Sabtu, 28 Desember 2013

Minat Baca Penentu Kualitas Bangsa

Oleh Dwi Puji Astuti
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
wi2x.pashter@gmail.com

Abstrak
Masyarakat Indonesia saat ini memprihatinkan, terbukti dengan fakta-fakta penelitian yang menyebutkan rendahnya minat baca warga Indonesia. Sebuah survei yang menyatakan masyarakat Indonesia lebih banyak menonton televisi, mendengarkan radio, bermain game daripada membaca buku dan menjadi peringkat 124 dari 187 negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Maka dari itu dengan adanya karya ilmiah dapat memberikan solusi pemecahannya. Dari mengetahui faktor penyebab rendahnya minat baca, upaya peningkatannya, kurikulum sekolah dan keunggulan membaca serta dengan mengatur pola dan strategi dalam pembelajaran maupun tatanan budaya membaca dapat membantu untuk meningkatkan minat baca sekaligus membantu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Kata Kunci : minat baca, budaya, kurikulum, intelektual.

Pendahuluan
Membaca adalah salah satu ketrampilan yang paling penting pada manusia yaitu ketrampilan dalam berbahasa. Dengan berbahasa manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Terlebih lagi jika manusia senang membaca, maka kemampuan dalam berbahasanya akan baik. Jika berkomunikasi menggunakan perasaan yang jernih maka akan tercipta komunikasi yang jelas dan baik. Burns, dkk. (dalam Suwaryono,1989) mengemukakan bahwa kemampuan membaca merupakan sesuatu yang yang vital dalam masyarakat terpelajar. Namun bagi anak-anak yang tidak memahami pentingnya membaca tidak akan mempunyai motivasi untuk belajar. Sedangkan anak-anak yang melihat tingginya nilai membaca dalam kesehariannya akan lebih giat belajar. Itulah pendapat seorang pakar yang secara tidak langsung menyatakan bahwa anak yang tidak memahami pentingnya membaca berarti anak tersebut tidak mempunyai minat untuk membaca.
              Minat baca warga negara Indonesia sangat rendah dan memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dengan hasil indeks nasional yang menyebutkan bahwa indeks baca di Indonesia hanya 0,01. Sedangkan rata-rata indeks baca negara maju berkisar antara 0,45 sampai dengan 0,62. Hasil tersebut membuktikan bahwa Indonesia menjadi peringkat ketiga dari bawah untuk minat baca (lihat sindonews.com, 19/09/13). Masalah ini yang menjadi titik fokus karya ilmiah saya dan harus saya carikan solusi. Rendahnya minat baca di Indonesia menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan warga Indonesia lebih suka menonton tv, mendengarkan radio, berkecimpung di dunia internet daripada membaca buku. Inilah yang membuktikan bahwa kualitas sumber daya manusia di Indonesia semakin tahun semakin menurun dan tidak memahami keunggulan-keunggulan membaca. Tingkat minat baca warga mempengaruhi kemajuan pendidikan di Indonesia dan akan mempengaruhi kemajuan pembangunan bangsa.
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan keunggulan membaca buku daripada yang lain dan memberikan upaya-upaya peningkatan minat baca di Indonesia. Dengan adanya penulisan ini diharapakan pembaca dapat ikut serta dalam upaya peningkatan minat baca di Indonesia, agar mutu pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.

Acuan Teori
Pertama, teori yang digunakan adalah teori kurikulum. Teori ini memberikan gambaran bagaimana kurikulum yang diterapkan di Indonesia saat ini. Apakah kurikulum itu menekankan anak untuk pasif atau aktif? Apakah kurikulum pendidikan di Indonesia lebih menekankan anak untuk membaca buku atau browsing  internet? Kurikulum pendidikan mempunyai peran penting dalam mengembangkan minat membaca anak. Dan kurikulum harus membuat anak gemar membaca. Bagaimana isi kurikulum saat ini dan kompetensinya seperti apa? Itulah yang menentukan minat baca anak dari sekarang dan ke depannya.
Kedua, teori kebudayaan teori kebudayaan dapat memberikan gambaran sejak kapan dan apa yang menjadi penyebab rendahnya minat baca? Salah satu faktanya adalah dongeng sebelum tidur. Kita tidak dapat memungkiri bahwa sejak kecil, sejak belum mengetahui angka dan huruf kita selalu mendengarkan dongeng dari orang tua sebelum tidur. Bahkan sampai kita SD pun masih didongengi orangtua. Hal seperti itu sudah membudaya sejak dahulu hingga saat ini. Budaya seperti itu yang membuat anak malas dan kurang berminat untuk membaca. Dari kecil hingga dewasa mereka akan lebih senang mendengarkan karena budaya mendengarkan dongeng dari kecil.
Ketiga, teori reproduksi sosial yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu seorang sosiolog Perancis yaitu teori dimana satu generasi dari suatu kelas sosial yang memastikan bahwa seseorang mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak istimewanya kepada generasi berikutnya. Bordieu mengkombinasikan teori dan fakta-fakta yang bisa diverifikasi, dalam upaya untuk mendamaikan kesulitan-kesulitan, bagaimana memahami subyek di dalam struktur obyektif. Dalam proses itu, ia mencoba mendamaikan pengaruh dari dua hal yaitu latar belakang sosial dan pilihan bebas terhadap individu.
Keempat, teori evaluasi dapat mengetahui seberapa jauh perkembangan minat baca warga Indonesia terutama anak-anak usia sekolah. Evaluasi adalah proses penilaian terhadap suatu kegiatan pendidikan. Dengan teori evaluasi suatu kegiatan untuk meningkatkan minat baca dapat dikendalikan dan dapat diketahui mutu dan hasilnya. Evaluasi dapat mempermudah kita dalam menentukan tujuan peningkatan minat baca dan umpan balik yang dapat kita terima untuk penyempurnaan mutu pendidikan di Indonesia.

Data Fakta Rendahnya Minat Baca
Data-data yang dapat menunjang penulisan ini adalah data fakta sejumlah institusi atau badan-badan penelitian yang telah melakukan survei mengenai tinggi rendahnya minat baca warga Indonesia. Berdasarkan  data Bank Dunia Nomor 16369-IND dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement), untuk kawasan Asia Timur, Indonesia memegang posisi terendah dengan skor 51,7, dibawah Filipina dengan skor 52,6. Data lainnya dari UNDP, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Pada tahun 2002, Penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis UNDP menyebutkan, melek huruf Indonesia berada di posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Pada tahun 2006 berdasarkan studi lima tahunan bertajuk Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), Indonesia  menempati posisi 36 dari 40 negara (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%). Pada tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi). Pada tahun 2012 Indonesia nangkring di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan ‘melek huruf’. Indonesia sebagai Negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang (lihat kompasianan.com, 5/04/13).


Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Minat Baca
Sampai saat ini minat baca warga Indonesia masih terbilang sangat rendah. Terbukti dari beberapa data yang telah disebutkan di atas. Tak ada api jika tak ada asap. Takkan rendah minat baca warga Indonesia jika tak ada faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya minat membaca. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya minat baca. Tidak hanya faktor dari dalam diri (internal), akan tetapi juga faktor dari luar (eksternal).
              Pertama, warisan budaya dari orang tua atau determinisme genetic. Budaya baca belum pernah diwariskan nenek moyang. Dari sejak kecil kita hanya terbiasa mendengar berbagai dongeng,  kisah, adat-istiadat yang diceritakan oleh orang tua, nenek, dan tokoh masyarakat hanya secara lisan atau verbal saja. Terlalu sering kita mendengarkan, sampai-sampai tidak ada pembelajaran secara tertulis yang dapat menimbulkan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca sangat dipengaruhi oleh faktor determinisme genetic tersebut. Seseorang yang dibesarkan oleh orangtua yang cinta membaca akan mempunyai kegemaran membaca. Sebaliknya, jika seseorang dibesarkan dari orangtua yang tidak  cinta membaca maka orang tersebut tidak akan mempunyai kegemaran membaca. Lingkungan terdekat adalah orang tua. Hal inilah yang akan mempengaruhi seseorang untuk mendekatkan diri pada bacaan .
Di negara maju, seperti Jepang, budaya membaca adalah suatu kebiasaan yang telah menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Membaca mereka ibaratkan sandang, pangan dan papan, membaca adalah bagian dari kehidupan mereka tiap harinya. Sajidiman Surjohadiprojo, ketika menjabat sebagai duta besar Jepang mengatakan bahwa yang paling membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa Jepang adalah kemampuan adaptifnya, termasuk kemampuan membaca dan mempelajari budaya bangsa lain. Tidak akan dijumpai orang Jepang melamun dan mengobrol di kereta api bawah tanah, kegiatan mereka kalau tidak tidur tentu membaca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Kedua, determinisme lingkungan. Lingkungan yang dimaksud disini adalah teman bermain, masyarakat sekitar, rekan kerja, dan guru. Orang tidak senang membaca juga disebabkan karena lingkungan yang tidak gemar membaca, lingkungan dimana dia bersosialisasi setiap harinya. Di samping itu juga di masyarakat, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan dan tidak ada peraturan perusahaan/instansi yang mengharuskan seseorang untuk membaca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).. 
              Ketiga, sistem pembelajaran dan kurikulum di Indonesia telah membuat siswa cenderung  pasif dan hanya mendengarkan guru mengajar di kelas daripada mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di sekolah. Jarang sekali guru yang memberi tugas untuk membaca buku sebanyak-banyaknya. Misalnya saja PR yang diberikan oleh guru, kebanyakan PR tersebut berbentuk mengerjakan soal-soal di buku paket atau LKS. Dan jawabannya pun sudah pasti berada dalam LKS atau buku paket. Sebaiknya PR yang diberikan lebih berbentuk sebuah proyek yang menyenangkan, dimana anak dituntut untuk banyak membaca dari berbagai literatur. Dengan begitu wawasan mereka akan berkembang dan akan menciptakan iklim membaca. Membaca bukan dianggap sebagai hal yang membosankan dan tidak menarik, melainkan sebagai hal menyenangkan.
Di negara maju, siswa SMA berkewajiban menamatkan buku bacaan dengan jumlah tertentu sebelum mereka lulus sekolah. Seperti data yang terdapat di salah satu banner di rumah puisi milik sastrawan nasional, Taufik Ismail, bahwa di Jerman, Perancis dan Belanda mewajibkan siswanya harus menamatkan hingga 22-32 judul buku (1966-1975), sedangkan di Indonesia sejak tahun 1950-1997 nol buku atau tidak ada kewajiban untuk menamatkan satu judul buku pun. Kepedulian pemerintah dalam sistem pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa. Yang dilakukan Jepang pertama kali untuk dengan mengumpulkan para guru. Karena Jepang yakin, bahwa mereka akan dapat bangkit dan menjadi salah satu negara terkemuka di dunia adalah dengan kepeduliannya terhadap pendidikan (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Keempat, banyak muncul berbagai teknologi dan tempat-tempat hiburan. Permainan (game) yang makin canggih dan variatif serta tayangan televisi yang semakin menarik, telah mengalihkan perhatian anak dari buku. Semakin banyaknya mall, tempat karaoke, dan taman rekreasi. Tempat hiburan yang didirikan membuat anak-anak lebih banyak meluangkan waktu ke tempat hiburan daripada membaca buku di perpustakaan maupun taman baca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Kelima, minimnya sarana untuk memperoleh bacaan. Andai kita harus membeli buku bacaan, harga buku yang ada di pasaran relatif mahal. Hal ini menyebabkan orang tua tidak membelikan buku bacaan tambahan selain mengutamakan buku-buku yang diwajibkan oleh sekolah. Terlebih lagi kondisi ekonomi masyarakat yang kurang mampu, jangankan terpikir untuk membeli buku bacaan, untuk makan sehari-hari terkadang menjadi hambatan bagi mereka. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur hal ini terutama pihak yang terkait seperti Departemen Pendidikan, belum memiliki kebijakan yang mampu membuat bangsa ini merasa perlu membaca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Keenam, kemalasan yang merajalela. Sekarang adalah jaman modern, dengan lingkungan yang modern pula. Namun tidak dengan sendirinya kita sebagai manusia dapat dikatakan menjadi modern. Kita dapat dikatakan modern kalo dapat mengubah pola pikir dan perilaku kita. Ciri-ciri manusia modern adalah jika ia mau membuka diri terhadap pengalaman baru, dan inovasi. Bukan hanya sekedar malas-malasan.
Menurut Suherman, M.Psi, dalam bukunya “Bacalah!  Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban” bahwa di negara maju, misalnya Amerika Serikat dan Jepang, setiap individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka menghabiskan waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari.   Sementara itu, di negara berkembang (Indonesia) hanya dua jam setiap hari. Mereka cenderung memilih untuk bersantai main game, bermalas-malasan, menonton televisi atau jalan-jalan ke mall dan ke tempat hiburan lainnya.

Kurikulum Sekolah
Mulyasa (2003) mengatakan bahwa Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat memberikan arah tujuan pendidikan di tanah air semakin jelas dalam mengembangkan kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM yang kompetitif di era globalisasi, sehingga bangsa Indonesia tidak selalu ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi prinsip sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat dan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung.
Kedua prinsip di atas harus saling berkesinambungan. Artinya dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, harus diisi dengan kegiatan pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung. Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia harus memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi waktu yang cukup memberi kesempatan banyak untuk membaca. Demikian pula dalam bahan kajian seni dan budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang dengan kegiatan menggambar/melukis, menyanyi dan menari. Kegiatan membaca dan menulis tidak saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan Bahan Kajian Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implisit harus tercantum dalam bahan-bahan kajian lainnya.
Kurikulum Indonesia yang banyak menekankan anak atau siswa  lebih bersifat pasif. Siswa lebih banyak dituntut untuk mendengarkan gurunya mengajar dibanding membaca buku sebanyak-banyaknya. Guru pun lebih suka memberi tugas latihan apa yang dipelajarkan di sekolah hari itu dibandingkan memberi tugas yang mengharuskan membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebaiknya kurikulum yang diterapkan di Indonesia adalah kurikulum yang menekankan anak untuk aktif dan banyak mencari pengetahuan dengan membaca buku sebanyak-banyaknya. Hal ini diperlukan kerja sama antara guru yang profesional dan berkualitas dalam rangka meningkatkan minat baca untuk  meningkatkan mutu pendidikan.

Keunggulan Membaca
Membaca mempunyai banyak keunggulan daripada surfing internet, menonton televisi, dan mendengarkan radio. Keunggulan-keunggulan membaca diantaranya : (1) meningkatkan pengembangan diri, (2) dapat memenuhi tuntutan intelekual, (3) meningkatkan minatnya terhadap suatu bidang, (4) dapat menyaksikan dunia lain yaitu dunia pikiran dan dunia renungan, dan (5) menjadikan pembaca mempunyai tutur kata yang halus.
Pertama, menurut Farida Rahim (2005), dengan membaca seseorang dapat meningkatkan ilmu pengetahuan. Daya nalarnya pun semakin berkembang dan berpandangan luas. Orang yang gemar membaca lebih pintar dalam memilah-milah. Hal mana yang lebih bermanfaat bagi masyarakat daripada kelompok atau dirinya sendiri. Dan mereka akan lebih mementingkan apa yang bermanfaat bagi orang banyak daripada diri sendiri.
Kedua, menurut Gray dan Rogers (dalam Supriyono, 1998) dengan membaca buku, pengetahuan bertambah dan perbendaharaan kata-kata meningkat. Semakin banyaknya pendaharaan kata yang kita ketahui, daya ingat dan daya intelektual kita akan lebih bagus didandingkan dengan menonton tv atau mendengarkan internet.  
Ketiga, menurut Gray dan Rogers (dalam Supriyono, 1998) ketika seseorang menyukai suatu hal, dengan banyak membaca buku tentang apa yang dia senangi maka akan menimbulkan motivasi untuk meningkatkan bakatnya. Bakat yang dia senangi yang akan menghasilkan suatu prestasi dengan memperbanyak membaca buku.
Keempat, ketika seseorang membaca suatu buku, dia akan ikut merasakan apa yang terjadi di buku tersebut. Tidak hanya itu saja, setiap kata yang terdapat pada buku tersebut akan membuat si pembaca ikut merenungkan dan berfikir jauh apa makna dan apa ang harus dilakukan selanjutnya.
Kelima, kata setiap kata dalam buku ditulis dengan sedemikian indah. Dengan kita banyak membaca buku, berarti kita juga mempelajari kata setiap kata. Menurut Widyamartaya (1992: 140-141), semakin banyak kita membaca buku kita akan ikut berperilaku dan bertutur kata yang indah seperti dalam buku. Berbeda halnya dengan internet yang kata setiap katanya tidak ada peninjauan ulang.
Membaca tidak hanya berdampak pada bidang intelektual saja, akan tetapi membaca juga dapat berdampak pada kesehatan. Beberapa keunggulan membaca dalam bidang kesehatan yaitu : (1) melatih otak, (2) meringankan stres, (3) menjauhkan resiko penyakit alzheimer, (4) mengembangkan pola tidur yang sehat, dan (5) meningkatkan konsentrasi (lihat healt.detik.com, 12/03/2011).
Pertama, melatih  otak adalah salah satu keunggulan dalam bidang kesehatan. Membaca secara rutin akan membuat otak menjalankan fungsinya secara sempurna. saat kita membaca berarti kita dituntut untuk berfikir lebih sehingga akan membuat lebih cerdas. Tetapi, hal tersebut tidak dapat dilakukan sekali atau beberapa kali saja, akan tetapi harus dilakukan terus-menerus.
Kedua, meringankan stres. Keindahan bahasa dalam tulisan memiliki kemampuan untuk menenangkan dan mengurangi stres. Terlebih lagi jika kita membaca cerita fiksi seperti novel, cerpen, atau komik sebelum tidur, karena bahasa dalam cerita fiksi biasanya menarik dan indah. Hal tersebut dianggap dapat mengatasi stres.
Ketiga, orang yang suka membaca akan memiliki konsentrasi yang tinggi dan fokus. Semakin sering seseorang membaca, maka konsentrasinya akan semakin meningkat. Hal ini akan membuat otak menjadi fokus dan memiliki kemampuan untuk perhatian dan praktis dalam kehidupan.
Keempat, kebiasaan membaca buku sebelum tidur akan membuat kita terbiasa tidur pada waktunya. Pola membaca sebelum tidur dapat bertindak sebagai alarm bagi tubuh dan mengirimkan sinyal bahwa sudah waktunya tidur. Rutinitas seperti ini akan membantu kita dalam mengatur pola tidur yang sehat.
Kelima, menjauhkan risiko penyakit alzheimer. Membaca dapat meningkatkan daya ingat otak. Ketika membaca otak dirangsang secara teratur dapat mencegah gangguan pada otak seperti alzheimer. Penelitian telah menunjukkan bahwa latihan otak seperti membaca buku atau majalah dapat menunda atau mencegah kehilangan memori. Menurut para peneliti, kegiatan membaca dapat merangsang sel-sel otak.

Upaya Peningkatan Minat Baca
Masyarakat Indonesia saat ini kurang berminat membaca. Padahal jika dicermati penerbitan buku, majalah, koran, tabloid sangat meningkat. Tetapi minat membaca hanya terbatas pada koran, majalah dan tabloid saja. Sedangkan minat baca pada buku-buku yang memuat pengetahuan sangat rendah. Maka dari itu diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan minat baca warga Indonesia terutama anak-anak. Upaya yang dapat kita lakukan adalah upaya internal maupun upaya eksternal.
Pertama, motivasi keluarga dan guru. Pada dasarnya, keluarga adalah sumber upaya utama. Keluarga harus mendukung, terutama dari orang tua harus mencontohkan kegemaran membaca kepada anak-anak mereka. Selain itu, orang tua juga harus memperhatikan dan mengawasi kegiatan anak-anaknya. Sementara terkait dengan fasilitas, ketersediaan bahan bacaan di rumah juga dipenuhi agar membuat anak berminat pada kegiatan membaca. Karena awal dari gemar membaca adalah rasa ingin tahu terhadap buku bacaan yang ada di rumah. Selain itu, pihak sekolah / guru bertanggungjawab ikut menumbuhkan minat baca siswa, karena sumber kreatifitas siswa akan muncul. Sekolah harus mengajar anak-anak berpikir melalui budaya belajar yang menekankan pada memahami materi dan membaca buku (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Kedua, tersedianya perpustakaan yang dikelola dengan baik. Terkait dengan budaya membaca, tidak lepas dengan adanya peran penting sebuah perpustakaan terlebih di lingkungan sekolah. Sebuah perpustakaan harus memberikan pelayanan dan manajemen yang baik dalam memberikan kebutuhan referensi siswa di sekolah. Jika perpustakaan adalah sebuah produk maka ia harus menjamin kualitasnya dengan baik. Pustakawan juga harus cerdas dalam menganalisa koleksi buku apa yang di inginkan dan disuka oleh pelajar maupun pihak umum. Jika perlu dilakukan penelitian atau request perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar yang sangat penting untuk menunjang minat baca. Melalui penyediaan perpustakaan, siswa dapat berinteraksi dan terlibat langsung baik secara fisik maupun mental dalam proses belajar. Penyediaan buku-buku yang menarik juga dapat menjadi penunjang minat baca. Tidak hanya buku pelajaran, buku sejarah atau buku ilmiah saja yang ada di perpustakaan, akan tetapi buku-buku cara berternak yang baik, bertanam yang baik dan buku-buku yang menarik lainnya yang tidak hanya tersedia untuk anak-anak, akan tetapi bisa untuk orang dewasa juga. Dan buku tersebut mengandung informasi yang diinginkan pembaca (Darmono, 2007).
Ketiga, promosi gerakan gemar membaca di lingkungan sekolah. Cara untuk melakukan promosi ini bisa bekerjasama dengan pihak kepala sekolah bersama jajarannya. Akan lebih baik lagi jika kepala sekolah, guru, dan staff sekolah menjadi orang pertama yang mengawali gerakan gemar membaca di sekolahnya. Bisa juga membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin membaca misalnya, “Ingin jadi Juara dan Berprestasi ? Rajinlah Membaca” atau yang sejenisnya. Cara lain bisa juga dengan cara kebijakan sekolah yang mewajibkan semua siswa pada seminggu sekali atau dua kali diwajibkan untuk membaca sebuah buku di perpustakaan yang kemudian memerintahkan mereka untuk merangkum buku yang dipinjam serta menjelaskan poin-poin penting dari buku yang sudah dibaca (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13). 
Keempat, memberikan penghargaan untuk orang yang gemar membaca. Caranya bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak perpustakaan dan kepala sekolah maupun perpustakaan dengan pemerintah setempat melalui kebijakan. Hadiah tersebut bisa diberikan kepada orang yang paling sering meminjam buku di perpustakaan dan mampu menjelaskan apa yang telah mereka baca. Dan jika siswa atau pelajar ada semacam ketentuan berlaku disini bahwa yang mendapatkan hadiah adalah mereka yang rajin meminjam buku dan kemudian diikuti dengan peningkatan prestasi setelah rajin membaca (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Kelima, menyediakan buku murah. Atau dengan menyelenggarakan pameran buku. Seperti yang ada di Cairo beberapa bulan lalu. Selain menyediakan buku-buku baru, juga menyediakan buku-buku bekas yang berharga murah namun masih dalam kondisi yang bagus dan layak baca. Sehingga pengunjung terutama pelajar, punya keinginan untuk membeli buku yang murah dan membacanya (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Keenam, pengemasan buku yang menarik. Tidak hanya kemasan dari luar saja, kemasan dalam segi isi buku juga diperlukan. Kebanyakan para pelajar suka membaca buku fiksi seperti komik dan novel. Mereka tidak suka membaca buku ilmiah karena dianggap membosankan. Mereka menganggap buku sejarah itu menyebalkan dan memusingkan, walaupun sebenarnya buku sejarah itu berisi tentang cerita dan kejadian-kejadian penting di masa lalu. Hal itu terjadi karena bahasa yang ada di dalam buku sejarah sulit dimengerti oleh siswa, selain itu nama-nama dan tanggal-tanggal yang ada di dalamnya juga membuat mereka jenuh. Lalu, bagimana jika sejarah itu dikemas dalam bentuk yang menarik dan berbeda. Seperti dijadikan suatu komik yang disertai dengan ilustrasi gambar. Atau dikemas dalam bentuk novel, yang hanya fokus terhadap jalan cerita dan tidak banyak mencantumkan tanggal-tanggalnya (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).


Kesimpulan
Minat baca warga negara Indonesia terutama anak-anak sangat rendah karena mereka lebih menyenangi menonton tv, main game pada komputer, ipad, gadget dibanding membaca. Meskipun hanya membaca buku cerita, mereka lebih menyukai hal-hal tersebut. Untuk itu kita harus segera mengubah pola, strategi dan kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia agar minat baca warga Indonesia meningkat. Dengan upaya meningkatkan minat baca, berarti kita juga meningkatkan mutu pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Semakin kecil indeks minat baca berarti semakin rendah pula mutu pendidikan di Indonesia. Sebaliknya jika semakin tinggi indeks minat baca berarti semakin tinggi pula mutu pendidikan di Indonesia
Apabila dirunut minat baca sangat berkait dengan kualitas suatu bangsa. Rendahnya kebiasaan dan kemampuan membaca masyarakat kita disebabkan rendahnya minat baca, dan tidak mengondisikan kedalaman pengetahuan dan keluasan wawasan. Di samping itu, rendahnya kebiasaan dan kemampuan membaca berpotensi menurunkan angka melek huruf yang secara langsung menentukan mutu pendidikan dan kualitas bangsa. Kurangnya minat baca telah tertutupi oleh gaya hidup pelajar yang hedon. Kehidupan hedon yang dimaksudkan adalah suka jalan-jalan ke mall, bermain-main ke tempat hiburan, pergaulan sudah mengarah pada pergaulan bebas. Kondisi seperti ini membuat keingintahuan pelajar tidak ada. Ada sifat dalam diri pelajar yang sangat buruk. Yakni, masa bodoh atau tidak ingin tahu.

Daftar Pustaka
Suherman. 2010. Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban. Bandung : MQS Publishing
Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Rosda
Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca Di Sekolah Dasar. Jakarta : Bumi Aksara
Wiryodijoyo, Suwaryono. 1989. Membaca : Srategi, Pengantar dan Tekniknya. Jakarta : P2LPTK
Darmono. 2007. Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Grasindo
Widyamartaya, A. 1992. Seni Membaca untuk Studi. Yogyakarta: Kanisius
Supriyono. 1998.Kontribusi Pustakawan Dalam Meningkatkan Minat Baca. Media Pustakawan Vol. V, No. 3

Referensi Media Massa
Sindonews. 2013. Minat Baca Masyarakat Indonesia Ketiga dari Bawah. Diperoleh 4 Oktober 2013, dari http://daerah.sindonews.com/read/2013/09/19/22/785115/minat-baca-masyarakat-indonesia-ketiga-dari-bawah
Arismunandar, Satrio. 2009. Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa, dan Kekerasan Simbolik. Diperoleh 12 Oktober 2013, dari http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/pierre-bourdieu-dan-pemikirannya.html
Kompasiana. 2013. Ciyus,Ini 12 Fakta SBY Gagal Tingkatkan Minat Baca. Diperoleh 17 Oktober 2013, dari http://metro.kompasiana.com/2013/04/05/ciyus-ini-12-fakta-sby-gagal-tingkatkan-minat-baca-548552.html
Ranis. 2013. Kenapa Minat Baca di Indonesia Rendah?. Diperoleh 26 Oktober 2013 dari http://www.bimba-aiueo.com/kenapa-minat-baca-di-indonesia-rendah/
Detiknews. 2011. 5 Manfaat Membaca Buku untuk Kesehatan. Diperoleh 1 Desember 2013, dari http://health.detik.com/read/2011/03/12/075450/1590162/766/5-manfaat-membaca-buku-untuk-kesehatan

TPP Cahaya Insan Cendekia. 2013. Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa. Diperoleh 17 Oktober 2013, dari http://cicendekia.wordpress.com/2013/04/03/upaya-meningkatkan-minat-baca-siswa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar