2011.
Berdayakan Anak.
Republika. Jakarta. 31 Mei. Diunduh dari (http://republikaonline.com)
pada 23 September 2013
Herlina, Apong dkk.
2003. Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Harapan Prima
Itsnaini, Mursyid.
2010. Pemberdayaan
Anak Jalanan Oleh Rumah Singgah Kawah di Kelurahan Klitren,
Gondokusuman, Yoyakarta.
Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Jawa Pos. 21 Juli
2008. Jumlah
Anak Jalanan Cenderung Meningkat.
Diunduh dari (http://www.jawapos.co.id)
pada 23 September 2013
Jawa Pos. 14 April
2011.
Upaya Penanganan Anak Jalanan.
Diunduh dari
(http://pecintapena.wordpress.com/2011/06/04/upaya-penanganan-anak-jalanan/)
pada 20 September 2013
Kushartati, Sri.
2004. Pemberdayaan
Anak Jalanan.
Vol 1 (No. 2): 45-54 (Humanitas
: Indonesia Psychologycal Journal)
Muhsin,
Kalida. 2005. Sahabatku
Anak Jalanan.
Yogyakarta: Alief Press, hlm 28
Murniatun. 2004.
Problematika
Anak Jalanan, Studi Mengenai Pengamen Jalanan di Kota Yogyakarta.
Laporan penelitian praktikum II. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada
Shalahuddin,
O. 2000. Anak
Jalanan Perempuan.
Semarang: Yayasan Setara
Shalahuddin, O. dan
Prasetio, YD. 2000. Eksploitasi
Seksual terhadap Anak (Berbagai Pengalaman Penangannya).
Semarang: Yayasan Setara
Subhansyah, Aan T,
dkk. 1996. Anak
Jalanan di Indonesia, Dekripsi Persoalan dan Penangan.
Yogyakarta: YLPS Humana
Sudrajat, T. 1999.
Isu
Prioritas Dan Program Intervensi Untuk Menangani Anak Jalanan.
Jurnal
Hakiki
Vol 1/No 2/Nov
Suparlan, Parsudi.
1984. Gelandangan:
Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota,
dalam
Gelandangan
Pandangan Ilmu Sosial,
Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES), hlm. 36
Wijayanti, P. 2010.
Aspirasi
Hidup Anak Jalanan Semarang.
Sebuah Studi Kualitatif dengan Pendekatan Deskriptif di daerah
Siranda, Semarang.
Semarang. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Yusuf. 2010. Melirik
Kondisi Kejiwaan Anak Jalanan.
Diunduh dari
(http://news.okezone.com/read/2010/05/17/58/333230/melirik-kondisi-kejiwaan-anak-jalanan)
pada 23 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar