PERTENTANGAN WACANA POLIGAMI
Noviana
Ayu Pratiwi
Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang
Gedung H Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 505229, Jawa Tengah
Tel/Fax : 085741089091; Email: NovianaAyuPratiwi@gmail.com
Abstrak
Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Pengembangan Karya Ilmiah. Dengann dibuatnya karya ilmiah ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. analisis wacana kritis telah menjadi
pendekatan interdisipliner yang sangat berpengaruh, yang memandang wacana
sebagai bentuk praktek sosial. wacana antipoligami, sebagai praktek sosial
bertahan untuk sepanjang waktu yang lalu di Indonesia, menawarkan diskusi yang
menantang dalam perspektif analisis wacana kritis. Teun van dijk,
mengartikulasikan sebagai salah satu pelopor dari analisis wacana kritis
ideologi sebagai dasar dari representasi sosial kelompok. Selanjutnya, dia
menganjurkan sebuah antarmuka sosial kognitif antara struktur sosial dan
struktur wacana. dalam pandangan ini, setiap kali kelompok sosial, termasuk
produsen teks antipoligami, menyuarakan keyakinan mereka ke dalam sebuah
pernyataan bergabung: dengan menggunakan apa strategi produksi wacana ideologis
mereka berbagi ideologi mereka kepada publik. pernyataan sama yang dikeluarkan pada bulan Desember 2006, yang berisi
definisi yang luas dari poligami dalam arti negatif, sebenarnya merupakan
strategi lain representasi negatif yang digunakan oleh produsennya.
Kata kunci: Poligami;
Antipoligami; ideologi, Analisis wacana kritis; pernyataan bersama.
PENDAHULUAN
Sebuah wacana
mengamban fungsi. Wacana anti poligami merangkai berbagai teks, baik lisan
maupun tulisan., yang ditujukan untuk menyatakan ketidak setujuan terhadap
praktik poligami, yang secara denotative didefinisikan sebagai ‘sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberawa lawan jenisnya
dalam waktu yang bersama’ (Kamus Besar
Bahasa Indonesia 2001 dalam Untung 2008:3). Secara praktis di Indonesia
poligami dibatasi dalam arti yang sama dengan poligini, yaitu ‘sistem
perkawinan yang membolehkan seseorang pria memiliki beberapa wanita sebagai
istrinya dalam waktu yang bersamaan’ (Kamus
Besar Bahasa Indonesia 2001 dalam Untung 2008:3) karena lembaga perkawinan
Indonesia mengijinkan poligini, namun tidak poliandri. Untuk selanjutnya, kata poligami digunakan dalam tulisan ini.
Secara historis,
polemic tentang poligami telah muncul seiring dengan perjuangan Bangsa
Indonesia pada masa colonial. Setidaknya sejak tahun 1910-an dan 10920-an,
perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam menentang poligami tertandai dalam
sejarah (Locher-Scholten 2003:40). Nasionalisme, di samping kesadaran sebagai
manusia yang mempunyai harkat dan martabat, yang mulai mengakar dalam jiwa
perempuan Indonesia memicu penentangan perempuan terhadap poligami dalam wujud
sistem Nyai, yaitu hidup bersama antara perempuan Indonesia dan orang asing,
terutama orang eropa dan Tionghoa (Locher-Scholten 2003:43). Protes-protes yang
disuaraan organisasi perempuan Indonesia ketika itu sudah mengimplikasikan
konstruksi gender.
Permasalahan tentang
poligami selalu timbul dan kemudian akan tenggelam kembali, namun selalu
menjadi isu yang rentan. Setiap kali terjadi peristiwa yang berkaitan dengan
poligami, pada saat itulah polemic setuju-tidak setuju terhadap poligami pun
muncul. Misalnya saja peristiwa besar yang mengangkat kembai polemic poligami
adalah perkawinan Soekarno, Presiden pertama Indonesia, dengan Hartini pada
tahun 1945. Soekarno pada saat itu masih menjalani ikatan perkawinan dengan
Fatmawati. Sebagai reaksi atas poligami yang di lakukan Soekarno, Perwani
(Persatuan Wanita Indonesia) menyerukan kembali disusunnya UU Perkawinan, yang
telah di suarakan sejak taahun 1928 (Wattie 2002 dalam Untung 2008:3)
Sebagai sebuah wacana
yang dilancarkan untuk mencapai tujuan tertentu, wacana antipoligami dihasilkan
dengan menggunakan strategi. Strategi yang digunakan oleh penghasil wacana yang
satu berbeda dengan yang lain. Jika wacana propoligami dilancarkan pada umumnya
dengan berdasarkan kerangka acuan tekstual,
seperti kitab suci, wacana antipoligami sebagaiwacana kontra atas wacana poligami tentu dapat menggunakan
strategi yang sama atau yang lain. Dalam pandangan Van Dijk (2004a, 2004b),
strategi produksi wacana berkaitan dengan ideology penghasilan wacana. Jika
pada umumnya penghasil wacana propoligami membenarkan poligami berdasarkan
firman Tuhan dalam ayat-ayat kitab suci, hal itu berarti bahwa ideologi agamis
berada di balik pembenaran itu.
STRATEGI PRODUKSI WACANA
IDEOLOGI: KERANGKA ANALISIS
Van
Dijk (2004a) membatasi ideology sebagai sistem keyakinan yang dibagi ecara
sosial oleh para aktormsosial. Dengan kata lain, keyakinan klektif menjadi
kunci pertama untuk memahami ideology. Namun, ada pintu berikutnya yang menandai batasan ideology. Ideology
tidak hanya merupakan keyakinan sosial, namun lebih fundamental atau
aksiomatis. Ideology mengontrol dan mengarahkan keyakinan pihak lain dalam
hubungan sosial, misalya ideology rasisme mengontrol perilaku dalam imigrasi –
sebagai contoh konkretnya, petugas imigrasi memperketat pengawasan terhadap
orang-orang tertentu. Selanjutnya, sebagai iandasan sosiokognitif kelompok
sosial, ideology secara bertahap menjadi stabil, diyakini oleh lebih bannyak
penganut, atau terkadang berubah, tidak diyakini lagi, bergantung pada zaman.
Van
Dijk (2004b) kemudian menyatakan bahwa ideology merupakan dasar aksiomatis
penggambaran sosial sebuah kelompok sosial, yang melaluin perilaku sosial dan
mental (sosiokognitif) tertentu, mengontrol wacana sendiri dan akhirnya melebar
menjadi mengontrol praktik sosial kelompok sosial yang, yang lain. Dalam hal
ini dapat terjadi kerjasama, koordinasi, persaingan, konflik, atau perjuangan.
Dalam konteks perdebatan tentang poligami yang akan dikaji lebih lanjut dalam
tulisan ini, pertentangan antara ideologi feminism dan ideologi patriarki dapat
menjadi contoh. Secara historis kultural, wacana propoligami yang berlandaskan
ideology agamis-patriarkal, yang muncul lebih dahulu dalam praktis sosial, kini
menghadapi upaya pengontrolan dari wacana kontra terhadapnya, yaitu wacana
feminisme.
Ideology
dapat disamarkan atau disembunyikan dalam teks. Seorang rasis mungkin tidak
mengatakan bahwa dirinya rasis sehingga ia menyampaikan pandangan-pandangannya
tentang pekerja asing atau imigran, misalnya. Dalan teks yang menyembunyikan
atau menyamarkan ideology yang duanut oleh kelompok sosial penghasil teks,
penggambaran sosial yang dilakukan oleh penghasil teks itu terhadap kelompok
sosial yang lain menjadi hal yang penting. Penggambaran sosial yang demikian
merupakan atrategi produksi wacana ideology dalam istilah Van Dijk (2004b).
POLIGAMI
DAN TUNTUTAN REVISI UU PERKAWINAN: ANALISIS PROPOSISI MAKRO DALAM STATEMENT
BERSAMA (Untung Yuwono dalam Jurnal Ilmu Pengetahun Budaya 2008:7)
Topic
wacana memainkan peran yang mendasar dalam komunikasi dan interaksi (Van Dijk
dalam Wodak dan Meyer 2001:101). Dengan memahami topik, apa yang dibicarakan
secara global dalam wacana dapat diketahui. Topik merupakan ide yang terwujud
dalam setiap informasi terpenting yang termuat dalam teks. Tidak hanya itu,
topik juga menciptakan kepaduan teks. Artinya, topik-topik yang mendukungsuatu
bahasan akan menciptakan kepaduan teks. Dengan demikian, dalam satu teks,
mungkin saja terdapat lebih dari satu topik. Namun menurut (Van Dijk dalam
Wodak dan Meyer 2001:102), topic tidak dapat diamati secara langsung oleh
pemerhati wacana, namun dipahami atau ditetapkan secara berproses.
Bagaimanapun, terkadang ada peranti wacana yang memberikan petunjuktentang
topic, seperti judul, anak judul, dan simpulan. Untuk menemukan topic wacana,
(Van Dijk dalam Wodak dan Meyer 2001:103) menyarankan upaya penemuanproposisi
makro, yang kira-kira merupakan setiap pernyataan penting dalam teks yang
mempunyai benang merah untuk disimpulkan dalam
tingkat yang lebih tinggi (topic wacana).
Statemen
bersama memuat proposisi makro yang diwijudkan secara konkret terutama pada
judul (PM1) dan anak judul (PM1, PM2, dan PM3) berikut:
PM1 Poligami adalah diskriminasi dan kekerasan
terhadap perempuan dan anak
PM2 Poligami memiskinkan dan merendahkan
maartabat perempuan
PM3 Revisi
UU Perkawinan merupakan salah satu upaya untuk menghapuskan Poligami
Pemuatan
tiga proposisi makro yang berurutan dan terbuka sedemikian rupa pada judul dan
anak judul berkaitan erat dengan situasi penyampaian teks, yaitu bahwa teks
Statement Bersama ditujukan untuk masyarakat luas dan berbicara tentang wacana
public yang sedang hangat-hangatnya diperdebatkan. Agar apa yang dibicarakan
dalam teks cepat dipahami oleh masyarakat luas, setiap pokok pikiran dalam teks
perlu ditonjolkan.
SIMPULAN
Dari
sudut metawacana, jika wacana antipoligami dipersempit pada awal-awal tahun
2000, makin kuatnya suaran feminis di Indonesia dalam menentang poligami
merupakan sambutan hangat atas harapan kalangan antipoligami dalam menemukan
argumentasi-argumentasi baru tentang kenegatifan poligami. Suhadi (2002 dalam
Untung 2008:20), sebagai contoh, mengusulkan agar perempuan lebih mengedepankan
wacana factual tentang ketidakadilan alih-alih melayani argumentasi yang
dilancarkan oleh kalangan propoligami dari sudut wacana agama, kecuali jika
kritik wacana agama dilancarkan tidak untuk tujuan membuat klaim bahwa agama
(Islam) sebenarnya antipoligami. Ia kemudian melihat peluang cerah bagi
kalangan feminis untuk menyampaikan suara ketidaksetujuan terhadap poligami.
DAFTAR
PUSTAKA
Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. “Morals, harmony and
national identity: ‘Companiate feminism’ in colonial Indonesia in the 1930”, Journal of Women’s History (Winter):14,4.
Untung Yuwono. 2008. Ketika Perempuan Lntang Menentang
Poligami. WACANA: Jurnal Ilmu Pengetahuan
Budaya. Vol.10:1-22.
Van Dijk, Teun A. 2004a. “ Ideology and discourse
analysis”, (http://www.discourses.org/) diakses 26 Desember 2013.
Van Dijk, Teun A. 2004b. “Politics, ideology and
discourse”, (http://www.discourses.org/) diakses 26 Desember 2013.
Wodak, Ruth dan Michael Meyer. 2001. Methods of
Critical discourse analysis. London: Sage.
LAMPIRAN
29 Desember 2013 – 10:19 (Diposting oleh: em)
Gambar: WACANA 1 |
Gambar: WACANA 2 |
Gambar: WACANA 3 |
Gambar: WACANA 4 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar