Oleh Tri Lestari
Utami
Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Kekerasan
dapat terjadi di kehidupan sehari-hari, di keluarga, masyarakat, maupun di sekolah.
Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu, mengembangkan
potensi anak, menjadi tempat yang kondusif, justru terjadi tindak kekerasan
didunia pendidikan, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan didunia
pendidikan. Berdasarkan data yang saya peroleh dari kasus-kasus yang terjadi
didunia pendidikan dan berdasarkan data komnas perlindungan anak pelakunya juga
tidak hanya dari guru saja, banyak juga dari siswanya sendiri. Kekerasan itu
tidak hanya dari kekerasan fisik saja, kekerasan verbal, psikologis juga banyak
terjadi di kalangan dunia pendidikan dan akan berdampak buruk pada dunia
pendidikan kita. Untuk itu perlu pengetahuan akan apa yang dimaksud dengan
kekerasan dan dampak apa yang akan ditimbulkan dari tindakan tersebut. Dan
perlu tindak lanjut dari kasus kekerasan yang terjadi agar tidak terulang
kembali kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan.
Kata kunci : kekerasan, pendidikan, kasus, sekolah, siswa.
Pendahuluan
Kekerasan dapat
terjadi dikehidupan sehari hari, di keluarga, masyarakat maupun sekolah. Dunia
pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu, mengembangkan potensi
anak, menjadi tempat yang nyaman, kondusif juga jauh dari kekerasan, mendidik
moral bangsa, justru di sebagian sekolah terjadi kasus kekerasan. Baik yang
dilakukan oleh siswa, guru, maupun pengurus sekolah. Kasus kekerasan yang
terjadi di dunia pendidikan seperti gunung es yang terlihat sedikit tapi jika
diungkap lebih dalam akan banyak kasus yang terungkap (Ibnu hasan, 2013).
Kekerasan sangat sering terjadi dikehidupan sehari hari baik keluarga, masyarakat,
bahkan di sekolah. Berbicara tentang pendidikan di Indonesia sekarang ini tidak
luput dari yang namanya masalah masalah pendidikan. Salah satunya masalah
kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar yang menghantui para pelajar dan
orang tua sampai saat ini.
Di Indonesia
sekarang ini banyak sekali terjadi kasus kekerasan yang terjadi di sekolah baik
itu dilakukan oleh gurunya maupun oleh siswanya. Contoh kasus kekerasan yang dilakukan
oleh guru terjadi di Jagakarsa, Jakarta selatan seorang guru memukul muridnya
yang masih kelas 1 SD dengan penggaris besi (Endah hapsari, 2013) atau pelajar
sendiri yang menjadi tersangka seperti kasus yang terjadi di jalan Daan Mogot,
Cengkareng, Jakarta Barat seorang pelajar tewas disabet celurit saat tawuran (Theresia
felisiani, 2013). Hal tersebut sungguh sangat memprihatinkan para pelajar yang seharusnya menjadi cikal
bakal untuk menjadi generasi penerus bangsa justru malah menjadi korban
kekerasan maupun tersangka kekerasan. Pendidikan di Indonesia sudah melahirkan
banyak kekerasan di dunia pendidikan dan akan diadopsi ke kehidupan masyarakat
karena peserta didik akan kembali lagi ke masyarakat. Padahal kekerasan yang
terjadi di dunia pendidikan justru bukan menjadikan para siswa menjadi siswa
yang disiplin tapi malahan menjadikan siswa ini trauma atau bahkan malah
semakin brutal.
Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi
di dunia pendidikan kita, membuat para orang tua dan masyarakat kawatir dengan
anak mereka. Kekerasan terjadi dari tingakat sekolah dasar, menengah, atas
bahkan perguruan tinggi. Pelakunya tidak hanya dari siswa saja tapi juga dari
para pendidik. Para pendidik yang berdalih dalam melakukan kekerasan untuk
menerapkan norma kedisiplinan tapi kadang terlalu dipaksakan dan jatuhnya
menjadi tindak kekerasan. Kekerasan tersebut tidak hanya secara fisik tapi juga,
verbal dan psikologi, seksual, yang membuat anak didik terganggu fisik dan psikisnya.
Dan dapat menjadi trauma yang berkepanjangan. Hal ini juga akan berdampak pada
pembelajaran mereka. Kekerasan dalam pendidikan sebenarnya adalah fenomena yang
sangat marak terjadi tapi sedikit kasus yang ditangani secara khusus. Padahal
jika hal tersebut dibiarkan terus menerus akan berbahaya . Berdasarkan data
komnas perlindungan anak tahun 2007.
Tabel 1. Tempat Terjadinya
(lihat http://lbhmawarsaron.or.id, 2013)
Kekerasan (Bullying)
|
Jumlah Kasus
|
Persentase
|
Di Sekolah
|
226
|
54,20%
|
Di Luar Sekolah
|
191
|
45,80%
|
Total
|
417
|
100%
|
Tabel 2. Bentuk Bullying
(lihat http://lbhmawarsaron.or.id, 2013)
Kekerasan (Bullying)
|
Jumlah Kasus
|
Persentasi
|
Kekerasan Fisik
|
89
|
21,34%
|
Kekerasan Seksual
|
118
|
28.30%
|
Kekerasan Psikis
|
210
|
50,36%
|
Total
|
417
|
100%
|
Tabel tersebut menunjukan betapa tingginya kasus kekerasan
yang terjadi di Indonesia dan dapat dilihat bahwa kasus kekerasan yang terjadi
di sekolah lebih banyak dari pada kasus kekerasan yang terjadi di luar sekolah
terdapat lebih dari setengahnya kekerasan pada anak terjadi disekolah. Padahal
sekolah adalah wadah untuk anak dalam mengenyam pendidikan, mengembangkan
bakat, dan paling penting adalah salah satu wadah untuk membentuk moral. Tapi
justru sebaliknya kekerasan terjadi di sekolah menyebabkan anak menjadi brutal,
ataupun trauma, kekerasan yang diterima tidak hanya kekersan fisik saja tapi
juga psikis, verbal atau kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme.
Sekarang kita lihat saja dalam pendidikan disekitar kita
yang katanya sekolah sebagai tempat untuk mendididik dan membentuk karakter
bangsa tapi kita sering menemui kasus yang tidak seharusnya ada, seperti contoh
kita mendapatkan kata-kata kotor, perilaku kasar justru dari sekolah. Sering
kita jumpai guru mengucapkan kata-kata kotor atau kurang pantas kepada anak
didiknya. Kata-kata kotor dari sesama teman atau bahkan senior. Sering kita
jumpai guru mengejek, mencela muridnya dengan kata kata yang kurang pantas dan
dapat menimbulkan trauma, sakit hati, dendam, atau bahkan justru kata–kata
tersebut tertanam dalam kepalanya dan mempraktekanya dalam kehidupan sehari-hari.
Kekerasan yang terjadi di dunia pendidikaan desebabkan oleh banyak faktor mulai dari faktor
guru, siswa, keluarga, dan masyarakat.
Berdasarkan
penelitian UNICEF (2006) dibeberapa daerah di Indonesia kasus kekerasan 80%
dilakukan oleh guru (Odi shalahudin,
2012). Betapa mirisnya melihat hal tersebut seorang guru yang seharusnya
mendidik anak didiknya menjadi generasi yang beradab, bermoral justru
memeberikan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pendidik,
karena hal tersebut selain akan berpengaruh sesaat tapi juga bisa berkelanjutan,
trauma yang berkepanjangan atau memberikan dampak si anak didik tindak
kekerasan melakukan sebagai upaya balas dendam atau meniru melakukan tindak
kekerasan terhadap teman sebayanya ,atau orang lain di kehidupan bermasyarakat.
Kadang seorang guru berdalih melakukan kekerasan untuk mendidik agar siswa
menjadi disiplin, tapi seharusnya tidak dengan kekerasan. Dan jangan menghakimi
murid yang salah hanya melihat dari luarnya saja tanpa meninjau lebih jauh dan
lebih dalam apa yang dilakukan oleh siswa, latar belakangnya, kadang guru hanya
melihat tindakan yang dilakukan saat itu dan langsung menghujaminya dengan
kata–kata yang kasar atau bahkan dengan tindakan yang kasar secara fisik, seperti
melempar penghapus, menjewer atau tindak kekerasan yang lain.
Kontrol emosi dari
guru juga dibuthukan. Kadang psikologis guru yang sedang tidak mendukung atau
ada masalah dalam keluarga atau dirinya membuat guru kurang dapat mengontrol
emosi, dan lebih sensitif dan melampiaskan kemarahanya kepada siswa yang
menurutnya salah walau hal kecil. Seperti baru–baru ini kasus yang terjadi di
Jawa Timur SDN 5 Jember mendadak menjadi sorotan, gara-gara meledaknya kasus
kekerasan guru terhadap siswanya. Seorang guru perempuan tega melempar muridnya
dengan sepatu, hanya karena sang murid melamun (lebih jelasnya lihat radarbanyumas.co.id, 2013) itulah salah
satu contoh konkrit tentang kekerasan yang ada di Indonesia yang dilakukan oleh
si pendidik itu sendiri, dan hal
tersebut karena hal yang sepele hanya karena melamun , melamun saja sudah
dilempar sepatu apalagi tidur atau melakukan tindakan yang lebih dari itu, guru
yang seharuanya menjadi panutan justru memberikan contoh yang sangat tidak
mendidik.
Dari pendidik
saja mereka sudah menerapkan cara kekerasan fisik untuk mendidik, apa jadinya
anak didiknya. Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan
cenderung mengabaikan kemampuan afektif . Tidak menutup kemungkinan bahwa suasana
belajar menjadi hampa, tegang, stress. Dan dari pihak guru pun kesulitan dalam
menciptakan suasana belajar yang menarik, santai dan tidak membosankan, hal
tersebut juga akan mempengaruhi emosi dari si pendidik juga dalm mendidik
siswanya (Pudji susilowati, 2008). Selain dari guru kekerasan juga kerap
dialami oleh anak didik oleh anak didik yang lain, mulai dari senior atau pun
dari teman sebayanya sendiri.
Kepolisian Resor
Bogor Kota, Selasa (22/10/2013), menangkap dan menahan dua siswa SMK YKTB dan
satu siswa SMK Yatek. Mereka terlibat dalam penganiayaan yang hampir menewaskan
Hendro Pratama Putra (15), siswa SMK PGRI 2. Tersangka menganiaya korban dalam
tawuran sehingga kritis dan harus dirawat dirumah sakit. AS yang saat itu
membawa pisau menusuk perut Hendro dan menyabet kepala Hendro. Korban gegar
otak, tulang rusuk patah, dan luka tusuk. AS mengatakan sengaja mengincar
Hendro karena dendam. Tersangaka perbah dianiaya oleh korban sebulan yang lalu (Manumoyoso, 2013).
Melihat kasus
tersebut sungguh memprihatinkan, tidak tanggung tanggung kasus tersebut hampir
menghilangkan nyawa seseorang. Bagaiman jadinya generasi penerus bangsa yang
katanya akan membuat Indonesia emas di tahun 2045? kasus tawuran pelajar bisa juga disebabkan karena ingin
menaikkan pamor sekolah, karena aksi balas dendam seperti yang dilakukan oleh
AS kepada Hendro yang tidak terima dangan perlakukan korban yang pernah
menganiaya tersangka. Begitu pula yang biasa kita temui yang namanya kasus
perpeloncohan di saat Ospek atau MOS. Para senior biasanya menggunakan status
senior mereka untuk mem bully adik kelasnya. Seperti contoh kasus yang terjadi
di Jakarta juli 2012. Polres Jakarta Selatan menetapkan sebanyak 9 murid SMA
Don Bosco sebagai tersangka dalam kasus
dugaan kekerasan. Terhadap lima murid baru dengan cara dipukul satu persatu.
Bahkan, satu diantaranya disudut rokok (lihat
http://www.suarapembaruan.com/, 2012).
Padahal Ospek
atau MOS itu bertujuan untuk mengenalkan bagaimana kondisi sekolah atuu sebagai
perkenalan awal kepada anak didik baru tentang sekolah tersebut tapi pada
praktek di lapangan banyak terjadi kasus bully baik itu kata–kata kasar ataupun
sampai tindakan fisik langsung yang kadang sampai menimbulkan kematian, para
senior melakukan hal tersebut dangan beberapa
alasan mulai dari yang berdalih bahwa itu untuk mendidik, atau untuk
menunjukan status kekuasaan mereka sebagai seorang senior yang perlu dihormati,
atau sebagai aksi balas dendam terhadap kasus yang pernah dialami oleh para
senior di saat mereka masih menjadi junior. Kasus ini sudah seperti budaya yang
melekat pada budaya ospek di Indonesia yang kadang menjadikan para anak didik baru menjadi takut
atau khawatir, atau bahkan tertekan jika mengikuti ospek. Ospek seperti hantu
yang menjadi bayang–bayang saat masuk pertama tahun ajaran baru.
Faktor dari
keluarga, keluarga sangat berpengaruh terhadap pola perkembangan anak, karena
keluarga adalah tempat pertama dan tempat dimana anak lebih banyak menghabiskan
waktu di lingkungan keluarga. Cara didik yang diterapkan oleh orang tua juga
sangat berpengaruh terhadap sikap anak. Pola asuh yang cenderung memanjakan
juga membentuk sikap anak yang sudah terbiasa dengan apa yang dia inginkan
terpenuhi dan dengan pola kehidupan yang demikian si anak tidak belajar untuk mengendalikan emosi
dan tidak belajar untuk mengelola
dirinya. Dan pola orang tua yang emosianal akan membentuk persepktif pada anak
bahwa si anak kurang dikehendaki akan menimbulkan dampak psikologi pada anak (Pudji
susilowati, 2008).
Kurangnya
pengetahuan tentang tindak kekerasan, kurangnya keberanian untuk mengungkap
kasus kekerasan, kurangnya perhatian
dari pemerintah untuk kasus kekerasan, dan ketidaktegasan sanksi yang seharusnya
diberlakukan adalah salah beberapa faktor yang memicu tindak kekerasan. Di
Indonesia banyak kasus kekerasan yang terjadi
dari mulai kekerasan verbal, seksual, maupun kekerasan fisik dari yang
biasa sampai yang berat. Walupun itu hanya bentuk sindiran dan omongan saja
tapi bisa menimbulkan dampak yang besar tehadap si korban, dampak psikis
misalnya korban akan merasa sakit hati, atau takut, dan itu akan menimbulkan
juga rasa malas untuk mengikuti kegiatan yang dia itu mendapatkan perilaku
kekerasan tersebut. Dan akan membuat si korban menjadi benci dengan orang itu
walaupun yang dikatakan si pelaku atau dilakukan si pelaku itu baik si korban
akan tidak peduli dan menganggap perkataan si pelaku atau perbuatan si pelaku
itu jelek. Agar kasus kekerasan semakin berkurang bahkan hilang terutama
kekerasan yang ada di dunia pendidikan. Dan
menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan jauh dari tindak kekerasan.
Kita sebagai salah satu komponen yang berada dalam dunia pendidikan sejak dini
berusaha untuk meninggalkan tindakan kekerasan baik secara fisik atau psikis .
Kekerasan di dunia pendidikan
Dunia pendidikan
haruslah menjadi wadah dimana siswa dan seluruh komunitas yang ada didalamnya
alam mendapatkan pendidikan merasa
nyaman, aman, dan tenteram secara fisik dan psikis. Bentuk kekerasan apapun baik
itu yang dilakukan oleh siswa, guru, atau pengurus sekolah menjadi ancaman bagi
rasa aman dan menggangu pembelajaran. Dengan perilaku kekerasan yang semakin
meluas dimana mana, membuat kasus tersebut kadang sulit untuk terdeteksi dan
terungkap. Kadang pelaku menggunakan cara untuk menutupi tindak kejahatanya
dengan mengancam korban ataupun pelaku tidak segan–segan untuk melakukan
kekerasan fisik kepada korban maupun saksi yang melihat, agar perbuatan mereka
tidak tercium oleh pihak luar. Dan penting setiap orang memahami tingkah laku
yang merupakan perilaku kekerasan. Kekerasan pada siswa adalah suatu tindakan
yang dilakukan terhadap siswa disekolah dengan dalih mendisiplinkan siswa (Pudji
susilowati, 2008).
Kurangnya
pengetahuan tentang batasan apa yang dimaksud dengan kekerasan membuat orang–orang melakukan
tindakan yang tergolong kekerasan tanpa mereka sadari, dan ketidaktahuan mereka
membuat kekerasan semakin marak dan membuat dampak yang negatif bagi si korban
maupun si pelaku. Jadi ucapan saja bisa tergolong tindak kekerasan jika ucapan
tersebut tidak sepantasnya diucapkan dalam batasan konteks kebiasaan, atau budaya setempat dan
tergolong menyakitkan, pengetahuan tentang apa yang dinamakan tindak kekerasan
sangat penting karena dengan kita mengetahui seberapa jauh yang tindakan yang
tergolong kekerasan dan dengan mengetahui batasan tersebut kita akan lebih
berhati-hati dalam menggunakan kata-kata
atau melakukan sesuatu perbuatan. Oleh karena itu begitu pentingnya setiap
orang di sekolah memahami tingkah laku yang merupakan perilaku kekerasan,
pendefinisian menjadi sangat penting agar tidak terjadi salah penafsiran
mengenai definisi kekerasan.
(….) Di tahun
1991 Peter Randall merumuskan perilaku intimidasi sebagai “perilaku
agresif yang muncul dari suatu maksud
yang disengaja untuk mengakibatkan tekanann kepada orang lain secara fisik dan
psikologis.” Definisi lain Pusat Keamanan sekolah Nasional menambahkan satu
unsur lain yang disepakati oleh para peneliti yakni perilaku yang agresif dan
menyakitkan ini dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang (Les parsons, 2009
: 9).
Ada 3 jenis
kekerasan yaitu: (1) kekerasan verbal atau tertulis, melalui penggunaan
stereotip-stereotip dan penanaman yag bermuatan seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi,
dan ketidaksempirnaan fisik / mental, dan homofobik; (2) Kekerasan fisik, seperti
mrngguncang, mendorong, mencubit, menarik rambut atau telinga, memukul dengan
penggaris, atau melemparkan sesuatu; (3) Kekerasan psikologis seperti berteriak,
berbicara, dengan sarkasme, menyobek hasil kerja, mengadu domba siswa, membuat
ancaman-ancaman; (4) kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme seperti
penilaian yang tidak adil, menerapkan hukuman dengan pilih-pilih, menggunakan
cara-cara pendisiplinan yang tidak pantas, mengarahkan pada kegagalan dengan menetapkan
standar yang tidak wajar, membohongi rekan sekerja, orang tua, atasan mengenai perilaku siswa,
menghambat siswa untuk memperoleh kesempatan balajar yang sama, kesempatan
menggunakan materi-materi, atau pengayaan, mengintimidasi orang tua yang karena
hambatan bahasa, budaya, atau status ekonomi tidak dapat menyampaikan keluhan
pada sekolah (Les Parsons, 2009: 71).
Apalagi
kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan harusnya jangan sampai terjadi
karena para orang tua, masyarakat sudah memberikan kepercayaan kepada sekolah
atau dunia pendidikan untuk mendidik anak mereka untuk mengembangkan bakat anak,
membentuk manusia yang berkarakter, jika di sekolah saja tempat dimana anak
belajr untuk menjadi seseorang yang terdidik malah terjadi tontonan atau
menjadi peraga dalam kekerasan apa yang akan didapatkan si anak didik tersebut,
pasti lingkungan pendidikan akan berpengaruh besar tehadap karakter pribadi
anak, jika di sekolah anak mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya di dapat
didunia pendidikan seperti kata-kata kotor, kadang anak justru mendapatkan
kata-kata tersebut dari lingkungan pendidikan atau sekolah baik kata-kata yang
dilontarkan oleh teman sebaya, senior, atau bahkan kata tersebut didengar oleh
anak dari seorang pendidik, banyak di sekitar kita kita justru mendengar kata-kata
yang tidak baik dari lingkungan sekolah.
Tingkat keberanian mengungkap kasus
Kasus kekerasan
di dunia pendidikan seperti fenomenea puncak gunung es yang terlihat hanya
puncaknya saja, jadi seperti kasus kekerasan yang terekpos hanya yang puncak
saja jadi kasus yang terekspose atau
yang besar-besar saja kasus yang dilaporkan hanya kasus yang sudah benar-benar
besar atau kasus yang fatal (Ibnu hasan, 2013). Padahal kasus kekerasan dalam
dunia pendidikan perlu untuk diungkap dan ditindak lanjuti agar tidak terulang
kembali kasus tersebut. Tidak terungkapnya kasus kekerasan itu disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain missal si korban takut untuk mengungkap karena
diancam, atau akan diteror, baik itu ancaman dalam bentuk perkataan saja atau
dengan kekerasan fisik yang dilakukan oleh pelaku, ada juga misal ada saksi
yang melihat mereka enggan atau takut untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap
pihak yang berwenag karena tidak peduli, diancam oleh pelaku baik ancaman
kekerasan fisik atau hanya sekedar ancaman kata-kata.
Keberanian
mengungkap kasus kekerasan yang ada di duni pendidikan di Indonesia memang
masih minim, misal juga jika kekerasan itu dilakukan oleh sekolah yang memiliki
pamor yang tinggi, kadang pihak sekolah cenderung untuk menutupi kasus tersebut
karena takut kasus tersebut diketahui oleh masyarakat luar dan akan mencoreng
citra baik dari sekolahan tersebut. Seharusnya siapa saja yang melihat, atau
mengalami tindakan kekerasan segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak
yang berwenang agar ditindak lanjuti, agar kasus tersebut tidak terulang
kembali, dan sedikit demi sedikit akan mengurangi angka kekerasan yang ada di
dunia pendidikan.
Seperti kasus
yang terjadi di IPDN ada delapan siswa yang diketahui meninggal karena kepala
pecah, gegar otak, tulang dada retak, sehingga menderita tumor di otak.
Kematian delapan siswa ini yang merupakan
korban kekerasan ada tiga siswa . Dan adanya upaya menutup-nutupi kasus oleh pihak IPDN.
Terutama pada kasus terakhir yang
menimpa Cliff Muntudia yang dipukuli mati matian oleh kaka kelas secara
ramai-ramai, pihak IPDN. melakukan pengaburan penyebab kematian sekaligus
mengintimidasi siswa IPDN untuk melakukan tutup mulut (lihat http://untouch.wordpress.com, 2007). Kasus tersebut menunjukan bahwa
tersangka melakukan ancaman kepada korban untuk membocorkan kasus kekerasan
yang dialami. Sungguh tragis dan memprihatinkan kasus ketidak keberanian korban
untuk melaporkan kasus karena ancaman yang dilakukan oleh tersangka.
Undang-undang tentang kekerasan
Perhatian
pemerintah terhadap kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan cenderung
minim, padahal perhatian dari pemerintah sebagai petinggi negara sangat
diperlukan dalam pemberantasan kasus kekerasan yang ada Indonesia apalagi
kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Dalam menegakkan kedisiplinan dan
mendidik moral perlu ketegasan sanksi yang diperlakukan. Sebenarnya undang-undang
yang dibuat oleh pemerintah dalam memerangi kasus kekerasan sudah sangt jelas. Tapi
pada prakteknya masih jauh dari apa yang seharusnya diberlakukan. Dari dunia
Internasional pun sudah ada aturan yang dibuat. Sesuai dengan piagam Hak Asasi
Anak-Anak PBB memiliki hak untuk merasa aman dan untuk memperoleh pendidikan.
Batasan-batasan kekerasan menurut Undang undang Perlindungan Anak nomor 23
tahun 2002 ini, tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang
berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecatatan fisik
akibat dari perlakuan itu.
Dampak kekerasan dalam pendidikan
Kekerasan pada
anak, terutama dalam pendidikan pastilah
akan memberikan dampak baik kepada korban,
tersangka, orang lain ataupun institusi yang bersangkuatan. Baik itu
dampak secara psikis maupun secara fisik. Dampak kekerasan psikis antara lain
seperti merusak organ tubuh seperti luka luka memar, memar seperti kasus yang
terjadi oleh Lia seorang murid SMP yang kepalnya terdapat gumpalan darah yang
sudah bertahun-tahun akibat waktu kelas 4-5 SD dia mengalami kekerasan, dia
diantuk-antukan kepalnya ke dinding oleh teman-temanya jika ia tidak memberikan
uang. Karena dia takut untuk melaporkan akibat dari tindakan tersebut terdapat
gumpalan darah yang bertahun-tahun dikepalanya yang baru diketahui dan tidak
ada jalan lagi untuk mengobati selain dioperasi dan akhirnya dia meninggal saat
dioperasi (Imam musbikin, 2005: 256-259). Hal tersebut adalah contoh dari
akibat tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian, walaupun tidak langsung, dan
bukan kekerasan fisik yang berat, tapi seringan apapun tindak kekerasan itu
pasti akan berdampak pada anak.
Dampak
psikologis seperti rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangt
belajar, daya konsentrasi, kreatifitas, hilang inisiatif, daya tahan, menurunya
rasa percaya diri,berakibat pada menurunya prestasi dalm pendidikan (Arofah
septalinda, 2013) seperti contoh kasus Leo ia sering membolos sekolah dan
akibatnya dia dianggap anak yang nakal oleh gurunya dan orang tuanya akhirnya
dia kabur dari rumah akhirnya Leo dibawa ke psikiater oleh ibunya dan akhirnya
dia bercerita dia sering bolos sekolah karena dia muak, jijik, dan takut kepada
teman-temannya yang selalu memnaggilnya gendut, teman-temanya selalu
memperlakukan dia seperti budak belian dan sasaran ejekan julukan itu disandang
dia sejak TK, dan saat SD dia sering membeersihkan papan tulis atau menyapu
walau bukan piketnya. Itu memang bukan kekerasan fisik tapi itu termasuk
kekerasan verbal dan psikologi yang berakibat pada jiwanya dan mengakibatkan
dia jadi sering bolos sekolah, malas untuk bersekolah, untuk belajar.Dan
akhirnya dia mau sekolah lagi tapi pindah sekolahan (Imam Musbikin, 2005:
260-261).
Solusi untuk mengatasinya
Menumbuhkan
kesadaran kepada pendidik selain menjadi pengajar, seseorang guru juga berperan
sebagai seorang pendidik dan motivator bagi siswa-siswanya. Sebagai seorang
pengajar, guru dituntut bekerja cerdas dan kreatif dalam mentransformasikan
ilmu atau materi kepada siswa,dan guru juga dituntut unuk menanamkan nilai
moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban dan peraturan disekolah dan
seorang guru dalam mendidik seharusnya jika mengucapkan sesuatu dalam menegur
atau mengkritik itu harus dengan bahasa yang sopan, tidak boleh manggunakan
bahasa yang sarkasme, apalagi jika guru sampai melakukan tindak kekerasan
secara fisik. Menumbuhkan kesadaran kepada anak didik juga tentang kekerasan
dan bahaya kekerasan dan akibat yang akan ditimbulkan. Dan pemberlakuan sanksi
yang seharusnya diberlakukan jika sanksi itu tidak diberlakukan dengan mestinya
takutnya kasus kekerasan itu akan semakin marak. Dengan pemberlakuan sanksi
yang tegas akan meminimalisir kasus kekerasan (Arofah septalinda, 2013).
Kesimpulan
Kekerasan
terjadi dimana saja apalagi dunia pendidikan,
kekerasan ada berbagai macam baik itu kekerasan fisik, verbal, psikologis.
Apapun bentuk kekerasan itu pasti akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Padahal
sekolah adalah tempat seharusnya menjadi wadah yang aman, nyaman dalam
mengembangkan potensi, bakat, kurangnya keberanian mengungkap kasus. Kurang tegasnya
pemberlakuan sanksi dan lain sebagainya,
membuat kasus kekerasan yang ada disekolah menjadi semakin marak.
Pendidikan di Indonesia sudah melahirkan banyak kekerasan di dunia pendidikan
dan akan diadopsi ke kehidupan masyarakat karena peserta didik akan kembali
lagi ke masyarakat. Solusi dalam kasus ini yaitu dengan menumbuhkan kesadaran
baik kepada guru ,maupun siswa tentang kekerasan dan dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut. Dan dari
semua pihak harus berusaha untuk memerangi kasus kekerasan terutama yang
terjadi di dunia pendidikan.
Daftar pustaka
Musbikin, Imam.
(2005). Mendidik Anak Nakal.
Yogyakarta: Pustaka pelajar offset.
Parsons, Les. (2009).
Bullied Teacher Bullied Student.
Terjemahan G. Warong. Jakarta: Grasindo.
Referensi Media Massa
Anonim. (2013). “Bullying pada Institusi Pendidikan Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum” Diunduh di (http://lbhmawarsaron.or.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=149:bullying-pada-institusi-pendidikan-ditinjau-dari-sudut-pandang-hukum&catid=79:materi-seminar-dan-penyuluhan&Itemid=213), tanggal 3 November 2013.
Anonim. (2007). “Menghapus Kekerasan dalam Pendidikan Birokrat” Diunduh di (http://untouch.wordpress.com/2007/09/03/menghapus-kekerasan-dalam-pendidikan-birokrat/), tanggal 9 November 2013.
Anonim. (2012). “Pelaku Tindak Kekerasan Saat MOS Harus Diproses” Diunduh di (http://www.suarapembaruan.com/home/pelaku-tindak-kekerasan-saat-mos-harus-diproses/22866), tanggal 8 November 2013.
Felisiani, Theresia. (2013). “Wahyu Tewas Ditebas Celurit” Diunduh di (http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/05/16/wahyu-tewas-ditebas-celurit), tanggal 8 November 2013.
Hapsari, Endah. (2013). “Sadis, Guru Aniaya Murid dengan Penggaris Besi” Diunduh di (http://www.republika.ac.id), tanggal 8 November 2013.
Hasan, Ibnu. (2013). “Pendidikan dan Kekerasan”
Diunduh di (http://ibnuhasanhasibuan.wordpress.com/pendidikan-dan-kekerasan/),
tanggal 6 Oktober 2013.
Manumoyoso, A.H. (2013). “Korban Gegar Otak, Tiga Siswa Pelaku Tawuran Ditahan di Bogor” Diunduh di (http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/07/fenomena-un-dan-potret-kegagalan-dunia-pendidikan-455714.html), tanggal 4 November 2013.
Radar Bayumas. (2013). “Kekerasan dalam
Pendidikan” Diunduh di (http://www.radarbanyumas.co.id/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan/), tanggal 7 Oktober 2013.
Septalinda, Arofah. (2013). “Kekerasan
dalam Pendidikan” Diunduh di (arofaheducation.wordpress.com/2013/07/03/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan/),
tanggal 6 Oktober 2013.
Shalahudin, Odi. (2012). “Menyoal Kekerasan dan Penghukuman Fisik di Sekolah (3)” Diunduh di (http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/09/09/menyoal-kekerasan-dan-penghukuman-fisik-di-sekolah-3/), tanggal 10 november 2013.
Susilowati, Pudji.
(2008). “Kekerasan Pada Siswa di Sekolah” Diunduh di
(http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan_detail.asp?id=499), tanggal 8
November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar