Peran Pendidikan untuk Menyelamatkan Anak dari
Kekerasan
Agus Adi Rahmat
Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi. Namun sayangnya,
masih banyak terjadi kekerasan yang melibatkan anak didalamnya. Bentuk
kekerasan yang sering terjadi adalah kekerasan dengan motif eksploitasi.
Eksploitasi sendiri terdapat dua macam yaitu eksploitasi ekonomi dan
eksploitasi seksual. Dari kedua bentuk tersebut, faktor yang paling banyak
menyebabkan terjadinya tindakan tersebut adalah faktor ekonomi. Karena itulah masyarakat
miskin menjadi kalangan yang sangat rentan terjadi kekerasan terhadap anak.
Untuk itulah, orang tua perlu untuk disadarkan tentang pentingnya pendidikan
bagi anak. Orang tua yang baik adalah mereka yang menjamin hak-hak anaknya
termasuk hak untuk memberikan pendidikan kepada anak. Orang tua sudah
seharusnya memperlakukan anak dengan baik dengan memenuhi fungsi dan tugasnya
dengan baik serta memberikan pendidikan seksual bagi anak. Disisi lain,
kurangnya kesempatan bagi anak untuk memperoleh pendidikan menjadi pekerjaan
besar bagi pemerintah. Kebijakan yang telah dibentuk pemerintah demi memberikan
kesempatan bagi anak yang berada pada kalangan lemah harus lebih dioptimalkan
lagi. Selain itu, pendidik yang merupakan faktor penting dalam proses
pendidikan juga mendapat perhatian dalam keberlangsungan proses pendidikan.
Kata kunci
: kekerasan anak, pendidikan, peran orangtua.
1.
Pendahuluan
Salah satu masalah yang sangat menyita perhatian publik di
Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini adalah banyaknya kasus tentang
kekerasan terhadap anak. Situasi ini menggambarkan bahwa adanya ketidakadilan
yang serius yang diterima anak di negara ini. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya kasus-kasus seperti penyiksaan, eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi
seksual, dan masih banyak lagi bentuk kekeraan lainnya. Sebenarnya upaya untuk
melakukan perlindungan terhadap anak sudah dilakukan, seperti membentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPSI) dan juga membuat undang-undang tentang perlindungan
anak. Namun, pada kenyataanya usaha tersebut masih belum bisa membuahkan hasil
yang maksimal dilihat dari jumlah kasus yang terjadi setiap tahun semakin
meningkat (Lihat regional.kompasiana.com
24/07/2013).
Hasil riset media pemberitaan tentang tindakan kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan
bahwa kekerasan terhadap anak yang paling banyak adalah bermotif eksploitasi,
baik berupa eksploitasi ekonomi maupun eksploitasi seksual dan faktor pemicu
yang paling banyak adalah faktor ekonomi (Lihat atjehlink.com 22/10/2013). Hal
itu menunjukkan bahwa masyarakat yang paling rentan melakukan kekerasan
terhadap anak adalah masyarakat miskin.
Tindakan kekerasan
terhadap anak sudah merupakan pemandangan umum bagi masyarakat miskin terutama
kekerasan dengan motif eksploitasi ekonomi. Anak sering kali terpaksa untuk
menanggung masalah ekonomi keluarga dan cenderung mengabaikan pendidikannya.
Sebagai contoh kasus terbongkarnya eksploitasi anak yang terjadi di perusahaan
teh cv. Jangkar Mulia (Lihat life.viva.co.id 22/01/2010). Dalam kasus tersebut jelas
diperlihatkan bagaimana anak yang rata-rata masih berumur 13-15 tahun yang
seharusnya duduk di bangku sekolah harus ikut bekerja dan menanggung kebutuhan
ekonomi keluarganya. Ironisnya lagi, masyarakat sekitar yang mengetahuinya
hanya diam dan seolah membiarkannya. Belum lagi kasus-kasus lain seperti kasus anak bekerja pada tempat hiburan malam, pembantu rumah
tangga, pekerja tambang, dan di tengah laut (Lihat merdeka.com 05/05/2012). Melihat peristiwa-peristiwa tersebut, bisa disimpulkan bahwa pendidikan
masih merupakan barang mahal bagi masyarakat miskin. Pendidikan gratis yang
merupakan program pemerintah nyatanya masih belum bisa berpihak terhadap
masyarakat miskin di negeri ini.
Ketidaksadaran dan
kurangnya pendidikan mungkin membuat mereka tidak mengerti mengapa mereka
miskin dan hal itulah yang memunculkan tindakan tersebut. Anak merupakan
potensi untuk menjadi manusia yang berkualitas, dan pendidikan merupakan suatu
proses untuk melahirkan manusia yang bekualitas. Mungkin itulah yang seharusnya
ditanamkan kepada masyarakat miskin di negri ini agar mereka lebih mengetahui
pentingnya pendidikan.
Bentuk lain dari eksploitasi
terhadap anak yang terjadi di Indonesia adalah eksploitasi seksual. Eksploitasi
seksual selalu menjadi bentuk kekeraan dengan persentase paling tinggi tiap
tahunnya. Salah satu penyebab yang paling banyak adalah keinginan anak untuk
hidup glamor dan adanya pihak yang memanfaatkan hal itu untuk membawa anak
dibawah umur masuk menjadi pekerja seks(Lihat regional.kompas.com 23/12/2012).
Dalam kasus yang
seperti itu, moral anak bangsa sangat patut untuk dipertanyakan. Peran keluarga
dalam mendidik anakpun menjadi salah satu faktor yang bisa untuk disalahkan.
Penanaman nilai moral dan agama serta pendidikan seksual yang diberikan kepada
anak nampaknya harus terus diupayakan untuk menghindari masalah tersebut.
Dari analisis-analisis
yang telah dipaparkan diatas, dapat saya identifikasikan dua hal yang menjadi
penyebab tindak eksploitasi terhadap anak, yaitu peran keluarga dalam memberikan
pendidikan anak dan kesempatan sekolah yang masih belum merata. Memang, masih
banyak lagi penyebab-penyebab tindakan kekerasan terhadap anak. Namun, minimal kedua
penyebab tersebut merupakan faktor paling dominan menyebabkan tindak kekerasan.
2.
Pendidikan Keluarga dan Peran Orang Tua
didalamnya
Pendidikan keluarga bagi anak merupakan awalan yang penting untuk
melatih kemampuan anak dalam mengenali lingkungan sebelum masuk kedalam sebuah
lingkungan yang lebih luas lagi. Lingkungan keluarga memiliki peran penting
dalam membentuk kepribadian anak, maka dari itulah keluarga harus memberikan
suasana yang kondusif agar anak dapat mengembangkan dirinya dengan baik. Bicara
tentang anak berarti bicara tentang peran dari orang dewasa dalam mendidiknya.
Bagaimanapun juga orang dewasa saat ini merupakan anak pada masa lalunya yang
menerima perlakuan orang dewasa terhadap mereka. Jadi, pembentukan jati diri
seseorang itu tergantung dari pendidikan yang diperoleh pada masa usia anak.
Maka dari itu, sudah selayaknya keluarga dalam arti orang tua harus merubah
cara pandang mereka terhadap anak. Orang tua harus memastikan terpenuhinya
hak-hak anak seperti: hak kebebasan sipil, kesehatan, pendidikan, pengasuhan,
dan perawatan. Orang tua saat ini harus berpandangan bahwa anak merupakan
potensi yang harus dikembangkan, dan peran orang tua adalah membantunya untuk
mengembangkan potensinya, bukan menjadikan anak sebagai alat untuk memenuhi
ambisinya, sehingga tidak ada lagi kekerasan dalam bentuk psikis maupun fisik yang
diterima anak.
Kekerasan terhadap anak
tidak hanya berupa kekerasan yang berbentuk kekerasan fisik. Kekerasan juga
dapat berbentuk verbal yaitu ucapan orang tua yang dapat mempengaruhi kondisi psikologi
anak. Apapun bentuknya kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan yang tidak
dibenarkan, untuk itu orang tua sudah selayaknya merubah cara mendidik anak
dengan memberikan contoh yang baik bagi anak. Perlakuan yang baik kepada anak,
kelak akan menjadikan anak menjadi pribadi yang baik, dan itulah yang menjadi
peran penting orang tua yaitu menyiapkan anak untuk menjadi pribadi yang
berkualitas dan memutus rangkaian kasus kekerasan yang dilakukan keluarga
kepada anak.
Pendidikan adalah suatu
cara untuk menciptakan manusia yang berkualitas. Kelak anak-anak akan menjadi
dewasa dan berhadapan dengan kondisi sosial yang ada. Peran keluarga dalam
menjadikan anak menjadi manusia berkualitas adalah salah satunya dengan
memenuhi fungsi dan tugasnya dengan baik.
Kusdwirarti Setiono (2011) menyatakan bahwa salah satu fungsi
orang tua dalam menyiapkan anak agar menjadi manusia yang berkualitas adalah
dengan memberikan nilai-nilai agama dan moral. Hall itu ditujukan agar anak tahu
mana yang benar dan mana yang salah. Dari keluargalah anak mengenal agama,
keluarga yang memperkenalkan agama dengan baik akan menjadikan anak memiliki
moral yang baik pula. Memperkenalkan agama sejak kecil akan mempunyai pengaruh
yang lebih besar terhadap karakter anak mendatang, dan tugas orang tua adalah
memberikan pendidikan agama kepada anak sejak masih usia dini dengan baik dan
benar.
Orang tua juga mempunyai fungsi untuk menanamkan nilai-nilai
budaya sendiri kepada anak agar mereka tidak meninggalkan kebudayaanya sendiri.
Seperti diketahui, anak-anak merupakan kalangan yang rentan terhadap pengaruh
budaya dari luar yang tersebar melalui berbagai media. Nurani Soyomukti (2008)
mengungkapkan bahwa tayangan televisi tentang kekerasan, seksualitas, dan
hedonitas-konsumtivitas dapat mempengaruhi moral dan budaya sendiri kepada
anak-anak. Menanamkan budaya kepada anak juga merupakan bentuk dari pendidikan
nasionalisme kepada anak. Dengan memperkenalkannya sejak dini diharapkan
nantinya anak akan mencintai budaya sendiri dan melestarikannya. Jadi dengan
memberikan pendidikan budaya kepada anak, berarti membantu dalam mengatasi
krisis nasionalisme di negeri ini.
Dalam fungsi lain, Syamsu
Yusuf (2005) juga menyatakan orang tua juga memiliki peran untuk memberikan
kemampuan-kemampuan yang bermanfaat bagi anak. Bentuk kemampuan yang diberikan
keluarga kepada anak dapat berupa kemampuan untuk hidup bermasyarakat,
kemampuan mengenali lingkungan, dan kemampuan-kemampuan lain seperti membaca,
menulis, berbicara dengan baik, dan lain sebagainya, yang dapat membantu anak dalam
menjalani kehidupannya sehari-hari. Memberikan kemampuan bagi anak juga bisa diartikan
membantu anak untuk mengembangkan potensinya.
Selain fungsi-fungsi
diatas, keluarga juga mempunyai tugas dalam menberikan suasana yang kondusif
bagi anak. Adapun tugas-tugas keluarga yaitu: memberikan fasilitas kepada anak,
memenuhi kebutuhan anak, berkomunikasi dengan baik dengan anak, mempersiapkan
pendidikan anak, dan lain sebagainya (Syamsu Yusuf, 2005).
Peran lain dari orang
tua adalah memberikan pendidikan seksual kepada anak sedini mungkin. Hal ini
terkait dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang diterima anak seperti
pelecehan, pemerkosaan, pencabulan yang terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan
kekerasan terhadap anak dalam bentuk seksual merupakan bentuk yang paling
banyak di setiap tahunnya. Pendidikan seks yang dilakukan keluarga adalah
berupa upaya untuk memperkenalkan seks kepada anak. Untuk itu upaya yang dapat
dilakukan orang tua adalah merubah cara pandang mereka tentang seks.
Selama ini orang tua masih
menganggap seks merupakan sesuatu yang masih tabu. Cara pandang yang seperti
itulah yang mengakibatkan anak menjadi malu dan takut untuk membicarakannya
dengan orang tua. Karena itulah akhirnya anak mencari informasi dari
sumber-sumber lain yang belum tentu tepat, seperti teman atau internet. Untuk
itu perlunya kesadaran untuk merubah pandangan tentang seks. Orang tua harus
berpandangan bahwa seks adalah pendidikan yang harus dikenalkan kepada anak sedini
mungkin. Nurani Soyomukti (2008) berpendapat bahwa pengenalan seks dari orang
tua dapat berupa komunikasi dua arah antara anak dan orang tua. Melalui
komunikasi seperti itulah orang tua dapat memberikan pemahaman tentang dampak
dan bahaya seks kepada anak.
Memberikan pendidikan seks kepada anak tidaklah dirasa cukup untuk
menekan angka kekerasan seksual kepada anak. Fungsi orang tua untuk
memperkenalkan agama dan menanamkan nilai-nilai budaya kepada anak juga
memiliki peran penting untuk mengatasi masalah tersebut. Seperti yang telah
dijelaskan diatas, kedua fungsi tersebut juga mempengaruhi pola fikir dan
tindakan anak. Memperkenalkan agama dapat memberikan rasa takut kepada anak
untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang agama. Melalui itulah anak mampu
membentengi diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menyimpang. Selain itu
menanamkan nilai budaya kepada anak dapat membantu anak agar terhindar dari
gaya hidup yang glamor. Disadari ataupun tidak gaya hidup glamor dapat
menjerumuskan anak kedalam masalah eksploitasi seksual dinegeri ini. Anak rela
menjual dirinya demi gadget baru yang lagi nge-trend, Jadi, peran orang tua
dalam memberikan pendidikan seksual harus dibarengi dengan pelaksanaan fungsi
dan tujuan dari orang tua itu sendiri dengan baik.
3.
Pendidikan Yang Memihak Kaum Lemah
Masalah seperti banyaknya anak jalanan dan tenaga kerja yang masih
dibawah umur mungkin masih sering kita lihat dikalangan warga miskin. Disadari
atau tidak, anak-anak yang menjadi korban dari masalah tersebut merupakan anak
yang seharusnya masih duduk dibangku sekolah. Masalah tentang keberpihakan
pendidikan dan kurang meratanya pendidikanpun mulai muncul untuk dibahas
kembali. Pemerintah yang merupakan penyelenggara pendidikan dan menjadi faktor
baik atau buruknya pendidikan di negara ini mulai, dipertanyakan kembali
kebijakannya dalam mendukung pendidikan yang berpihak kepada kalangan dengan
ekonomi yang lemah.
Pemerintah sebenarnya
telah mengupayakan pendidikan yang layak bagi masyarakat sekaligus
aturan-aturan yang mendukung pendidikan yang berpihak kepada kaum lemah.
Pemerintah sudah memiliki dasar hukum yang jelas untuk mengatur dunia
pendidikan seperti dalam UUD 1945 ayat 31 pasal (1) yang berbunyi, “Setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan” ayat (2) berbunyi, “Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
pasal (3) berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”
pasal (4) berbunyi “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyalenggaraan
pendidikan” serta pasal (5) yang berbunyi “pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
merupakan tolak dasar kebijakan pendidikan yang mereprentasikan keberpihakan
terhadap kaum lemah”. Ada juga UU tentang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang
mengatur keberpihakan pendidikan bagi kaum lemah.
Semua peraturan tersebut dibuat untuk memberi arah bagaimana
pendidikan harus dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk
mencapai tujuan yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Dari peraturan-peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pemerintah wajib memberikan pendidikan bagi semua warga negara tak terkecuali
masyarakat kaum lemah yang ada didalamnya.
Kebijakan pemerintah
yang memihak kaum lemah sebenarnya sudah diberikan pemerintah seperti pemberian
kebijakan mengenai bantuan operasional sekolah (BOS) untuk meringankan biaya
pendidikan. Sayangnya, dalam pelaksanaanya kadang masih amburadul, kurang
terkontrol, dan masalah lain seperti penggelapan oleh oknum-oknum tertentu yang
membuat pelaksanaannya tidak berjalan secara optimal masih sering terjadi.
Terlepas dari kekurangan itu, kebijakan tersebut paling tidak dapat memberikan
kesempatan bagi kaum lemah untuk mambebaskan diri dari kebodohan dan
kemiskinan. Dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah
untuk memberikan kesempatan bagi kaum lemah untuk memperoleh pendidikan.
Yang
menjadi masalah sekarang adalah bagaimana kebijakan-kebijakan yang diusung
pemerintah tersebut dapat berjalan secara optimal. Bila dicermati, tidak
berjalannya pendidikan secara optimal disebabkan karena tidak adanya ketegaan
serta tidak terdapat perencanaan yang matang sebelum dijadikan kebijakan. Moh
Yamin (2009) mengemukakan beberapa hal yang perlu dicermati sebagai bagian
perbaikan dalam proses menuju lebih baik lagi, antara lain : (1) Dibutuhkan
satu kepemimpinan yang tegas sehingga segala bentuk kebijakan bisa dijalankan
dengan baik. (2) Kekuasaan dan komitmen politik untuk menjalankan amanat rakyat
diatas kepentingan politik yang kerdil harus dijalankan secara optimal. (3)
Kepemimpinan yang kuat untuk berdiri didepan rakyat dan memperjuangkan rakyat
harus ditegakkan dengan setinggi mungkin. (4) Perlunya memperkuat dorongan
untuk mengimplementaikan segala bentuk kebijakan yang ada. (5) Melakukan
evaluasi kinerja yang dibasiskan pada kompatibilitas kabinet terhadap visi dan
misi kepresidenan. (6) Melakukan perencanaan yang jelas, matang dan konkret
terhadap setiap kebijakan yang akan diturunkan dan dijalankan.
Menjadikan pengalaman yang
buruk menjadi refleksi, pertimbangan, dan koreksi untuk membuat sebuah
kebijakan yang lebih optimal dan berjalan dengan baik merupakan sebuah
keharusan yang tak terbantahkan untuk membuat dunia pendidikan menjadi lebih
baik lagi (Moh Yamin, 2009)..
Pendidikan yang baik tidak
terlepas dari tenaga pendidik didalamnya. Masih sering terdengar kabar
kekerasan yang dilakukan guru kepada muridnya. Hal itulah yang perlu untuk
dirubah dalam pendidikan sekarang ini. Pendidika harus bisa melakukan perannya
dengan baik yaitu sebagai mediator, fasilitator, evaluator, motivator,
pembimbing, dan informator bagi anak didiknya. Selain itu pendidik juga
diharapkan mampu untuk : (1) memposisikan diri sebagi orang tua yang penuh
kasih sayang pada anak didiknya; (2) teman tempat mengadu dan mengutarakan
perasaan bagi anak didiknya, (3) fasilitator yang selalu siap untuk melayani
anak didik sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya; (4) penyumbang
pemikiran pada orang tua anak didik agar dapat mengetahui permasalahan yang
dihadapi anak dan memberikan saran penyelesaiannya; (5) orang yang mampu
memupuk rasa percaya diri, berani, dan bertanggung jawab; (6) orang yang
membiasakan anak didik untuk saling mengembangkan proses sosialisasi yang wajar
diantara teman-temannya, orang lain, dan lain seterusnya; (7) pengembang
kreativitas; dan (8) menjadi pembangtu ketika dibutuhkan (E. Mulyasa, 2005).
4.
Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak menjadi masalah yang
serius dinegara ini, mulai dari kasus eksploitasi ekonomi hingga eksploitasi
seks. Salah satu faktor penting yang menyebabkannya adalah faktor ekonomi.
Masyarakat miskinlah yang rentan terhadap masalah ini. Dan salah satu faktor
penting yang dapat menyelamatkan anak dari masalah tersebut adalah pendidikan.
Pendidikan yang diberikan keluarga dalam arti peran orang tua yang ada
didalamnya dan pemerintah yang
mengupayakan terjaminnya hak anak untuk mendapatkan pendidikan menjadi suatu
masalah yang harus dipecahkan untuk mengahadapi masalah eksploitasi anak di
negeri ini. Peran orang tua adalah memperlakukan anak dengan baik dengan
memenuhi fungsi dan tugasnya dengan baik serta memberikan pendidikan seksual
kepada anak. Disisi lain, Kebijakan yang telah dibentuk pemerintah demi
memberikan kesempatan bagi anak yang berada pada kalangan lemah harus lebih dioptimalkan
lagi. Selain itu, pendidik yang merupakan faktor penting dalam proses
pendidikan juga mendapat perhatian dalam keberlangsungan proses pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf,
Syamsu LN. 2005. Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Soyomukti,
Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Yogyakarta: Ar-ruzz media.
Yamin, Moh.
2009. Menggugat
Pendidikan Indonesia. Malang: Ar-ruzz media.
Setiono,
Kusdwirarti. 2011. Psikologi Keluarga. Bandung: P.T. Alumni Bandung.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Republik
Indonesia. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta : Republik
Indonesia.
Republik
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 ayat 31 pasal 1-5. 1945. Jakarta:Republik Indonesia
Referensi Media
Kompas.
(2012). “Eksploitasi Seksual Anak Harus Segera Dihentikan” diunduh
dari (http://regional.kompas.com/read/2012/12/23/15380080/Eksploitasi.
Seksual.Anak.Harus.Segera.Dihentikan), pada 2 November 2013.
Kompas. (2013).
“Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak” diunduh
dari (http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-seksual-anak--579268.html), pada 2 November 2013.
Merdeka. (2012). “1,7 Juta anak indonesia korban eksploitasi” diunduh dari
(http://www.merdeka.com/peristiwa/17-juta-anak-indonesia-korban-eksploitasi.html),
pada 2 November 2013.
Atjehlink. (2013). “IMMC : Kekerasan
Terhadap Anak Dominan Bermotif Eksploitasi Ekonomi & Seksual” diunduh dari (http://atjehlink.com/immc-kekerasan-terhadap-anak-dominan-bermotif-eksploitasi-ekonomi-seksual/),
pada 2 November 2013.
Vivanews. (2010). “Komisi
Bongkar Kasus Eksploitasi Anak80 anak diduga dieksploitasi sebagai pekerja di
pabrik teh CV Jangkar Mulia.”
diunduh dari (http://life.viva.co.id/news/read/123363-komisi_bongkar_kasus_eksploitasi _anak), pada 2 November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar