Oleh A.Niam Ibna Riza
Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Mencemaskan bila melihat kejadian-kejadian negatif yang melibatkan
pelajar di Indonesia, misalnya saja tawuran antar pelajar yang tak kunjung
usai, narkoba, bahkan kasus video mesum. Hal tersebut terjadi karena hilangnya
nilai-nilai moralitas yang luntur akibat kurangnya kepedulian sekolah.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak hanya mendidik para
santri ilmu agama, melainkan juga membekalinya dengan akhlak yang menjadi
karakter khas dari seorang santri. Karena itu, tidak berlebihan ketika
pesantren dikatakan sebagai sumber pendidikan karakter untuk menjawab persoalan
bangsa. Kasus yang banyak terjadi pada siswa ialah karena kurangnya pendidikan
karakter pada diri mahasiswa.
Satu hal kekhasan yang dimiliki oleh pesantren dan sangat sulit
ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya adalah kuatnya penanaman akhlak-akhlak
terpuji. Label ‘santri’ pun secara dzahir telah identik dengan keshalehan, baik
itu secara individu maupun sosial. Hal ini wajar, karena pembiasaan aplikasi
akhlak terpuji telah mendarah daging dalam dunia pendidikan pondok pesantren.
Kyai sebagai sentral figur di dalamnya memberikan uswah dan qudwah hasanah
dalam pendidikan akhlak. Karena penanaman akhlak lebih mengena dengan perbuatan
daripada penjejalan materi di dalam kelas, maka pendidikan akhlak di pondok
pesantren sangat mengena di benak para santrinya. Itu pulalah ternyata yang
menginspirasi Kemendiknas untuk memasukan unsur-unsur pendidikan karakter di
sekolah-sekolah, yang diakui terinspirasi dari pendidikan akhlak pondok
pesantren.
Tujuan dari pendidikan ialah meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang (Pasal 31 ayat 3) Dalam pasal ini dijelaskan bahwa tujuan
dari pendidikan di Indonesia adalah bertujuan meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta ahlak mulia pada pelajar pada realitanya seperti jauh api dari
panggang. Sistem pengajaran yang diberikan sekolah terhadap siswanya sebagian
besar ialah hanya berorientasi kepada kecerdasan intelektual semata (intelegensia)
sedangkan penanaman nilai-nilai karakter (character education) pada
diri sisawa sangat kurang sekali.
Dalam tulisan ini saya membahas tentang bahasan mengenai pola
pendidikan di pesantren, dan juga penanaman nilai-nilai dalam menuntut ilmu
Kata Kunci : Pesantren, Moral Pelajar, Pendidikan, Nilai-nilai
Karakter
1.
Pendahuluan
Melihat
pendidikan Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan. Banyak kasus pelajar saat
ini tidak mencerminkan sikap “kaum terpelajar”. Contoh riilnya kejadian tawuran
yang tak kunjung selesai, belum lagi kasus narkoba, tindakan asusila yang
[bahkan] melibatkan gurunya sendiri (lihat detik.com, 2013).
Apabila kita
melihat pada undang-undang tentang sistem pendidikan dijelaskan bahwa tujuan
dari pendidikan ialah meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang
(Pasal 31 ayat 3) Dalam pasal ini dijelaskan bahwa tujuan dari pendidikan di
Indonesia adalah bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak
mulia pada pelajar pada realitanya seperti jauh api dari panggang. Sistem
pengajaran yang diberikan sekolah terhadap siswanya sebagian besar ialah hanya
berorientasi kepada kecerdasan intelektual semata (intelegensia) sedangkan
penanaman nilai-nilai karakter (character education) pada diri sisawa
sangat kurang sekali. Peserta didik dituntut hanya cerdas intelektual dengan
mampu mengerjakan soal-soal ujian dan mempunyai keterampilan dan bakat tetapi
pada satu sisi seperti pendidikan moral dan perilaku adab sopan santun dan
berperilaku jujur sangat sedikit sekali ditanamkan, para pendidik merasa cukup
dengan mengajarkan keterampilan dan pengetahuan dan menganggap adab, sopan
santun perilaku itu akan mnucul dengan sendirinya setelah memiliki pengetahuan
yang cukup, padahal kita tahu bersama bahwa karakter sangat banyak ditentukan
oleh lembaga pendidikan dan lingkungan.
Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren tidak hanya mendidik para santri ilmu agama, melainkan
juga membekalinya dengan akhlak yang menjadi karakter khas dari seorang santri.
Karena itu, tidak berlebihan ketika pesantren dikatakan sebagai sumber
pendidikan karakter untuk menjawab persoalan bangsa. Kasus yang banyak terjadi
pada siswa ialah karena kurangnya pendidikan karakter pada diri siswa.
Dalam institusi
pesantren ketika ada seorang santri yang pertama masuk bukan langsung didik
denagn ilmu-limu pengetahuan seperti ilmu nahwu, sorof, balaghoh, mantiq dan
bayan tetapi para santri terlebih dahulu diajari adab sopan santun dan
ketakdziman terhadap sang kiai, oleh karena itu biasanya kitab yang pertama
kali adalah kitab ta’lim almuta’alim dalam kitab tersebut memuat tentang adab
seroang santri ketika belajar, oleh karena itu walaupun mungkin ada tapi sangat
sedikit sekali santri yang tawuran dangan santri lainya, santri yang membunuh
gurunya atau santri yang terlibat dengan skandal sex bebas dan narkoba, dalam
pandangan penulis keberhasilan penanaman karakter tersebut bukan saja
disebabakan oleh didikan agama saja tetapi juga oleh pendidikan moral dalam
pesantren.
Sang Kiai lebih
banyak memberikan pembelajaran riyadah berupa nasihat dan contoh nyata dalam
keseharian. Namun, apabila dirasakan perlu, kiai akan memberikan wejangan dan
nasihat pada hari, waktu, dan tempat tertentu. Setiap santri diberi wejangan
mengenai hal kejujuran setiap bakda Sholat Subuh, meskipun tidak rutin atau
disisipkan ketika pelajaran mengenai aqidah dan akhlak. Kejujuran terlihat
dengan kondisi lingkungan di mana hampir jarang ruangan dikunci walau di
dalamnya banyak berisi benda berharga. Bahkan, HP kiai dan ustad sering
tergeletak di mana saja dan ternyata aman tanpa adanya kehilangan. Kejujuran
juga diajarkan kepada santri dalam hal belajar. Misalnya, kiai memerintahkan
setiap selesai Sholat Maghrib dan Subuh harus tadarus. Para santri dengan
sendirinya melaksanakan tadarus tersebut tanpa ada kontrol yang ketat.
Pesentren
sebagai lembaga pendidikan pertama di Indonesia telah banyak melahirkan
generasi-generasi emas, pondok pesantern telah menorehkan tinta emas dalam
peradaban sejarah bangsa indonesia. Pesantren bukan saja lembaga tempat mencari
dan menuntut ilmu tetapi juga tempat penggemblengan karakter pada diri santri,
ketika lulus dari pesnteran sang santri tersbut diharapkan dapat menerapakan
ilmu pengetahuan dan dapat memberikan contoh dan teladan bagi masyarakat. Hal
ini yang tidak terdapat dalam pendidikan umum, sekolah sekolah dan perguruan
tinggi. Dalam hal ini bukan berarti penulis menghendaki semua metode pesantren
diterapkan dalam lingkungan sekolah penerapan pendidikan karakter yang ada
dalam pesntern diberlakukan pada pondok pesntern tentu saja dengan adanya
penyesuaian daaptasi dan disesuaikan dengan perkembangan jaman supaya tidak
terlihat kaku dan kuno.
2.
Perilaku
Pelajar saat ini
Seperti yang kita tahu bahwa perliaku pelajar saat ini sungguh
memprihatinkan, banyak pelajar yang tawuran, mengkonsumsi narkoba, tindak
asusila, dan lain sebagainya. Seperti kasus video mesum siswa SMP di Jakarta
yang sungguh menggemparkan dunia pendidikan kita. Menurut KPAI sebagian besar
anak kelas 4-6 SD sudah banyak yang mengetahui tentang pornografi (lihat detik.com,
2013).
3.
Proses
Pendidikan ala Pesantren
Apa yang terngiang dalam benak anda ketika mendengar kata ‘pondok
pesantren’? Tentunya berbagai macam tanggapan akan lahir dalam benak anda
tergantung dari seberapa besar perkenalan anda dengan dunia pondok pesantren.
Dari sekian pendapat, ada yang melihat dengan kaca mata positif, dan tidak
sedikit pula yang berkonotasi negatif. Ya, itu tadi tergantung dari sejauh mana
anda mengenal dunia pendidikan khas Islam ini. Namun apakah sebenarnya pondok
pesantren itu? Dan apa yang terkandung di dalamnya?
Pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang memiliki
ciri-ciri khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya di dunia.
Salah satu kekhasan yang dimilikinya adalah melekatnya peran para kyai sebagai
tokoh sentral di dalamnya. Mereka mendapatkan keistimewaan lebih karena
biasanya kyai adalah pendiri atau keturunan dari pendiri pondok pesantren yang
dengan ikhlas tanpa pamrih membangun pondok pesantren untuk kemajuan ummat.
Jarang dari mereka yang memiliki ambisi duniawi ketika membangun fondasi pondok
pesantren.
Sentral yang kedua yang tidak dapat dipisahkan dari pondok
pesantren adalah masjid. Dalam hal ini masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan
santri, para penghuni pondok pesantren. Masjid di pesantren tidak berfungsi
sekuler, yakni untuk amalan-amalan ukhrowi saja, tapi juga sebagai pusat
ekonomi, pembelajaran, dan pemberdayaan. Maka biasanya bangunan yang pertama
kali ada dalam sebuah pondok pesantren haruslah masjid, meskipun di kemudian
hari tradisi ini mulai berubah.
Pondok pesantren lekat sekali dengan pengkajian ilmu-ilmu ketuhanan
(divinity). Para santri bertafaqquh fiddin agar mereka dapat menjadi penyeru
bagi ummat-ummatnya. Selain itu, ilmu-ilmu kauniyah pun tidak luput dari kajian
mereka. Mereka belajar tauhid, fiqh, al-quran, assunah, sekaligus astronomi,
fisika, biologi, kimia, ekonomi, sejarah dan disipilin ilmu lainnya. Dalam
dunia pondok pesantren tidak dikenal dikotomi ilmu. Yang ada adalah kesadaran
bahwa semua ilmu sumbernya satu: al-‘Alim, Yang Maha Mengetahui. Tentunya ilmu
ketuhanan memiliki porsi lebih, hal ini karena berkaitan dengan jenjang
prioritas dalam pengklasifikasian ilmu (Syaikh Az-Zarnuji, 2012).
Satu hal kekhasan yang dimiliki oleh pesantren dan sangat sulit
ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya adalah kuatnya penanaman akhlak-akhlak
terpuji. Label ‘santri’ pun secara dzahir telah identik dengan keshalehan, baik
itu secara individu maupun sosial. Hal ini wajar, karena pembiasaan aplikasi
akhlak terpuji telah mendarah daging dalam dunia pendidikan pondok pesantren.
Kyai sebagai sentral figur di dalamnya memberikan uswah dan qudwah hasanah
dalam pendidikan akhlak. Karena penanaman akhlak lebih mengena dengan perbuatan
daripada penjejalan materi di dalam kelas, maka pendidikan akhlak di pondok
pesantren sangat mengena di benak para santrinya. Itu pulalah ternyata yang
menginspirasi Kemendiknas untuk memasukan unsur-unsur pendidikan karakter di
sekolah-sekolah, yang diakui terinspirasi dari pendidikan akhlak pondok
pesantren.
4.
Penanaman
Nilai-nilai dalam Menuntut Ilmu
Karena rusaknya karakter pelajar di Indonesia yang cenderung
bergaya hidup “western”, maka pelajar perlu mengetahui apa saja hal-hal
yang ditanamkan dalam “menuntut ilmu”
a.
Niat dalam
mencari ilmu
Pendidikan identik dengan “mencari ilmu” atau “menuntut ilmu”, maka
dalam mencari ilmu pelajar harus menata niatnya ketika akan “mencari ilmu”.
Niat pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari
kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya. Dalam menuntut ilmu
juga harus didasari niat untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan.
Jangan sampai terbesit niat supaya dihormati masyarakat, untuk mendapatkan
harta dunia, atau agar mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau lainnya.
Boleh menuntut
ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat kalau kedudukan
tersebut digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, dan untuk melaksanakan
kebenaran, serta untuk menegakkan agama Allah. Bukan untuk mencari keuntungan
diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. Semua itu perlu
direnungkan oleh para penuntut ilmu, supaya ilmu yang mereka cari dengan susah
payah tidak sia-sia. Oleh karena itu dalam mencari ilmu jangan punya niat untuk
mencari dunia yang hina dan fana itu (Syaikh Az-Zarnuji, 2012).
b.
Penghormatan
Terhadap Ilmu dan Guru
“Para pelajar tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat
mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru”. Berikut beberapa bentuk penghormatan terhadap
guru (1) hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya (2) tidak duduk
ditempatnya (3) tidak memulai berbicara padanya kecuali atas ijinnya. Sedangkan
bentuk penghormatan terhadap ilmu diantaranya : (1) menghormati teman dan orang
yang mengajar (2) mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru dengan rasa
hormat, sekalipun sudah pernah mendengarkan sebelumnya.
Dari paparan tadi dapat kita kaitkan dengan kejadian-kejadian yang
mengakibatkan pelajar saat ini berperilaku “kurang terdidik”. Misalnya
saja kasus tawuran pelajar yang [bahkan] menggunakan air keras sehingga memakan
satu orang korban siswa SMA
Muhammadiyah I, Kemayoran, Jakarta Pusat (lihat detik.com. 2013).
Hal
tersebut terjadi karena pelajar saat ini tidak benar-benar menghormati ilmu
yang diperolahnya, sehingga “keberkahan” dari ilmu hilang dari diri pelajar.
c.
Kesungguhan dalam
Mencari Ilmu
Dalam mencari ilmu modal yang diperlukan ialah kesungguhan. Segala
sesuatu bisa dicapai asal mau bersungguh-sungguh dan bercita-cita luhur. Jika
ada yang bercita-cita ingin pandai, tapi tidak mau bersungguh-sungguh dalam
belajar, tentu dia tidak akan memperoleh ilmu kecuali sedikit. Adapun sifat
malas itu timbul karena kurangnya perhatian terhadap keutamaan dari pentingnya
ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib “Aku senang menerima
pemberian Tuhan Maha Kuasa, kita diberi ilmu dan musuh-musuh kita (orang-orang
kafir)diberi harta benda. Karena harta akan segera sirna, sedang ilmu itu abadi
takkan pernah hilang ”.
Ilmu yang bermanfaat akan tetap dikenang sekalipun orang yang
berilmu itu meninggal, karena ilmu yang bermanfaat itu abadi, Syaikh Murghinan
berkata dalam sebuah syair : “orang bodoh hakikatnya mati sebelum mati, dan
orang berilmu tetap hidup sekalipun sudah mati” (Syaikh Az-Zarnuji, 2012).
d.
Diskusi
Para pelajar harus sering mendiskusikan suatu pendapat atau masalah
dengan teman-temannya. Diskusi tersebut harus dilakukan dengan tertib atau
tenang. Tidak gaduh, tidak emosi. Karena tertib dan tenang dalam berfikir
adalah tiangnya musyawarah. Dan tujuan musyawarah adalah mencari kebenaran.
Tujuan itu akan tercapai bila orang-orang yang terlibat dalam diskusi atau
musyawarah tersebut bersikap tenang, benar dalam berfikir dan lapang dada.
Sebaliknya, hal itu tidak akan berhasil bila timbul kegaduhan dan saling emosi.
Jika tujuan diadakannya diskusi tersebut untuk saling mengalahkan
hujah temannya, maka tidak diperbolehkan, diskusi itu diperbolehkan kalau
tujuannya untuk mencari kebenaran, sedangkan mengaburkan persoalan atau
jawaban, atau membeenci tanggapan dengan cara yang tidak semestinya, juga tidak
diperbolehkan. Kecuali jika orang yang bertanya itu bermaksud mempersulit,
tidak mencari kebenaran.
Dalam diskusi harus senang mengamati atau memikirkan
pelajaran-pelajaran yang sukar dipahami, dan harus membiasakan hal itu. Karena
banyak orang bisa mengerti setelah ia mau memikirkan. Oleh karena itu ada yang
berkata, “perhatikanlah niscaya kamu akan mengerti”. Sebelum berbicara,
harus berpikir dulu, supaya ucapannya benar, karena ucapan itu bagaikan anak
panah, oleh karena itu harus diluruskan atau dipikir dulu sebelum berbicara,
agar tidak salah.
e.
Mencari
Tambahan Ilmu
Para pelajar harus menambah ilmu setiap hari agar mendapat
kemuliaan. Harus selalu membawa buku dan pulpen, untuk menulis ilmu yang
bermanfaat yang ia dengar setiap saat. Karena ilmu yang dihafal suatu ketika
bisa lupa. Sedang ilmu yang ditulis akan tetap abadi. Ada yang berkata, “ilmu
itu sesuatu yang diambil dari mulut orang-orang pandai karena mereka itu
menghafal sebaik-baik yang mereka dengar. Dan mengatakan sebaik-baik yang
mereka hafal”.
Pelajar harus bisa memanfaatkan kesempatan bersama para guru.
Gunakan untuk menimba pengetahuan dari mereka. Karena kesempatan yang baik
apabila telah hilang, tidak akan dijumpai lagi. Pelajar harus tahan menanggung
penderitaan dan kehinaan ketika mencari ilmu. Ada yang berkata “ilmu itu
luhur, tiada hina padanya. Namun ilmu tak bisa didapat kecuali dengan merendah”.
f.
Wara’[1]
Sebagian ulama meriwayatkan sebuah hadits, dari Rasulullah SAW
bersabda : “Barangsiapa tidak berlaku wara’ ketika belajar ilmu, maka dia
akan diuji oleh Allah dengan salah satu dari tiga macam ujian, mati muda,
ditempatkan bersama orang-orang bodoh, atau diuji menjadi pelayan pemerintah.”
Pelajar yang bersifat wara’ ilmunya lebih bermanfaat.
Belajarnya lebih mudah. Termasuk sifat wara’ ialah menghindari rasa
kenyang, banyak tidur, dan banyak bicara yang tidak berguna. Termasuk wara’ adalah
menyingkir dari orang yang suka berbuat kerusakan dan maksiat. Serta senang
menganggur. Karena bergaul dengan orang seperti itu bisa terpengaruh. Ketika
belajar hendaknya menghadap ke kiblat. (Syaikh Az-Zarnuji, 2012)
5.
Santri
di Era Globalisasi
Siapa yang tak
kenal Mahfud MD (mantan ketua MK) beliau ternyata adalah lulusan pondok
pesantren lirboyo walaupun lulusan pondok pesantren lirboyo tapi beliau
berprestasi hingga melanjutkan studinya sampai mendapat gelar “prof”,
yang mengherankan beliau lebih senang disebut “lulusan pesantren”(lihat yahoo.com,
2013).
Rofiq, seorang
lulusan santri di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Kota
Pasuruan, ia adalah seorang pebisnis di bidang animasi. Karya yang pernah
dibuatnya antara lain Bio Zone yang memenangi Juara I dan II & Best Viewer
Choice Animation Naration (Animation Awards) dari Universitas Parahyangan,
Bandung, serta Best Animation Malang Film Video Festival, Malang. Lalu, ada juga
film Pentil-Pentol yang menjadi juara 1 Hellofest Vol. 1, Jakarta dan film
animasi A Kite yang mendapat penghargaan khusus sebagai film animasi terbaik
pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008. Di ajang FFI itu pula Rofiq
diganjar sebagai sutradara animasi terbaik. Belum lagi film animasinya yang
berjudul “Songgo Rubuh” sukes ditayangkan di MNC TV pada 2012 (lihat swa.co.id,
2013)
Dari kisah
sukses diatas dapat kita ketahui bahwa lulusan pesantren tak hanya mampu di
bidang agama saja, tetapi mempunyai kemampuan untuk menghasilkan karya-karya
yang hebat. Dengan demikian citra santri yang kuno tidak mempunyai pemikiran
maju merupakan salah besar.
6.
Kesimpulan
Pesentren sebagai lembaga pendidikan pertama di Indonesia telah
banyak melahirkan generasi-generasi emas, pondok pesantern telah menorehkan
tinta emas dalam peradaban sejarah bangsa indonesia. Pesantren bukan saja
lembaga tempat mencari dan menuntut ilmu tetapi juga tempat penggemblengan
karakter pada diri santri, ketika lulus dari pesnteran sang santri tersbut
diharapkan dapat menerapakan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan contoh dan
teladan bagi masyarakat. Hal ini yang tidak terdapat dalam pendidikan umum,
sekolah sekolah dan perguruan tinggi. Dalam hal ini bukan berarti penulis
menghendaki semua metode pesantren diterapkan dalam lingkungan sekolah penerapan
pendidikan karakter yang ada dalam pesntern diberlakukan pada pondok pesntern
tentu saja dengan adanya penyesuaian daaptasi dan disesuaikan dengan
perkembangan jaman supaya tidak terlihat kaku dan kuno.
Penanaman nilai-nilai dalam menuntut ilmu diantaranya : (1) niat menuntut
ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat menghilangkan
kebodohan dirinya; (2) hormat terhadap guru dan hormat terhadap ilmu (3) Dalam
mencari ilmu modal yang diperlukan ialah kesungguhan; (4) Para pelajar harus
sering mendiskusikan suatu pendapat atau masalah dengan teman-temannya; (5)
Pelajar harus bisa memanfaatkan kesempatan bersama para guru; (6) rendah hati
terhadap ilmu yang ia pelajari.
Seiring berkembangnya zaman kini para santri juga tak hanya mampu
di bidang agama saja. Melainkan bersaing membuat karya-karya dengan teknologi
tinggi, misalnya produksi film animasi. Hal tersebut menjadikan citra santri
lebih baik, intelek, dan melek teknologi.
Daftar Pustaka
Az-Zanuji. (2012). Terjemahan Ta’lim Muta’allim. Surabaya : Mutiara
Ilmu.
Daftar Media Massa
Taufan Noor
Ismailian. (2013). “KPAI: 76 Persen Kelas 4-6 SD di Jakarta Sudah Pernah
Melihat Materi Pornografi” diunduh dari http://news.detik.com/read/2013/11/01/184648/2401932/10/kpai-76-persen-kelas-4-6-sd-di-jakarta-sudah-pernah-melihat-materi-pornografi?nd771104bcj
pada tanggal 20 oktober 2013
Anonim. (2011).
“Mahfud MD Lebih Suka Disebut Lulusan Pesantren” diunduh dari http://id.berita.yahoo.com/mahfud-md-lebih-suka-disebut-lulusan-pesantren-084011129.html
pada tanggal 20 oktober 2013
. (2013). “Mantan Santri yang Sukses di Bisnis Animasi”http://swa.co.id/headline/mantan-santri-yang-sukses-di-bisnis-animasi
pada tanggal 10 Desember 2013
[1]
Wara’ mengandung pengertian menjaga
diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat &
meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak
jelas apakah hal tsb halal atau haram.
Contoh: Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena
dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal
& ada yang mengatakan haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar