Sabtu, 28 Desember 2013

Perkembangan Kebudayaan

Oleh Muhammad Firdaus Immas
Jurusan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Abstrak

Keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan fisik, bukan hanya akan dapat dipakai untuk mengembangkan daya dukung alam, tetapi juga dapat dipakai untuk mengembangkan diri manusia dan masyarakat. Apabila ini yang terjadi, akan tercapai suatu keselarasan hubungan antara alam dan manusia. Kondisi kebudayaan suatu bangsa dan tingkat pembangunan yang diupayakan berada pada hubungan yang saling mempengaruhi. Karena itu, keanekaragaman suku-bangsa dan golongan sosial di Indonesia, telah memunculkan pula terjadinya berbagai pola strategi adaptasi. Oleh karenanya pemahaman terhadap strategi adaptasi suku-bangsa dan golongan sosial tertentu, yang tercermin pada peta kognitif dan dipelajarinya melalui proses sosialisasinya, akan dapat diperoleh pemahaman dan mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena sosial yang sedang terjadi dan dihadapinya.

Keywords : konsep, perkembangan, pewarisan, persebaran kebudayaan Indonesia, masyarakat.

1. Pendahuluan

Penulisan ini dilakukan untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam pemahaman tentang konsep kebudayaan, ekologi kebudayaan, pewarisan dan perkembangan kebudayaan, persebaran kebudayaan, kebudayaan dan inovasi.  Ada 2 (dua) yaitu : (1) Kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep, ekologi, pewarisan dan perkembangan, persebaran, dan kebudayaan dan inovasi; (2) Kurangnya pemahaman tentang hubungan konsep, ekologi, pewarisan dan perkembangan, persebaran, dan kebudayaan dan inovasi terhadap lingkungan.
Kata kebudayaan yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang juga merupakan bentuk dari kata buddhi ataupun juga budi dan akal yang bias juga diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris juga menyebutkan, kebudayaan yang disebut culture, yaitu berasal dari kata Latin Colere, yang mengolah ataupun mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (lihat wikipedia.org, 2013).
Terdapatnya keanekaragaman manusia dan kebudayaan yang berada di muka bumi ini, telah menarik perhatian dari para ahli antropologi. Pada dasarnya, kebudayaan adalah proses adaptasi, yang terjadi karena ada yang berpendapat bahwa konsepsi tentang kebudayaan ialah sebagai strategi adaptasi terhadap pada lingkungan. Sementara itu, keanekaragaman kebudayaan adalah disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal yang berbeda. Penilaian bahwa salah satu dari penyebab keanekaragaman kebudayaan juga disebabkan oleh faktor ekologi.
Sebagian besar masyarakat desa di Indonesia, diliputi oleh sindrom kemiskinan dan sindrom enersia dan dimensi yang terkait ke dalam dua jenis sindrom tersebut amat kompleks dan saling terkait. Karenanya upaya untuk mengembangkan sumber daya alami yang tersedia di suatu kawasan, sering dihadapkan pada kendala sosial-budaya yang melekat pada diri manusia. Introduksi suatu in-put baru pembangunan akan menyentuh soal preferensi nilai-nilai (lihat referensimakalah.com,2012).

2. Konsep Kebudayaan

Konsep kebudayaan telah berkembang di kalangan para ahli antropologi, dan telah berkembang juga di berbagai bidang pemikiran.Masih banyak yang dijumpai,dan belum ada konsistensi penggunaannya, terutama dalam pemakaiannya yang  juga terdapat kekurang pahaman yang kurang jelas. Menurut Roger M. Keesing dan Goodenough berpendapat pada tahun 1981 1957 dan 1961, bahwa dalam konteks definisi serta penggunaannya seringkali masih kabur, misalnya seperti dalam membeda-bedakan antara teori pola untuk perilaku dan pola dari perilaku (Poerwanto,2008:56).
Kebudayaan sebagai “pola untuk perilaku” adalah yang mengacu pada “pola kehidupan suatu masyarakat”,yaitu berupa berbagai kegiataan ataupun bentuk-bentuk pengaturan sosial dan material. Dan sedangkan pengertian “pola dari perilaku”, adalah berupa gagasan yang mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan, yang menjadi pedoman untuk mengatur tindakan mereka.
Dalam pengunaan sehari-hari, kata “kebudayaan” dan “budaya” yang dianggap memiliki sebuah kesamaan dalam ruang lingkup sementaraitu juga, sering ditemukan kerancuan penggunaan karena sebuah kesalahan dalam menterjemahkan.
Menurut beberapa para ahli antropologi yang mengemukakan dalam buku seperti E.B. Tylor yang menuliskan pendapatnya dalam buku yang berjudul “Primitive Culture” yang diterbitkan pada tahun 1871, yang berisi tylor mengungkapkan bahwa kata kultur arti dalam bahasa Jerman adalah sama pengertiannya dengan sebuah kata “civilization” dalam bahasa Inggris (Poerwanto,2008:57).
Budaya yang juga sebagai sistem pemikiran yang mencakup dalam sistem gagasan, konsep-konsep, aturan-aturan dan serta pemaknaan juga yang mendasari dan diwujudkan dengan kehidupan yang dimilikinya melalui proses belajar. Dan C. Geertz pula berpendapat bahwa “kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan hanya proses perorangan” . Dalam perkembangannya terlihat bahwa pembatasan kebudayaannya yang lebih menekankan pada hal-hal yang dinilai abstrak daripadayang dinilai konkret, seperti yang dituliskan oleh C. Geertz yang menuliskan dalam bukunya “The Interpretation of Cultures” pada tahun 1974 (Poerwanto,2008:59).
Dan ia menganjurkan supaya dapat memahami suatu kebudayaan yang lebih memperhatikan pemahaman makna daripada tingkah laku manusia, ataupun hanya sekedar mencari dalam hubungan sebab akibat. Agar bisa memahami makna dari suatu kebudayaan maka dari itu para ahli antropologi harus sanggupmemahami simbol-simbol yang dipergunakan oleh seseorang. Suatu penafsiran konfigurasi atau sistem simbol-simbol bermakna tadi, harusnya dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Dengan seperti itu, suatu pemahaman kebudayaan dapat mencakup bagaimana para warga masyarakat itu melihat, merasakan dan berpikir mengenai sesuatu di sekelilingnya. Sama dengan pandangan C. Geertz, dalam sosiologi juga berkembang dalam pemikirannya interaksionis simbolik dari para ahli antropologi seperti Herbert Blumer mengatakan tahun 1969 dan Ritzer mengatakan pada tahun 1988 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Poerwanto,2008:59).


3. Ekologi Budaya

Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang saling keterkaitannya antara organisme dengan lingkungannya, termasuk juga dengan lingkungan fisik dan berbagai bentuk hidup organisme. Sementara itu banyak dari para kalangan ahli antropologi menyadari bahwa sesungguhnya tidak selalu alam sekitar itu mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat (Poerwanto,2008:67).
Julian H.Steward pada tahun 1955 melakukan pendekatan ekologi budaya. Ia memakai istilah cultural ecology, merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana manusia sebagai makhluk hidup yang bisa menyesuaikan dirinya pada suatu lingkungan geografi tertentu. Ia terkejut dengan pertumbuhan peradaban di Peru dan Meso Amerika, yang ternyata menemukan sejumlah persamaan. Dan dengan itu, ia menyarankan kebutuhan yang akan dikaji dengan keterkaitan hubungan antara teknologi didalam suatu kebudayaan dengan lingkungannya, antara lain dengan cara menganalisis hubungan tentang pola tata kelakuan didalam suatu komunitas dengan teknologi yang digunakan sehingga, warga dari suatu kebudayaan yang dapat melakukan aktivitas mereka dan yang pada akhirnya sanggup bertahan hidup terus-menerus. Dalam rangka analisisnya, yang juga harus mampu menjelaskan tentang bentuk-bentuk hubungan dari pola-pola tata kelakuan tersebut dengan berbagai unsur lain dalam sistem budaya mereka. Dibalik itu semua ada juga yang harus diupayakan dalam mengungkapkan tentang berbagai lain yang dilakukan sehingga suatu komunitas dapat tetapbertahan hidup, serta dengan berbagai kegiatan sosial dan dengan hubungan-hubungan antar pribadi di kalangan mereka (Poerwanto,2008:68).
Awalnya dari, J.H.Steward mengatakan bahwa proses perkembangan kebudayaan itu didunia ini memiliki corak khas dan unik. Proses perkembangannya di berbagai belahan bumi yang  tidak terlepas antara satu dengan yang lainnya, dan bahkan ada pula beberapa diantaranya yang tampak sejajar dari lingkungan-lingkungan tertentu. Contoh yang ia berikan adalah yang dilakukan pada saat masyarakat berburu, maka ada kecenderungan mereka untuk hidup di lingkungan alam yang sulit dengan binatang buruan yang hidup terpencar. Agar ia dapat mendapatkan binatang buruan, maka mereka harus benar-benar mengenal lingkungan alam tempat ia berburu. Untuk itu mereka harus hidup secara berkelompok. Karena ia harus mengambil wanita dari kelompok lain untuk dikawini, mereka harus membawa gadis itu kedalam kelompoknya (Poerwanto,2008:69).
Apabila dalam suatu lingkungan tertentu jumlah binatang buruannya terbatas, ia harus hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Dan sebaliknya jika di daerahnya luas dan jumlah binatang di kawasan buruan itu hidup dalam kawanan besar dan berpindah-pindah secara berulang tetap menurut musim, maka jumlah anggota kelompok pemburu tersebut juga akan lebih besar dari kelompok itu. Untuk itu mereka harus mengembangkan pola-pola hubungan dengan kerabat wanita istrinya, baik berkaitan dengan pola menetap sesudah nikah maupun adat perkawinannya (Poerwanto,2008:70).
Sama halnya juga pada kalangan masyarakat yang juga telah mengenal sistem pertanian. Yang jumlah penduduknya sedikit dan tanah masih luas, mereka harus berkehidupansecara terpencar dalam desa-desa kecil. Apabila jumlah penduduk semakin banyak maka akan terjadi kekurangan tanah sehingga orang tidak lagi didapat begitu saja meninggalkan ladang mereka yangsudah tidak subur. Orang terpaksa mengerjakan sebidang tanah untuk waktu yang lama, dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika ada irigasi dan pemupukan.
Dalam perkembangan kemudian, semakin lama kehidupan mereka semakin kompleks. Sementara itu di kalangan masyarakat juga terjadi atau muncul berbagai jenis pekerjaan lain seperti tukang dan pendeta. Untuk itu perlu ditentukan kelas-kelas sosial dari mereka ini, dan muncullah berbagai aturan yang mengantar hubungan di antara mereka. Dengan kata lai, suatu perkembangan kebudayaan tersebut disebut dengan evolusi yang multilinear (Poerwanto, 2008:71).

4. Pewarisan dan Perkembangan Kebudayaan

Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, karena manusia merupakan pendukung kebudayaan. Jika manusia akan mati, kebudayaan yang dimilikinya akan selalu diwariskan kepada keturunannya, dan seterusnya. Pewarisan kebudayaa seperti manusia, tidak hanya kepada anak dan cucu mereka, melainkan bisa juga dilakukan dengan cara manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagi pengalaman dalam rangka kebudayaannya, yang akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau bisa juga dikomunikasikan dengan individu lainnya karena manusia mampu mengembangkan gagasannya sendiri dalam bentuk lambang-lambang vokal seperti bahasa, yang dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis.
Kebudayaan berkembang secara akumulatif, dan semakin lama semakin bertambah banyak. Untuk meneruskan dari generasi ke generasi, diperlukan suatu sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada yang dimiliki binatang, yaitu seperti bahasa, baik lisan, tertulis maupun dalam bentuk bahasa isyarat. Agar suatu kebudayaan dapat merespon berbagai masalah kelangsungan hidup manusia dan tetap dipelajari oleh generasi berikutnya, serta tetap “lestari” maka suatu kebudayaan harus mampu mengembangkan berbagai saran yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok para individu (Poerwanto,2008:89).
Pada dasarnya ada tiga pandangan untuk memahami proses perkembangan kebudayaan. Pandangan pertama, beranggapan bahwa kebudayaan mengandung berbagai fakta sosial dan merupakan gambaran kolektif untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan dari para individu. Oleh karena itu tingkah laku manusia ditentukan oleh kebudayaannya, dan bukan sebaliknya.
Pandangan kedua, sering dipergunakan oleh para ahli antropologi, dan mengatakan bahwa suatu konsep untuk suatu konstruksi. Melalui pandangan kaum konseptualis inilah kebudayaanyang pada akhirnya dapat dipakai untuk menjelaskan dan menggambarkan berbagai tingkah laku dan yang dihasilkan oleh makhluk manusia. Menurut R.Linton pada tahun 1945, semua kebudayaan dapatdijelaskan secara sosiopsikologikal, karena kebudayaan hanya merupakan wujud dari pikiran seseirang yang akhirnya merupakan suatu kepribadian jika ia berinteraksi dengan individu lain dalam masyarakat (Poerwanto,2008:90).
Pandangan ketiga, adalah pandangan yang melihat bahwa kebudayaan itu bersifat abstrak, dan merupakan suatu konstruksi dan bukannya suatu entitas yang dapat diperhatikan secara menyeluruh. Sementara itu kebudayaan juga merupakan sesuatu yang nyata, atau yang tidak perlu dipersoalkan hakikatnya.
Berbagai unsur kebudayaan asing yang datang, sering merupakan serpihan dan bukan merupakan budaya induk, dan merupakan pecahan serta terputus dari budaya induknya. Kebudayaan yang dibawa oleh para perantau Cina di Indonesia misalnya, bukan budaya dari kalangan “Mandarin” maupun “bangsawan”, melainkan suatu budaya yang dimiliki oleh suatu kolektiva tertentu (Poerwanto,2008:92). Budaya serpihan tadi juga bukan merupakan suatu “sub culture” maupun budaya suatu “ethnic groups”, karena seringkali dikaitkandengan konotasi “budaya tingkat rendah”. Seringkali budaya serpihan tadi harus mencari ‘gantungan’ dan fungsi baru dalam suatu budaya induk baru dan dalam alam budaya baru. Melalui perjalanan sejarah dapat dipahami bahwa serpihan budaya tadi terpisah dari induknya sebagai akibat penjajahan atau penguasaan oleh bangsa asing.

5. Persebaran Kebudayaan

Memahami sejauh manakah yang dapat menyebabkan perubahan, baik sosial maupun budaya. Telah disadari bahwa suatu perubahan yang terjadi, tidak selalu dapat diartiakan sebagai kemajuan namun dapat pula dianggap sebagai kemunduran karena akibat berubahnya unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki.
Pertama kalinya, studi difusi kebudayaan berawal dari rasa tertarik untuk mengetahui mengapa beberapa kebudayaan di bumi seringkali di daerah yang sangat berjauhan, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama, baik dalam bentuk-bentuk maupun isinya. Dalam perkembangan dan persebaran unsur-unsur kebudayaan, ternyata tidak harus disertai perpindahan dari kelompok-kelompok manusia.Persebaran kebudayaan terjadi karena komunikasi mereka melalui media komunikasi seperti buku-buku, suratkabar, majalah, dan berbagai media audiovisual.
Akan tetapi di Jerman pada akhir menjelang abad ke-XIX yang dipelopri oleh F. Ratzel, muncul pemikiran lain dalam memandang persamaan yang dianggap sebagai akibat terjadinya hubungan dari bangsa-bangsa pendukung kebudayaan di masa lampau dan itu mengakibatkan persebaran kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Oleh karena itu, jika ada persamaan unsur kebudayaan di daerah A, B, dan C; telah mengalami evolui yang sama, dengan kata lain di tiga tempat itu telah mengalami “independent envention”, atau menurut A.Bastian memiliki persamaan dalam pemikiran dasar. Sedangkan menurut laum difusionis seperti G. Gerland, bahwa terjadinya persebaran kebudayaan (Poerwanto,2008:98).
Dan ternyata sependapat dengan kaum evolusi, karenadalam perkembangan makhluk manusia dan mendapatkan beberapa jenis “invention” saja. Oleh karenanya, para ahli pada awal abad XX cenderung berpendapat bahwa terdapatnya sejumlah persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di muka bumi ini lebih disebabkan oleh persebaran kebudayaan.
F. Ratzel menyimpulkan bahwa persamaan bentuk-bentuk busur, yaitu terlepas dari variasi bentuk karena perbedaan bahan dan fungsinya (Poerwanto,2008:99). Dan juga menemukan persamaan-persamaan lain seperti bentuk rumah mereka, topeng, pakaian dan sebagainnya. Dan disimpulkan bahwa di masa lalu, terdapat hubungan diantaranya bangsa-bangsa yang mempergunakan busur tersebut. F.Graebner mengembangkan metode klasifikasi “Kulturkreise-Kulturschichten” dengan tujuan membuat perkembangan dan persebaran kebudayaan manusia (Poerwanto,2008:99).
Pemikiran F.Boas menganjurkan agar penelitian tentang perkembangan dan persebaran kebudayaan dilakukan pada suatu daerah yang terbatas (Poerwanto,2008:100). Untuk itu, suatu kawasan tertentu harus dikaji sedalam-dalamnya untuk memperoleh pengetahuan tentang hal-hal kecil dalam proses difusi.
Menurutnya terjadi perkembangan unsur-unsur kebudayaan lama ke arah pinggir disekeliling pusat pertumbuhan. Pemikiran Boas lainnya, dikembangkan oleh muridnya C.Wissler, yaitu konsep “culture area”. Berbagai unsu kebudayaan, baik yang kongkret (senjata, alat-alat transport) maupun yang abstrak (sistem kekerabatan, upacara-upacara keagamaan); berdasarkan atas persamaan sejumlah ciri-ciri yang spesifik, digolongkan ke dalam suatu daerah kebudayaan (Poerwanto,2008:101).

6. Kebudayaan dan Inovasi

Salah satu upaya untuk mengkaji perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan bertitik-tolak dari sumber perubahan. Menurut Rogers dan Shoemaker, sumber perubahan itu berasal dari dalam disebut dengan perubahan “immanen” sedangkan sumber yang berasal dari luar disebut dengan kontak. Perubahan “immanen” terjadi apabila ide baru tersebut diciptakan dan dikembangkan oleh warga suatu masyarakat tanpa adanya pengaruh dari pihak luar, dan akhirnya ide baru tersebut menyebar ke seluruh sistem sosial (Poerwanto,2008:170).
Selanjutnya, kontak memiliki dua jenis perubahan yaitu selektif dan terarah. Perubahan kontak selektif terjadi apabila warga suatu system sosial bersikap terbuka terhadap pengaruh yang datang dari luar. Sedangkan perubahan kontak yang terarah, memang disengaja oleh pihak luar, misalnya para “charge agent”, yang secara intensif guna suatu tujuan tertentu berusaha memperkenalkan ide-ide baru.
Sering kali pihak luar yang ingin melakukan perubahan memandang bahwa perubahan yang akan dia lakukan itu cocok dan akan ber manfaat dan sebaliknya dengan masyarakat yang meruapkan obyek dari perubahan recipient. Cara mengetahui dan memahami serta mengintepretasikan secara baik berbagai gejala dan peristiwa yang terdapat dalam suatu lingkungan tertentu, kebudayaan memiliki model-model kognitif yang berperan sebagai kerangka untuk memahaminy.
Oleh karenannya pola-pola kelakuan tertentu yang diwujudkannya oleh makhluk manusia adalah sesuai dengan rangsangan dan tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, Spradley mengutip pada tahun 1972 bahwa suatu kebudayaan yang merupakan serangkaian aturan, strategi, maupun petunjuk; adalah perwujudan model-model kognitif yang dipakai oleh manusia yang memilikinya guna mengahadapi lingkungannya (Poerwanto,2008:175).
Permasalahannya, sejauh manakah dalam kenyataannya kebudayaan dari makhluk manusia, baik dalam konteks etnik maupun golongan sosial; melihat, menginterpretasi dan kemudian mengadaptasikan dirinya dengan suatu lingkungan fisik tertentu. Dengan kata lain, suatu komunitas tertentu dipakai sebagai suatu strategi adaptasi dalam menghadapi suatu lingkungan biogeofisik tertentu sehingga ia tetap mampu melangsungkan kehidupannya.
Prosesnya juga dipengaruhi oleh presepsi dan intepretasi seseorang terhadap suatu obyek, yang selanjutnya menuju pada sistem kategorisasi dalam bentuk respon atas kompleksitas suatu lingkungan.
Foster pun mengemukakan pendapat pada tahun 1969, bahwa ada tiga klasifikasi tentang hambatan dalam inovasi, hambatan pertama adalah berkaitan dengan system nilai, perilaku, sikap dan kepercayaan (Poerwanto,2008:174). Kedua hambatan sosial yang mengutamakan dengan antar individu dan inovasi bertentangan dengan pranata sosial. Ketiga adalah hambatan psikologis yang berkaitan dengan penyampaiannya secara pesan program inovasi.
Selain Foster, ada juga yang mengemukakan pendapat yang mengatakan bahwa hambatan dari suatu dapat disebabkan melalui aspek ekonomik, yang dikatakan oleh Rogers dan Shoemaker pada tahun 1987 (Poerwanto,2008:174). Dewalt mencoba untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari aspek ekonomik dalam adopsi inovasi, dan salah satu model yang dikemukakannya adalah “the homogeneity model”.
Keputusan dalam menolak  ataupun menerima bukanlah hal keputusan mutlak, melainkan bisa juga berupa dalam waktu tertentu. Perubahan pun dapat terjadi secara lambat bisa juga dengan secara cepat, karena perubahan merupakan akibat dari perencanaan dan bisa juga merupakan akibat dari yang bukan perencanaan. Jadi jika sebelumnya sudah menyiapkan konsep untuk menanggulanginya maka dapat berjalan sesuai perencanaan.
Bidang teknologi dalam inovasi juga dapat mengakibatkan perubahan kebudayaan. Dan tahap inovasi biasa melalui dengan dua tahapan, seperti discovery dan inovention. Alat tertentu yang diciptakan melalui gagasan seseorang ataupun beberapa orang itu disebut dengan discovery, dan sudah dikatakan inovention apabila masyarakat sudah menerima adanya teknologi.


7. Kesimpulan

Setelah dianalisa kajian diatas,ternyata adanya keterkaitan yang saling terintegrasi,dapat dilihat melalui berbagai fungsi yang terjalin dari unsur-unsur tersebut, terutama yang menjadi fokus dari suatu kebudayaan, maupun yang berkaitan dari etos suatu kebudayaan. Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangkangnya, dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan. Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, suatu kebudayaan dapat dipandang ketinggalan zaman dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal.
Saran saya, dengan adanya kebudayaan Indonesia yang semakin berkurang seperti halnya yang terjadi di Jawa banyak hal penyalahgunaan kebudayaan yang menjerumus ke aliran yang musrik, seperti yang dilakukan para warga dengan meletakan sesaji di tempat-tempat yang sakral, itu menurut saya tidak mempertahankan kebudayaan tetapi malah merusak dan menghilangkan.Maka dari itu untuk dilestarikan kebudayaannya bukan mengarah pada hal-hal syirik maupun musrik.


Daftar Pustaka

Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi Media Massa

Al-Hafizh, M. 2012. Pengertian Budaya dan Kebudayaan. http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-budaya-dan-kebudayaan.html. 2 November 2013

Anonim. 2013. Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya. 26 Desember 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar