Perdagangan
perempuan dalam jaringan pegedaran narkotika
Oleh Nabela Ilma Yenisa
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Semarang
nabelailmayenisa@ymail.com
Abstrak
Pada mulanya
terjadi kasus penjebakan terhadap perempuan,modus tersebut dalam pengedaran
narkotika yaitu mengerahkan perempuan secara pasif untuk dijadikan budak atau
kurir.Hal itu terjadi karena seorang perempuan dilihat dari segi fisik adanya
stereotyping masyarakat bahwa karena seksualitasnya,perempuan akan tidak mudah
dicurigai jika membawa barang-barang ilegal ,mudak dikorbankan,tidak memiliki
akses kepada informasi,dan biasanta berada pada posisi rentan ,yaitu sebagai
survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga,sehingga muncul bentuk kejahatan
baru dalam pengedaran narkotika.Perempuan tersebut sengaja dijadikan pacar
,istri,atau teman terdekat supaya perempuan tersebut tidak curiga dengan maksud
yang ingin di lancarkan oleh sang pelaku.Setelah semuanya berjalan dengan
lancar otomatis peredaran narkotika semakin merebak di Indonesia.
Kata kunci : perempuan
, narkotika,model penyaluran,transaksi.
1.Pendahuluan
Maraknya
perdagangan manusia dan pengedaran narkotika yang saat ini melibatkan perempuan
sebagai korban.Banyak faktor yang mempengaruhi perempuan sebagai korban dalam
kasus pengerdaran narkotika melalui korban perempuan yang sudah diteliti.Korban
perempuan yang terlibat bukan hanya perempuan asing perempuan Indonesia pun
ikut terlibat dalam bisnis narkotika ini.Kasus ini juga dikarenakan laki-laki
memanfaatkan kondisi ekonomi dan psikologi perempuan yang memerlukan bantuan
untuk memenuhi kebutuhannya sebagai ibu atau sebagai anak perempuan yang harus
membantu orang tuannya.Bahkan dalam kasus ini ada perempuan yang menerima
kekerasan dari orang yang menjerumuskan dalam perdagangan narkotika.Pada
umumnya terjebak dalam hubungan personal berupa pacaran,perkawinan,atau
terjebak utang,bahkan sampai ada perepmuan yang mendapatkan kekerasan dari
pelaku.
Contoh dari masalah perdagangan
perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika yang melibatkan perempuan asing
sebagai korban yaitu kebanyakan dari golongan ekonomi menengah kebawah,labil
secara psikolgis dan perempuan yang usianya relatif muda.Perempuan asing yang
terdapat dalam LPWT ,ada yang berkewarganegaraan Thailand,Myanmar dan
Nigeria.Informan perempuan dalam penelitian ini
adalah SH berkebangsaan Myanmar (kasus 1),CP berkebangsaan Thailand
(kasus 2) dan sebagainnya.
Selain itu adapun kasus yang
melibatkan perempuan di Indonesia yang kasusnya sama seperti perempuan asing
contoh kasusnya yaitu kasus yang menimpa EYS (23 tahun).Ia masih sangat
muda.Anak dari seorang janda dengan tiga orang anak.Semula ia bekerja disebuah
departemen store.Di tempat ia bekerja ,ia dikenal dengan seorang pelanggan yang
membawanya pada tahap pacaran.Ia terbujuk membawa narkotika dalam sebuah
tas,yang tidak ia ketahui sebelumnya apa isinya.setelah ia menjalani hubungan
dengan pria tadi yang pria itu mengaku bahwa ia memiliki toko pakaian di Tanah
Abang.Akhirnya perempuan tadi tertangkap polisi barulah terungkap bahwa pria
itu sesungguhnya adalah drug dealer.Vonis yang dijatuhkan kepada EYS yaitu
hukuman mati.
Dari kedua contoh diatas
menggambarkan bahwa ekonomi,adanya kecenderungan paa perempuan untuk
mempercayai orang yang telah dikealnya baiksebagai teman,kekasih maupun sebagai
suaminyasehingga permintaan untuk dapat membantu diterimanya tanpa curiga dan
juga tidak ada keberanian perempuan untuk menuntut penjelasan dari orang lain.
Sehingga banyaknya kasus perdagangan
perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika saat ini membuat banyak perempuan
terpuruk karena mempunyai rasa takut akan terjerumus dalam kasus seperti ini
(dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti : 2005
) .Bahkan sampai saat ini pun sudah banyak perempuan yang menjadi korban dalam kasus ini.Masalah ini yang
menjadi titik fokus karya ilmiah yang saya buat ini.
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk
memberikan penjelasan bahwa sudah banyak perempuan asing maupun perempuan di
Indoesia sendiri yang menjadi korban karena kasus seperti ini belum banyak
didengar oleh orang-orang diluar sana mungkin hanya orang-orang tertentu yang
mengetahui tentang kasus ini, sehingga untuk perempuan yang belum terjerumus
dalam hal seperti ini sebaiknya lebih waspada atau berhati-hati agar tidak
bertambah banyak korban perempuan yang bisa merugikan dirinya sendiri maupun
orang lain.
2.Definisi
Narkotika
Dalam
Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika disebutkan bahwa istilah
narkotika diartikan dengan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau buka
tanaman baik sintetis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran,hilangnya rasa,mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalan undang-undang UU No. 22/1997
tentang narkotika atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri
kesehatan.
Lebih lanjut dalam undang-undang
tersebut (pasal 2) disebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi nrkotika
golongan I ,narkotika golongan II,dan narkotika golongan III ( Wahdi
,Razak,Abdul,Sayuti : 2006 )
3.Perdagangan
Perempuan di Indonesia
Isu
perdagangan perempuan di Indonesia membuat Perkumpulan Istri Indonesi ( PPII)
dalam kongresnya kedua di Surabaya tahun 1930 mendirikan Perkumpulan
pemberantasan Perdagangan Perempuan dan
Anak-Anak (P-4A).Masalah perdagangan wanita
tetap menjadi keprihatikan gerakan perempuan.Persoalan ekonomi menjadi
alasan utama terjadinya perdagangan perempuan.Hal ini diungkapkan oleh Datu
Tumenggung bahwa “kondisi ekonomi,perceraian sepihak dan poligami telah
mendorong perempuan-perempuan muda jatuh ke pelukan tangan orang-orang yang
mencari penghidupan dengan membujuk gadis-gadis yang lugu.”
Perdagangan perempuan semakin
menjadi-jadi pada masa pedudukan Jepang.Pada masa itu, pengerahan perempuan
dilakukan penjajah Jepang dengan alasan perang dan kemamkuran Asia Timur Raya(dalam
Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti : 2005 ) .
Jaringan perdagangan perempuan tidak
bisa dipisahkan dari batas-batas negara yang semakn mudah dilintasi.Mereka
mempunyai jaringan lintas negara yang tersrtuktur rapi dan sangat rahasa
keberadaannya.Perempuan dibelahan dunia manapun dapat menjadi mangsa.Dalam
perkembangan mutakhir,perdagangan perempuan mencakup berbagai macam
tjuan.Dijadikan pengemis,buruh migran,keperluan pengambilan organ tubuh dan
yang jarang disadari oleh masyarakat luas adalah perdagngan perempuan untuk
mengedarkan narkotika.
Menjadikan perempuan sebagai objek
perdagangan dengan merekrut mereka kedalam jaringan pengedaran narkotika
merupakan fenomena yang baru diketahui.Tahap akhir dari proses perekrutan yang
panjang menempatkan mereka sampai ke penjara dan bahkan mereka mendapat ancaman
hukuman mati.Brikut adalah sekilas tentang salah satu penjara wanita
Tangerang,Jawa barat,dengan penghuni terbesar perempuan yang dituduh melakukan
kejahatan mengedarkan narkotika.
4.Perempuan
pengedar narkotika ,penghuni terbesar LPWT
Awalnya,penjara
wanita ini berlokasi di Bukit Duri lalu pindah ke Tangerang sejak 5 Februari
1981.Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang (LPWT) bersebrangan dengan Lembaga
Pmasyarakatan Laki-Laki.LPWT terletak di tepi jl.Moh.Yain yang disebelah utar
,sedangkan bagian timur dan barat dikelilingi tanah kosong.LPWT kelas IIA
berdaya tampung 250 orang.Ketika penelitian ini dilakukan,jumlah penghuninya
194 oranv.Terdiri atas 153 orang berstatus narapidana sedangkan 37 orang
berstatus tahanan dan 4 orang anak narapidana yang lahir disitu.Anak yang
dilahirkan disitu boleh tinggal sampai berumur 2 tahun.Diantara narapidana ,ada
6 orang berkewarganegaraan asing.Sebanyak 97 orang atau lebih dari 50 % seluruh
narapidana adalah mereka yang tersangkut kasus narkotika baik sebagai pemakai
maupun pengedar(dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki
Widiastuti, 2005 : 24 ) .
Didalam LPWT banyak kegiatan-kegiatan
yang dilakukan penghuni LPWT layaknya seperti prempun pada umumnya seperti
memasak,meronce membuat berbagai macam kerajinan tangan,senam setiap
pagi,menyapu lapangan dll, adapun fasilitas seperti pelayanan kesehatan.Para
penghuni LPWT diperbolehkan menonoton televisi yang boleh ditonton 3 kali
seminggu yaitu hari Kamis ,Sabtu dan Minggu selama beberapa jam.Adapun kegiatan
pembinaan yng dilakukan antara lain adalah pendidikan dan pengajaran
agama,kursus keterampilan,latihan kerja,kesenian dan olahraga,dan juga kursus
kilat merias wajah.
Bagi narapidana yang hukumannya
hampir selesai,dipindahtugaskan ke bagian kebersihan di depan penjara,seperti
menyapu,memotong rumput,dan membersihkan saluran air.Mereka diawasi oleh
petugas LPWT yang sdang santai sambil sarapan pagi di kios.Hampir setiap hari
selalu ada yang mengunjungi LPWT.
5.Ketika
perempuan dijadikan pengedar narkotika
Perempuan
yang terjebak bisnis nakotika sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai korban
perdagangan perempuan.Dalam bisnis ini perempuan terkait dengan kekuasaan yang
timpang.Mereka terjerat dalam lingkaran kekerasan.Mereka tidak memiliki posisi
tawar.Dalam hal ini,laki-laki sangat berkuasa untuk menyuruh perempuan yang
tergantung padanya secara ekonomi dan psikologis melakukan apa saja yang
dikehendakinya.Dalam kondisi timpang inilah praktek perdagangan perempuan
terjadi.Praktek ini harus dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Bisnis ini dapat dikategorikan
sebagai perdagangan perempuan karena yang pertama diwali dengan rekrutmen
perempuan menggunakan penipuan dalam berbagai bentuk terutama melalui hubungan
seperti pacaran ,perkawinan,hidup bersama dan hubungan lain antara
perempuan dan pengedar atau pemilik narkotika
yang sesungguhnya.kedua,ada orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis
ini.Merekalah para pelaku sesungguhnya ,sedangkan perempuan hanya sekedar
mendapat upah atau dijanjikan mendapat upah,yang tidak seberapa dibandingkan
dengan resiko menghadapi hukuman mati.Ketiga,adanya unsur migrasi.Ada upaya
untuk memigrasikan perempuan dari satu tempat ke tempat yang lain,bahkan
melintasi batas negara.Semua terpidana mati kasus narkotika tertangkap di
bandara,dan adanya perempuan berkewarganegaran asing yang tertangkap di
Indonesia.Keempat,adanya unsur kekerasan.Kisah hidup perempuan-perempuan dalam
penelitian ini menunjukan adanya ancaman,penipuan,penyalahgunaan
kekuasaan,kekerasan dalam rumah tangga bagi mereka yang dikawini oleh para
pelaku.Termasuk adanya penyekapan dan pemasungan kebebasan yang dialami korban.
(dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti,
2005 :66 ) .
6.Sejarah
perundang-undangan narkotika di Indonesia
Melihat
kecenderungan terus meningkatnya penyalahgunaan narkotika di Indonesia
,pemerintah Indonesia secara terus-menrus melakukan formulasi
perundang-undangan tentang narkotika. Hal ini tidak untuk lebih membuat jera
para penyalahguna narkotika ,serta merespon kalangan masyarakat yang secara
simultan terus menerus berjuang untuk membebaskan Indonesia dari penyalahgunaan
narkotika demi kemajuan bangsa ( Dwidja Priyatno : 2006 ).
Undang-undang nomor 22 tahun 1997
tentang narkotika diundangkan pada tanggal 1 September 1997 .Sebelum lahirnya
undang-undang nomor 22 tahun 1997 ini,pemerintah telah meberlakukan
undang-undang no. 9 tahun 1996 tetang narkotika.Namun undang-undang
tersebut tidak dpat diperhatikan karena
kualitas kejahatan narkotika yang meningkatkan
dan menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat tidak dapat diatasimoleh
undang-undang nomor 9 tahun 1996 tersebut.
7.Pengedaran
narkotika
Masalah
yang menyangkut jual beli narkotika disini,bukan hanya jual beli dalam arti
sempit,akan tetapi juga termasuk pula perbuatan impor,ekspor dan tukar-menukar
narkotika.
Masalah
ini diatur dalam pasal 82 undang-undang narkoika ,salah satu contoh sebagai
berikut :
Pasal 82 undang-undang no. 22 tahun
1997 berbunyi : Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : Mengimpor,mengekspor,menawarkan
untuk dijual dan sebagainya seperti kokain, ganja,berbagai jenis opiumdan
heroin dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 1 miliyar. Kedua mengimpor,mengekspor,menawarkan
untuk dijual ,menjadi perantara dalam jual beli seperti morfin dan opium
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak
lima ratus juta.Ketiga mengimpor, mengekspor,menawarkan untuk dijual ,menjadi
perantara dalam jual beli seperti jenis turunan opium tertentu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta (
Wahdi ,Razak,Abdul,Sayuti : 2006 )
8.Analisis
terhadap vonis pengadilan pengedaran narkotika
Berdasarkan
vonis yang dijatuhkan,tampak bahwa sistem hukum tidak mengakomodasi pengalaman
perempuan dalam peradilan sebagai bahan pertimbangan keputusan.Padahal pidana
mati adalah ancaman hukuman yang sangat serius.Oleh karena itu,kami melakukan
konfirmasi silang dengan hakim yang mmeriksa kasus ini untuk mengetahui dasar
pertimbangan putusan yang mereka ambil.Perempuan yang menjadi
tersangka,terdakwa atau teroidana didepan hukum seharusnya sama kedudukannya
dengan pria.Pasal 15 Konvesi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,yang
diratifikasi melalui UU No.7
/1984,mewajibkan negara memberikan persamaan hak kepada perempuan dan pria di
depan hukum.Hak memebela diri adalah hak setiap terdakwa ,baik laki-laki maupun
perempuan.Faktor-faktor apa yang memotivasi para terdakwa terjerumus dalam
prektek pengedarn narkotika sebenarnya merupakan subtansi penting untuk
dijadikan bahan pembelaan diri.Pengalaman dan motivasi terebut seharusnya
dikemukakan dalam persidangan,tetapi dalam kenyataannnya perempuan tidak
berkesempatan untuk melakukan pembelaan diri semaksimal mungkin.Keterbatasan
akses karena kedudukannya yang rentan sebagai terakwa,dan ketiadaan perspektif
perempuan dari para penegk hukum yang mengadili kasus mereka,menyebabkan sulit
terwujud kesetaraan hak di muka hukum untuk membela diri bagi terdakwa
perempuan (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki
Widiastuti, 2005 : 18 ).
9.Penyelesaian
tindak pidana narkotika
Dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1997 ditegaskan bahwa perkara pidana nrkotika
merupakan pidana yang harus di dahulukan oleh pengadilan.Hal ini dalam hukum
lazim disebut dengan asas lex specialis de rogaat lex generalis ,yaitu
ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum ( Dwidja Priyatno : 2006 ).
Sejalan dengan asas tersebut ,maka
penyelesaian perkara-perkara narkotika harus didahulukandari perkara-perkara
lain untuk diajukan ke pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian
dalam waktu yang singkat,sesuai dengan semangat yang tercantum dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1997 pasal 64 yang berbunyi :
“perkara narkotika termasuk perkara
yang didahulukan dari pekara lain untuk diajukan ke pengadilan guna
penyelesaian secepatnya”.
10.Contoh kasus analisis terhadap vonis pengadilan
pengedaran narkotika
Kasus
PRN :
Majelis hakim berpendapat bahwa alasan
PRN mendapat ancaman,paksaan maupun kekerasan dari suami terdakwa,bukanlah
merupakan alasan yuridis untuk
melepaskan PRN dari tindak pidana yang dilakukannya,menurut.Hakim seharusnya
PRN melaporkan tindakan suaminya kepada aparat yang berwenang,apalagi suami PRN
lebih sering beraktifitas diluar rumah.Bukankah ini merupakan waktu dan
kesempatan bagi PRN untuk melepaskan diri dari tindakan suaminya.Berdasarkan
pertimbangan Majelis Hakim,kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah alasan
yuridis untuk menjadi pertimbangan hukum yang meringankan PRN dari tindak
pidana yang dilakukannya.
PRN tidak mengadukan masalah KDRT
kepada yang berwenang dan saat polisi memeriksa ke rumahnya PRN ketakutan jika
polisi akan menemukan heroin dirumahnya.Jika polisi menemukannya maka PRN akan
dengan mudah dituduh yang memiliki barang dalam rumah itu,padahal barang
tersebut adalah milik suaminya.Saat itu, Toni (suami PRN) sedang tidak berada
dirumah.
Pertimbanangan PRN,kalaupun Tony
ditangkap,kemungkinan besar ia bisa bebas karena ia mempunyai banyak uang untuk
membayar polisi atau pengacara.Sementara itu PRN tidak mempunyai uang sama
sekali.PRN mengaku bahwa pengacaranya yang selama ini membantunya dalam proses
pengadilan tidak dibayar olehnya.PRN mengira bahwa pengacaranya dibayar oleh
orang-orang berkulit hitam ( teman2 suaminya).Sebagaimana yang dibahas
sebelumnya bahwa PRN cenderung untuk melindungi suaminya,mengingat Tony adalah
ayah dari kedua anaknya dan PRN masih mencintainya.Karena rasa cinta terhadap
Tony dan kedua anaknya itulah PRN mau membantu pekerjaan suaminya.Dari
ilustrasi diatas maka tampak bahwa relasi antara PRN dan Tony adalah relsi yang
sangat tidak seimbang.Posisi PRN ada pada subordinat bila dibandingkan dengan
posisi Tony.
Pasal 48 KUHP mengatur bahwa “Barang
siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.Menurut
pasak 48 KUHP yang dimaksut dengan daya paksa adalah perbuatan yang dilakukan
dibawah pengaruh tekanan atau kekuatan,terhadap mana terdakwa tidak dapat
mengadakan perlawanan.Termasuk dalam perbuatan itu adalah menyuruh PRN untuk
membantu suamu melakukan berbagai
pekerjaan seperti mengantarkan narkotika,membeli tiket,membuat visa dan
merekrut orang untuk membawa “barang”.Dengan demikian,bahwa alasan hakim untuk
tidak memperhitungkan KDRT yang dialami PRN bukan alasan yuridis,harus ditinjau
kembali.
Berdasarkan uraian diatas
,sebenarnya PRN adalah korban perdagangan perempuan.Karena kegiatan dia dalam
pengedaran narkotika pada mulanya telah memenuhi unsur rekrutmen dengan tipu
daya ,ancaman dan pemaksaan,ada perpindahan dalam melakukan pekerjaan yang
berbahaya dan beresiko (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana
Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 : 90 ).
Namun perlu ditekankan disini bahwa
ada masa-masa tertentu,dimana PRN dapat dikategorikan sebagai trafficker,yaitu
ketika ia menegtahui apa pekerjaan suaminya yang sebenarnya.Bahkan ketika ia
mengetahui suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain dan ia khawatir
ditinggalkan oleh suaminya itu,ia meminta bayaran untuk pekerjaan yang dia
lakukan.Sejak saat itu PRN menjadi partner dalam bisnis suaminya.Namun apa yang
dilakukan PRN ketika ia memutuskan untuk menjadi partner dalam bisnis suaminya
itu sebenarnya adalah strateginya untuk bisa bertahan hidup.
11.Pengalaman
korban dalam peradilan di pengadilan
kasus
MUT :
Hak tersangka untuk bebas dari rasa
takut selama pemeriksaan sehingga hasil persidangan tidak menyimpang dari yang
seharusnya,tampak tidak dijalankan dengan baik.Dalam pemeriksaan MUT menerima penganiyaan
berupa pemukulan dan tendangan.Ini dilakukan agar ia memberi keterangan yang
sesuai dengan apa yang diharapkan aparat.Ini dapat dianggap sebagai suatu daya
paksa.Ini menunjukan adanya penyimpangan dalam pemeriksaan.
Namun MTU merasa cukup puas dengan
pembelaan yang diberikan oleh penasihat hukumnya.penasihat hukum yang pertama
dianggap MUT tidak terlalu kompeten dalam memberikan pembelaan.Kemudian
pengacara itu diganti dengan pengacara yang berasal dari sukarelawan gereja.MUT
tidak dituntut pembayaran apapun untuk layanan hukum yang diperolehnya itu.Ia
sendiri tidak mengetahui siapa yang membiayai pengacara tersebut (dalam
Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 :
104 ).
12.Pertimbangan
hakim dalam membuat putusan
Dasar
pertimbangan para hakim dalam membuat putusan pada umumnya sama.Mereka harus
membuktikan adanya unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituntut oleh jaksa
penuntut umum.Khusus dalam hal ini sebagian informan dikennkan pasal 82 butir
(a) UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika yang antara lain berbunyi,”...mengimpor,
mengekspor,menawarkan untuk dijual ,menyalurkan,menjual,membeli,
menyerahkan,menerima ,menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika
Golongan I,dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup , atau pidana
penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak satu miliyar rupiah.
Ada beberapa hakim yang
mempertimbangkan bahwa latar belakang sosial ekonomi terdakwa itu termasuk yang
harus dipertimbangkan.Namun pertimbangan itu nampaknya terbatas sekali,atau
bahkan tidak terimplementasi.Menurut Hakim ORS,ketika modus sudah jelas
terutama dalam kasus narkotika,pertimbangan yang meringankan tidak
diperhitungkan lagi (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana
Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 : )i.
Jelaslah mengapa dalam putusan hakim
sering tercantum “nihil” tidak ada pertimbangan yang meringankan dalam putusan
hukuman maksimal pada pidana mati.Sebenarnya ada hakim yang beranggapan bahwa
faktor ekonomi bisa saja dijadikan dasar peringan,namun karena mereka
memberikan hukuman maksimal,maka tidak relevan apabila ia mencantumkan dasar
peringan dalam putusan.
13.Pemahaman
hakim tentang konsep perdagangan perempuan
Salah
satu bentuk perdagangan perempuan adalah memanfatkan perempuan sebagai pengedar
narkotika.Oleh karena itu,agar dapat mengaitkannya dengan pengedaran
narkotika,para penegak hukum perlu memahami tentang apa perdagangan perempuan
itu.Akan tetapi, pemahaman mereka perihal perdagangan perempuan terbatas (dalam
Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti : 2005).
Nampaknya bentuk perdagangan
perempuan yang diketahui oleh para hakim sebatas perempuan sebagai pekerja seks
komersial.Sulit bagi hakim untuk memahami bahwa perempuan atau laki-laki
pengedar narkotika kemungkinan adalah korban perdagangan perempuan yang tak
berdaya.Ada beberapa hakim yang mengetahui sedikit konsep bahwa perdagangan
perempuan itu da unsur komersialnya.Namun tidak tertangkap bahwa sebenarnya ada
kaitan antara perdagangan perempuan dengan pengedaran narkotika.
Beberapa hakim merefleksikan
pengertian bahwa perdagangan perempuan adalah menyalahgunakan perempuan untuk
tujuan komersial (ada pihak yang mendapatkan keuntungan ),motivasi terselubung
(penipuan),dan perempuan menjadi komoditi ( eksploitasi dengan pekerjaan yang
beresiko tinggi).Namun hakim tidak mengaitkannya yang mereka tangani.mereka
hampir menyadari bahwa terdakwa perempuan dalam kasus pengedaran narkotika itu,sebenarnya
telah memenuhi unsur penipuan dan peralatan.
14.Kesimpulan
Berdasarkan
pada analisis dan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pemberantasan
narkotika memerlukan kepedulian khusus dan menjadi tanggung jawab semua,karena
ini menyangkut masa depan generasi penerus bangsa.Dalam penelitian diatas
dipaparkan bahwa perempuan lah yang dijadikan kurir dalam jual beli
narkotika.Salah satu alasan perempuan yang dijadikan kurir karena adanya
stereotyping masyarakat bahwa karena seksualitasnya,perempuan akan tidak mudah
dicurigai jika membawa barang-barang ilegal ,mudak dikorbankan,tidak memiliki
akses kepada informasi,dan biasanta berada pada posisi rentan ,yaitu sebagai
survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga.
Kasus ini merupakan kasus yang sulit
untuk diidentifikasi apabila tidak serius penanganannya.Perempuan menjadi
korban perdagangan perempuan ketika diperlakukan sebagai kurir dalam
perdagangan narkotika.Vonis di pengadilan yang tidak mempertimbangkan sesuai
pengalaman perempuan yang menjadi korban menunujukan bahwa hukum tidak sensitif
terhadap pengalaman perempuan.Hukum juga tidak berpihak pada perempuan karena
telah menempatkan mereka sebagai kriminal,bukan sebagai korban dalam
perdagangan perempuan.Ini merupakan hal yang salah dan tidak seharusnya terjadi
pada perempuan yang sebenarnya menjadi korban.Jika hal itu berlanjut pada
pengadilan maka akan sangat merugikan pada perempuan-perempuan yang sebenarnya
harus mendapat keadilan dalam kasus ini.
Pada intinya faktor-faktor yang
mempengaruhi perempua terperangkap dalam pengedaran narkotika ini adalah faktor
ekonomi,kepolosan atau ketidaktahuan,hubungan kekuasaan yang timpang antara
perempuan dan laki-laki dan juga faktor agama yang menempatkan meeka pada
posisi yang lemah.Dalam keadaan yang tidak berdaya mereka tidak memiliki
strategi apapun untuk melakukan perlawanan pada laki-laki yang telah
menjadikannya kurir narkotika.
Pemaknaan hukum bagi perempuan
korban dalam pengedaran narkotika adalah hukum tidak berpihak pada perempuan
yang dimana dia sebagai korban dan kerangka berfikir yang sangat legistis
meniadakan suara mereka.
Referensi
Irianto,Sulistyowati , Sing
Meij,Lim , Purwanti,Firliana , Widiastuti,Luki. 2005. Perdagangan Perempuan dalam Jaringan pengedaran Narkotika. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia
Priyatno,Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di
Indonesia. Bandung : PT.Refika Aditama
Razak,Abdul , Sayuti,Wahdi.
2006. Remaja dan Bahaya Narkoba.
Jakarta : Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar