Rabu, 25 Desember 2013

Lunturnya Moral dan Semangat Kebangsaan di Indonesia



Oleh: Muhammad Imam Bustanul Arifin
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
imamalarivin@gmail.com

abstrak
Dalam pembentukan dan juga perkembangan suatu negara, mutlak diperlukan moral dan juga semangat kebangsaan pada masyarakatnya. Tanpa adanya moral, negara hanya akan menghasilkan sampah-sampah yang akan merusak keberlaangsungan negara itu sendiri , sedangkan apabila suatu masyarakat sudah tidak memiliki semangat kebangsaan maka negara akan berdiri tanpa roh yang menguatkannya. Namun akhir-akhir ini yang sangat ironis adalah lunturnya moral dan semangat kebangsaan di Indonesia. Karya ilmiah ini akan membahas tentang permasalahan lunturnya moral dan semangat kebangsaan dengan membandingkannya dengan sejarah dimasa lampau. Dalam artikel ini akan diberikan solusi dalam menangani masalah lunturnya moral dan semangat kebangsaan ini melalui dalil Al-Qur’an dan juga pancasila.
Kata kunci       : indonesia, moral, krisis semangat, kebangsaan,  

Pendahuluan
Sejarah perkembangan negara Indonesia tidak lepas dari situasi global termasuk didalamnya situasi ekonomi, politik, dan juga kultural dunia. Bangsa Indonesia berkembang melalui berbagai peristiwa dimasa lalu yang sangat erat dengan penjajahan dan juga penindasan, baik fisik maupun psikis. Penjajahan selama lebih dari 350 tahun telah menciptakan kemunduran peradaban sampai titik akhir yang telah membentuk kepribadian, karakter dan juga tatanan sosial masyarakat. Pendirian negara Indonesia bukanlah sesuatu yang sederhana, perjuangan melawan kolonialisme penjajahan yang sekian lama telah menjadi bukti yang riil terhadap kerasnya tantangan yang dilalui dalam mendirikan negara ini. Masih terekam jelas dibuku-buku sejarah maupun cuplikan film-film perjuangan dimana masyarakat harus membayar upeti, kerja paksa, diambil anaknya sebagai pasukan militer, dirampas makanannya dan masih banyak lagi jenis-jenis penindasan yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.  Dan salah satu warisaan kolonial yang masih sangat kuat dan mendarah daging di masyarakat adalah adanya rasa minder kepada bangsa asing (lestyarini, 2012).
            Apabila ditengok dari history Bangsa Indonesia pada masa lalu, Indonesia merupakan salah satu kawasan yang mempunyai kedigdayaan peradaban yang sangat tinggi bahkan sebelum masuknya agama Hindu dan Budha. Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum nusantara terbentuk, kawasan ini memiliki beberapa sebutan yang pertama adalah desantara, dipantara kemudian baru nusantara. Istilah Indonesia sendiri baru muncul pada tahun 1850 oleh J.R.Logan (Abdul Mun’iz DZ, 2010).
            Masih mengambil dari Abdul Mun’iz, 2010. Dalam masa desantara (desa diantara benua) masyarakat sudah memiliki sistem budaya yang bernama kapitayan, dan dengan sistem budaya inilah masyarakat pada waktu itu bisa bertahan dari pengaruh luar, bahkan dari agama Hindu dan Budha yang datang pada waktu itu. Bahkan masyarakat pada zaman ini berhasil menjalin kerjasama dengan negara-negara dari luar dan mereka tunduk kepada peraturan kita. Kemudian dilanjutkan dengaan masa dipantara (daerah antara benua) yang ditandai dengan Kerajaan Singosari yang menguasai perairan dari laut Arafuru, Jawa hingga Selat Malaka. Pada zaman itu bisa kita lihat betapa hebatnya kerajaan Singosari (bangsa kita) yang menjalin kerjasama dengan kerajaan dari Cina untuk membendung invasi dari Mongol yang dipimpin oleh Kaisar Kubilai Khan yang pada zaman itu sudah menahlukan hampir seluruh wilayah di planet ini. Kemudian barulah lahir istilah nusantara (kepulauan antar benua) yang ditandai oleh kerajaan Majapahit yang pada zamannya banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh hebat seperti Gajah Mada, Hayam wuruk, Sanjaya. dll yang berhasil menguasai seluruh kawasan Indonesia sampai ke Filipina. Ini menunjukan bahwa negara Indonesia yang kita pijak ini dari dulu merupakan daerah yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dan kuat.
            Sementara kalau dilihat dari geografis, Indonesia adalah negara yang sempurna, sebagai negara tropis yang mempunyai hutan terbesar di dunia, selain tanahnya yang subur, negara kita juga  negara maritim. Indonesia juga sangat strategis karena  terletak  ditengah-tengah benua besar lainnya. Ditimur ada benua Amerika, di barat ada benua Afrika, di selatan ada benua Australia dan di utara ada benua Asia yang pada akhirnya Indonesia menjadi pusat dari jalur perdagangan dari seluruh dunia. Selain strategis dari sudut geografi,  indonesia juga mempunyai banyak sekali gunung berapi seperti Krakatau, Merapi dan masih banyak lagi karena Indonesia berada pada zona ring of fire (cincin api), tercatat ada sekitar 30 gunung berapi yang masih aktif dan rata-rata terdapat 5-10 letusan gunung berapi setiap tahunnya. Seorang ahli geopolik Austria menamai Indonesia sebagai der totenkrouz (persilangan maut) yang selalu menjadi persengketaan sepanjang zaman, tercatat tidak hanya India dengan Arab saja, namun juga Spanyol dengan Portugis, Belanda dan Inggris serta Jepang dengan Sekutu (Amerika) dan pada zaman modern ini antara Malaysia dengan Indonesia itu sendiri (Lihat Reportase pagi, tanggal 25 oktober 2013).
            Dari situlah awal dari penjajahan yang setelah sekian lama kemudian menyebabkan hilangnya semangat, jati diri dan juga rusaknya moral bangsa. Perlu diingat bahwa sebuah bangsa menjadi kuat dan maju bukan karena kekayaan alam, kompetensi ataupun teknologi canggihnya, namun oleh dorongan semangat dan juga moralnya (Wahyu, 2011)

Tinjauan Historis Semangat Kebangsaan Di Indonesia
Mengawali pembahasan tentang tinjauan historis semangat kebangsaan tidak bisa dilepaskan dengan perlawanan rakyat Indonesia dari kolonialisme penjajah. Dimana Negara Indonesia yang pada zaman itu masih sangat tradisional harus bertarung dengan kemodernan dari kaum penjajah, baik Belanda, Portugis, Inggris dan juga Jepang, dan itu merupakan bukti bahwa dengan senjata yang seadanya (mayoritas hanya menggunakan bambu runcing, keris dan senjata tradisonal lainnya) namun didasari semangat yang membara bisa menyulitkan penjajah yang pada zaman itu sudah menggunakan senjata-senjata modern. Tercatat banyak sekali pahlawan besar yang telah mengorbankan jiwa raganya seperti Pangeran Diponegoro yang melawan Belanda di Jawa Tengah, Imam Bonjol di Padang yang melawan Belanda, Pangeran Hasanudin dari Makasar yang melawan VOC dan masih banyak lagi yang mereka semua memimpin perjuangan karena didasari oleh semangat akan kecintaannya pada tanah air Indonesia yang kemudian menjelma menjadi semangat yang luar biasa hebatnya (Kurniati, 2010)
            Selain semangat kebangsaan yang ditunjukan melalui tindakan fisik melawan penjajah secara langsung, terdapat juga semangat kebangsaan yang diwujudkan kebidang-bidang sosial, politik, kesehatan dan pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Tan Malaka, Raden Ajeng Kartini, Ki Hajar Dewantoro, Ir. Soekarno, Muhammad Hatta dan lain-lain. Hal ini membawa situasi tersendiri yang menjadi tonggak awal sejarah dari semangat kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini, tidak hanya perjuangan fisik melawan penjajahan namun juga terdapat sektor-sektor lain yang diperjuangan. Diantaranya adalah perjuangan menuntut adanya perubahan pada kesejahteraan hidup untuk bebas dari kemiskinan, adanya kesetaraan derajat, dan adanya pendidikan yang layak bagi masyarakat pribumi. Hal yang lebih penting sekaligus bermakna, namun yang paling berat adalah perjuangan menghadapi diri sendiri, kemauan untuk menjunjung harkat diri, semangat kebersamaan, semangat persatuan sebagai sesama penduduk dan semangat dalam menghilangkan egoisme kelompok masing-masing. selfrespect atau harga diri, hal ini dianggap sebagai sumber kreativitas bangsa yang dalam pengembangannya harus diikuti dengan akselerasi modernisasi dengan memperluas basis sosial pembangunan bangsa (Wahyu, 2011).
            Rasa kebangsaan sendiri adalah salah satu bentuk rasa cinta yang menimbulkan rasa kebersamaan dan persatuan diantara orang-orangnya. Untuk satu tujuan yang sama Indonesia membuat lagu, bendera dan juga lambang Negara. Lagu Indonesia raya merupakan lagu kebangsaan yang didalamnya terkandung do’a adalah  lagu pembakar semangat. Bendera indonesia terdiri dari dua warna yaitu merah dan putih yang melambangkan karakter bangsa Indonesia. Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di masyarakat Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Selain itu sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba. Lambang Negara Indonesia adalah Burung Garuda yang dalam cerita Ramayana mempunyai sifat berani meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri[1].

Krisis Semangat dan Moral di Indonesia
Karakter bangsa dalam antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut[2]. Sebenarnya Indonesia tidak kekurangan orang “pandai”, melainkan hanya kekurangan penggiat civic spirit  yang akhirnya mengakibatkan banyak bakat, kepandaian, potensi dan harta benda orang-orang “baik” musnah akibat tidak adanya govermence yang baik. Kasus korupsi, kriminal, asusila, orang-orang baik yang terjebak dalam komunitas rusak sehingga orang baik itu menjadi rusak demi survival-nya (Koentjaraningrat. 2009).
Persoalan yang dihadapi bangsa ini dari hari ke hari semakin kompleks tanpa ada titik terang penyelesaian yang jelas. Para pemimpin bangsa tidak punya kepekaan sosial, karena mayoritas mereka hanya bekerja model administratif yaitu ada anggaran, anggaran digunakan sesuai proposal, ada foto dokumentasi jalannya kegiatan, serta adanya laporan pertanggung jawaban  maka semuanya dianggap beres tanpa adanya evaluasi kemaslahatan untuk masyarakat dari program kegiatan yang dilaksankan (Syaifuddin, 2013). Semua lini kehidupan mengalami persoalan dan cobaan yang seolah-olah tidak memiliki ujung, bahkan semakin parah. Salah satu badan internasional yang bernaung di bawah organisasi PBB, United Nations Development Programme (UNDP), menjalankan ritual tahunan, mengumumkan negara-negara menurut peringkat Human Development Index (HDI). Dalam laporan HDI, negara Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunnei Darussalam dan Filipina, kita berada di peringkat yang lebih rendah. Hal ini sangat ironis, sebab realitas menunjukkan, Singapura penduduknya tidak lebih banyak dari jumlah penduduk Jakarta, Brunnei Darussalam negaranya bahkan  tidak lebih luas dari Jakarta, Malaysia yang pernah menjadi murid kita, serta Thailand dan Filipina yang 14 tahun lalu sama-sama dibantai krisis, berada diperingkat yang lebih tinggi.
Jika kita tengok lingkungan di sekitar kita. Masih banyak sekali orang-orang miskin yang ada di sekitar kita. Meskipun menurut catatan Bank Indonesia pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 2009-2013 mencapai rata-rata 5,9% pertahun yang merupakan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi, namun faktanya kemiskinan masih merajalela. Dalam sumber lain disebutkan bahwa angka kemiskinan di daerah pinggiran meningkat 8,7%[3]. Negara kita semakin tidak diperhitungkan diantara negara-negara kompetitif dunia. Negara kita masih diperhitungkan hanya karena jumlah penduduknya yang sangat besar yang sangat empuk menjadi sasaran penjualan barang-barang expor mereka dan juga kekayaan alam kita. (Lihat  Kabar petang TV One tanggal 28 Oktober 2013).
            Disamping itu fakta lunturnya karakter bangsa terjadi pada saat lengsernya presiden Soeharto pada tahun 1998, banyak sekali terjadi peristiwa-peristiwa yang memiriskan hati nurani yang bertentangan dengan nilai Indonesia, mulai dari aksi-aksi penjarahan, perampokan,  penembakan sesama anak bangsa, dan penindasan pada etnis Tionghoa. Kita melihat bagaimana martabat kemanusiaan Bangsa Indonesia sudah terpuruk ke jurang paling dalam, bahkan mendekati tingkat binatang. Kekerasan-kekerasan dan tindak kriminal yang terjadi di Negara kita merupakan sebuah indikasi bahwa masyarakat kita telah bergeser normanya menjadi masyarakat yang abmoral. Sebuah tragedi memang dimana negara yang dahulu terkenal keramahannya, toleransinya, dikenal kemajemukannya, dikenal budaya dan tradisi luhurnya sekarang menjadi negara yang mempunyai masyarakat yang sangat sensitif karena sebab-sebab yang sepele, tidak sabar, agresif dan mudah rusuh. Konflik rumah tangga kian banyak, angka perceraian terus meningkat, hubungan interpersonal kian rapuh. Sebaliknya, banyak yang tampak lebih apatis, tak mau tahu atau tak berdaya menghadapi masa depan, semangat kerja anjlok, sulit memusatkan pikiran atau mengambil keputusan akurat, meningkatnya laporan bunuh diri, kekerasan antar agama, antar suku, bahkan akhir-akhir ini di negara kita marak sekali dengan tawuran antar pelajar. Tercatat pada tahun 2011 terjadi 128 tawuran, dan pada tahun 2012 trjadi 147 tawuran dengan korban meninggal mencapai 82 orang (Lihat  Seputar Indonesia sore RCTI tanggal 28 Oktober 2013)
            Sekolah memang melahirkan banyak orang-orang pintar, namun kurang memiliki kesadaran akan pentingnya akhlak sopan santun dan nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah seakan-akan kehilangan fungsi membimbingnya yaitu “menghijrahkan” perilaku-perilaku buruk anak menjadi perilaku yang baik, karena sekolah lebih menekankan kearah fungsi mengajar dan melatih. Akademik dan skill memang penting, namun apabila tidak diimbangi dengan akhlak maka petaka yang akan terjadi. Sesuatu yang sangat mengecewakan, pemuda yang diharapkan bisa menjadi penerus generasi bangsa malah banyak yang harus berurusan dengan aparat peradilan, tidak hanya orang-orang yang miskin pendidikan saja namun orang-orang intelektualpun lebih banyak yang juga berurusan dengan aparat hukum, seperti kasus politisi-politisi muda di senayan yang terkena jaring KPK. Tercatat dalam sehari KPK menerima rata-rata 30-40 laporan dugaan korupsi (Lihat Seputar Indonesia pagi RCTI tanggal 29 Oktober 2013).
Dalam masyarakat Indonesia terdapat konsep “golongan pemuda”. Golongan sosial ini secara umum disatukan oleh suatu ciri yang sama, yaitu sifat muda. Namun selain ciri fisik tersebut, golongan sosial ini digambarkan sebagai suatu golongan masyarakat yang penuh idealisme, penuh semangat, belum terikat oleh kewajiban-kewajiban hidup yang membebankan sehingga masih sanggup mengabdi dan berkorban kepada masyarakat, serta mempunyai daya kreativitas dan perubahan (agen of change). Gambaran umum atau stereotip ini tidaklah terlepas dari aksi-aksi heroik pada zaman perjuangan dulu yang akhirnya ikut mempunyai andil dalam merubah bangsa , mulai dari berdirinya organisasi-organisasi sosial  pendidikan kemasyarakatan yang ditandai dengan Periode Kebangkitan Nasional  yang kemudian disakralkan dengan sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dimana para perwakilan pemuda dari seluruh penjuru Indonesia mulai dari jong java, jong sumatranen bond, jong celebes, jong minahasa, Ambon Studiefonds, Jong Batak Bonds, Jong Islameiten Bond, serta Jong Indonesia yang kemudian diikuti lahirnya berbagai organisasi bumi putera lainnya yang berkumpul dan kemudian berikrar tiga point penting yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Sumpah Pemuda yang kemudian memuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945 (Lestyarini, 2012).
            Dari fakta sejarah tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa organisasi Budi Utomo  yang didirikan pada 20 Mei 1908 dan menandai kebangkitan nasional dalam jangka waktu 37 tahun para leluhur bangsa sudah bisa mewujudkan impian mereka yaitu Indonesia yang merdeka, namun sekarang sudah 68 tahun dari proklamasi, lalu kapankah kita akan bisa mewujudkan cita-cita  negara Indonesia sesuai UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sebagai penerus bangsa haruslah kita menaruh respect terhadap usaha-usaha yang dilakukan oleh pendahulu bangsa untuk mendirikan Indonesia. Bentuk respect yang bisa kita lakukan adalah meneruskan dan memperkuat semangat kebangsaan Indonesia untuk tetap mencintai bangsa ini, mempersatukan bangsa ini, tetap satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kalau kita sebagai generasi penerus bangsa sudah tidak respect terhadap perjuangan para leluhur bangsa, maka bukanlah suatu hal yang aneh apabila kemudian negara-negara lain menghina kita sebagai bangsa yang tidak tahu rasa terimakasih kepada para leluhurnya. Dengan perkembangan zaman yang mengarah ke arus globalisasi, terdapat hal-hal yang harus diwaspadai, diantaranya adalah adanya usaha-usaha untuk mengaburkan makna nasionalisme dimana nasionalisme seakan-akan sudah tidak diperlukan lagi ditengah gencarnya arus globalisasi, namun fakta yang sebenarnya adalah bahwa globalisasi sangat memerlukan semangat kebangsaan yang lebih kuat agar dampak globalisme tidak memperlemah eksistensi suatu bangsa. Bangsa-bangsa didunia bersaing lebih keras untuk lebih menunjukkan peranannya dalam percaturan global dan mereka yang kalah akan menjadi semakin tersingkirkan dan menjadi negara terjajah, baik dalam bidang ekonomi maupun politik[4].


Menciptakan Bangsa Unggul
Untuk menjadi suatu bangsa yang unggul diperlukan berbagai karakter yang bisa menguatkan dan juga memantapkan persatuan. Karakter ini tidak hanya harus dimiliki oleh satu atau dua orang saja, namun harus dimiliki oleh seluruh masyarakat. Terdapat beberapa karakter bangsa unggul yang dijelaskan dalam Al-Qur’an[5].
Pertama, Adanya persatuan. Peratuan merupakan modal utama dan yang paling utama dalam suatu Negara. Tanpa adanya persatuan, mustahil suatu Negara akan bisa memajukan dirinya, bahkan untuk terbentukpun itu suatu hal yang mustahil.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal [8]:46).
            Persatuan tersebut tidaklah berarti harus melebur menjadi satu, hanya saja adalah bagaimana kita bisa menyikapi orang-orang yang berbeda dengan kita sebagai sebuah keluarga besar yang bernama Negara. Yang dimaksud dengan orang-orang yang berbeda adalah orang-orang yang berbeda suku, agama, ras dan budaya dengan kita. Indonesia adalah Negara multikultural dengan ratusan suku, bahasa dan kebudayaan, sehingga mutlak dibutuhkan persatuan diantara seluruh warganya. Apabila tidak adanya  persatuan, maka Indonesia yang maju tampaknya hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud.
Kedua, adanya Nilai Luhur yang Disepakati. Untuk memantapkan dan juga mewujudkan persatuan serta kesatuan bangsa, diperlukan nilai-nilai luhur yang disepakati.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. Al An’am [6]: 108)
Dari ayat diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa setiap umat (Negara) memiliki nilai-nilai luhur. Dari nilai luhur itu, mereka bersatu, bertindak dan melakukan aktifitas sesuai nilai luhur yang mereka anut.  Melalui nilai luhur itu mereka bisa menolak ataupun menerima nilai-nilai yang berasal dari luar. Dengan kata lain nilai-nilai luhur itu berfungsi sebagai filter yang akan mengontrol aktifitas-aktifitasnya.
Ketiga, Kerja keras, displin dan menghargai waktu
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Maka apabila engkau telah selesai dari suatu urusan (dari sesuatu  urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). (Q.S Al Insyiroh [94]:7).
Keempat, Kepedulian yang Tinggi
( الآية) بِاللَّهِ وَتُؤْمِنُونَ الْمُنْكَرِ عَنِ وَتَنْهَوْنَ بِالْمَعْرُوفِ تَأْمُرُونَ لِلنَّاسِ خْرِجَتْ أُ أُمَّةٍ خَيْرَ كُنْتُمْ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
            Dari ayat diatas disebutkan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap sesamanya, mereka akan berperan sebagai agen kontrol sosial yang akan mendorong sesamanya untuk melakukan kebaikan dan mencegah keburukan.

Moral Indonesia adalah Pancasila
Indonesia memiliki sebuah pandangan hidup yaitu ideologi pancasila. Ideologi merupakan kesatuan gagasan  dasar mengenai manusia dalam kehidupan bernegara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah gagasan-gagasan dasar mengenai wujud masyarakat yang dicita-citakan serta prinsip-prinsip untuk mencapainya. Seluruh aspek-aspek kehidupan mulai dari bidang keagamaan, nasionalis, pendidikan dan  bidang sosial kemasyarakatan harus berkiblat pada pancasila (Aziz, 1991).  Pancasila bukanlah hanya sebagai pajangan ataupun slogan  namun juga harus diamalkan, akan tetapi sekarang keadaanya adalah sebaliknya. Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya yang  dirumuskan oleh para leluhur bangsa, sekarang isinya diinjak-injak oleh bangsa ini sendiri. Indonesia tidak hanya memerlukan teori-teori saja, namun  Indonesia membutuhkan lebih dari itu, yaitu action.
            Sebagai suatu ideologi,  pancasila memberikan gambaran mengenai masyarakat yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang dijiwai oleh kelima sila dari pancasila. Salah satu peranan pancasila yang paling menonjol adalah fungsinya dalam mempersatukan seluruh rakyat Indonesia menjadi bangsa yang berkepribadian dan percaya pada diri sendiri.
            (Masih mengambil dari Aziz, 1991) Sebagai suatu ideologi pancasila memiliki kekhasan yang berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan sila-sila dalam pancasila. Pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai makna bahwa kita percaya akan adanya Tuhan sebagai pencipta dunia dengan segala isinya. Oleh karena  itu kita harus taat kepada Tuhan. Dalam sila ini secara garis besar terdapat tiga poin utama, yaitu kemerdekaan beragama, toleransi antar umat beragama, dan menghormati agama lain. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yaitu penghargaan kepada sesama umat manusia, apapun suku bangsa dan bahasanya. Sebagai manusia, kita adalah sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil adalah perlakuan yang sama terhadap sesama manusia, dan beradab berarti perlakuan itu sesuai dengan derajad kemanusiaan. Kita menghargai hak asasi manusia, dengan mewujudkan harmoni dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.  Terdapat beberapa poin utama dalam sila ini, yaitu berbuat dan berperilaku adil terhadap sesama manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, hidup bermasyarakat, dan kerjasama antar masyarakat.
Ketiga “Persatuan Indonesia” bangsa Indonesia menjunjung tinggi persatuan bangsa. Dalam hubungan ini, kepentingan pribadi harus ditempatkan dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa. Keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara didasari oleh sistem demokrasi dengan berlandaskan musyawarah. Musyawarah tidak mendasarkan pada kekuasaan mayoritas atau minoritas, tapi hasil musyawarah itu sendiri. Sila ini mencakup beberapa poin, yaitu musyawarah dan mufakat sebagai ciri kehidupan bangsa, kesadaran bermusyawarah dalam kehidupan sehari-hari, memutuskan dan melaksanakan keputusan secara bertanggung jawab. Kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah keadilan hidup bersama sebagai suatu bangsa. yang mempunyai beberapa poin inti yaitu tolong menolong sesama manusia, dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan.

Kesimpulan
Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan anugrah kekayaan yang luar biasa melimpah, namun hal tersebut seolah-olah tertutupi oleh lunturnya moral masyarakatnya. Masyarakat yang dulunya terkenal dengan kemajemukan dan juga keramahannya kini telah berkembang menjadi masyarakat yang tempramen. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam moral kebangsaan ini, diantaranya adalah melanjutkan spirit perjuangan dari pahlawan-pahlawan, selain itu dalam Al-Qur’an dijelaskna bahwa untuk menciptakan negara yang unggul diperlukan beberapa syarat. Pertama Adanya persatuan, kedua Nilai Luhur yang Disepakati, ketiga Kerja keras, displin dan menghargai waktu, keempat Kerja keras, displin dan menghargai waktu. Moral bangsa diperlukan untuk menjaga nilai-nilai kehidupan agar terciptanya kehidupan yang luhur, stabil, damai dan tentram.
            Salah satu lembaga yang memiliki peran paling vital dalam pembentukan moraal kebnagsaan adalah sekolah, karena sekolah memiliki tiga fungsi utama yaitu, membimbing, mengajar dan melatih. Selain itu Indonesia memiliki ideologi yaitu ideologi pencasila yang menjadi kiblat dari segala tindakan, pemikiran dan perilaku warganya. Pancasila akan benar-benar bermakna apabila benar-benar dijalankan secara menyeluruh dan seutuhnya, tidak hanya dimulut namun juga di hati dan juga dikehidupan sehari-hari.




Daftar pustaka:
Al-Qur’an
Anas, A.A,.2009. Mengawal negara budiman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Aziz, W. A. 1991. Materi pokok pendidikan pancasila 1. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Kurniati, Edi Dwi. 2010. Wawasan kebangsaan dalam pembangunan daerah. Jurnal ilmiah inkoma, 21(1). Hal 75-80
Lestyarini, Beniati.2012. Penumbuhan semangat kebangsaan untuk memperkuat karakter indonesia melalui pembelajaran bahasa. Jurnal kendidikan karakter, 2 (3). Hal 340-354
Mun’iz, A.D. 2010. Islam nusantara:antara prasangka dan harapan yang tersisa. Banjarmasin:ACIS
Sunarto,dkk. 2012. Pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi. Semarang: Pusat Pengembang MKU/MKDK-LP3 Universitas negeri Semarang
Syaifudin T. (2013). Membangun kultur masyarakat Islam Indonesia. Semarang
Wahyu. (2011). Masalah dan Usaha Membangun Karakter Bangsa. Jurnal Komunitas , 3 (2), 138-149.

Referensi Media Massa
Anonim. 2008. “Arti warna bendera merah putih” diunduh dari (http://paskibracikande.weebly.com/arti-warna-bendera-merah-putih.html). pada 26 Oktober 2013

BBC. 2013. “Pertumbuhan ekonomi RI capai angka tertinggi” diunduh dari (http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/08/130816_rapbn_2014_sby.shtml) pada 26 Oktober 2013

Kabar petang. 2013. “Ekonomi Indonesia terpuruk” Kabar petang tanggal 28 Oktober
Pandji, R Hardinoto. “QS.Kebangsaan” diunduh dari (http://jakarta45.wordpress.com/qs-kebangsaan/), pada 31 Oktober 2013
Reportase pagi. 2013. “Kekayaan Indonesia” Reportasi pagi 25 oktober

Rosida. 2013. “Pentingnya Menumbuhkan Semangat Nasionalisme Dalam Keberagaman Masyarakat Di Indonesia” diunduh dari (http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/01/pentingnya-menumbuhkan-semangat-nasionalisme-dalam-keberagaman-masyarakat-di-indonesia-573603.html), pada 31 Oktober 2013

Seputar Indonesia. 2013. “ Tradedi 98” Seputar Indonesia tanggal 28 Oktober)
Seputar Indonesia. 2013. “ kasus korupsi di indonesia” Seputar Indonesia 29 Oktober 2013

Wikipedia.2008. “Karakter bangsa” diunduh dari (http://id.wikipedia.org/wiki/Karakter_bangsa), pada 25 Oktober 2013

Wiranto, P. 2012. “ membangkitkan kembali Indonesia” diunduh dari (http://www.facebook.com/notes/wiranto-partosudirdjo/membangkitkan-kembali-indonesia/10151599809962566) pada 30 Oktober 2013
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar