Oleh Homsa Diyah
Rohana
Teknologi
Pendidikan,Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Pendidikan
diselenggarakan karena diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Hal ini dikemukakan dalam
Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1. Oleh
karena itu pendidikan religius harus ada dalam praktik pendidikan di Indonesia,
dan tidak hanya sekedar formalitas belaka. Karena pendidikan religius/agama di
Indonesia saat ini bagaikan hanya sebagai pelengkap saja. Padahal pendidikan
agama sangatlah penting dan utama untuk dapat menghasilkan peserta didik yang
bermoral religius. Karena kita ketahui, banyak sekali kasus rusaknya moral
bangsa di negeri ini, yang mejadi penyebab terjadinya berbagai macam tindakan
bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pendidikan religius itu berdasar pada
filsafat pendidikan islam yakni Al-Qur’an. Selain itu pendidikan yang katanya
dari, untuk, dan oleh masyarakat (UU No. 20 th 2003,pasal 1) nampaknya tidak
tercermin pada pendidikan di Indonesia saat ini,pendidikan sekarang justru
memisahkan diri dari masyarakat. Pendidikan seharusnya dapat memenuhi
kepentingan masyarakat bukan kepentingan pemerintah saja. Pendidikan berbasis
masyarakat atau comunity based education perlu
diterapkan pada setiap pendidikan formal Indonesia agar tercapainya tujuan
pendidikan yang sebenarnya, bukan hanya untuk menjaga status quo pemerintah. Pendidikan berbasis masyarakat dapat dilihat
pada sistem yang diterapkan di pesantren-pesantren. Dengan itu, perlunya
menganalisis pentingnya pendidikan berbasis religius dan berbasis masyarakat untuk
dapat memberi perubahan dalam kemajuan pendidikan Indonesia yang lebih baik
dari saat ini.
Kata kunci: Al-Qur’an,
masyarakat, pendidikan, pesantren.
Pendahuluan
Indonesia adalah
negara dengan berbagai masalah didalamnya, mulai dari masalah pendidikan, ekonomi,
politik, budaya. Namun saya tidak akan memaparkan semua masalah-masalah yang
ada di Indonesia karena bisa jadi tidak terselesaikanya artikel ini. Disini
saya akan fokus pada masalah pendidikan di Indonesia saja. Karena pendidikan
memberi peran yang sangat penting dalam mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas tidak hanya di tingkat intelektual tetapi juga dalam segi moralnya.
Pertama,
Indonesia sebagai negara yang mayoritas beragama islam, tetapi pendidikan yang
ada kurang mengutamakan pendidikan religius. Belum tercapainya tujuan
pendidikan islam yang ada di Indonesia, yang seakan hanya sebagai formalitas
belaka dapat dilihat pada berbagai kasus rusaknya moral remaja saat ini yang
menimbulkan perilaku betentangan dengan agama, seperti terjadi di daerah Toli
Toli. Penistaan agama yang dilakukan remaja dengan menggabungkan gerakan
praktik sholat berjamaah dengan goyang disko vulgar oleh siswi sekolah SMA 2
Toli Toli saat kegiatan les bagi kelas calon peserta Ujian Nasional (UN). Perbuatan
yang dilakukan oleh remaja SMA 2 Toli-toli ini diluar akal sehat. Mereka membuat
video yang isinya penistaan terhadap agama. Isi dari video itu 5 orang siswi
berpakaian baju olah raga. Tiga orang berbaju olah raga berwarna kuning, satu
orang berpakaian baju olah raga warna biru dan satu lagi tidak mengenakan
seragam sekolah sudah berganti dengan mengenakan baju bebas. Yang miris, di
antara anak-anak itu ada yang pakai jilbab warna hitam. Dalam video itu, mereka melakukan gerakan sholat seraya mengucapkan
beberapa bacaan Allahu Akbar dan ayat-ayat Al-Qur’an (surat al-Fatihah). Lalu
gerakan tersebut dilanjutkan oleh iringan salah satu lagu disko musik barat
“One More Night” dan gerakan mereka mengikuti iringan lagu tersebut seraya
berjoget-joget dengan liarnya. Ketika Musik disko berhenti, mereka berbaris
rapi layaknya barisan saf salat dengan berucap, “Allahu Akbar”. Diteruskan
dengan membaca surah Al Fatihah yang masih dengan nada mengejek. Ketika akan
rukuk, musik disko terdengar kembali dan mereka joget sepuas hati. Musik disko
berhenti, mereka lanjut dengan gerakan sujud. Saat sujud, terdengar beberapa
orang tertawa melihat mereka. Mungkin ada teman-teman mereka yang duduk di
bangku sekolah melihat mereka. Perlu kita ketahui bahwa SMA 2 Tolitoli tersebut
siswa-siswinya bergama Islam 98 persen, termasuk kelima pelaku. Video tersebut
dapat dilihat pada www.youtube.com. Masih
banyak lagi kasus-kasus rusaknya moral agama di Indonesia,antara lain banyaknya
kasus Married by Accident (MBA) yang menimpa remaja di Indonesia yang bahkan
masih dibawah umur, yakni anak yang masih duduk di bangku SD kelas 6 mengaku
telah kehilangan keperawanan (lihat edukasi.kompasiana.com,
17/10/2013)
Dari pemaparan kasus diatas,
lalu selama ini pendidikan agama yang ada di Indonesia berperan apa? karena
pada hakikatnya pendidikan agama dimaksudkan agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan
membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Alloh SWT serta berakhlak mulia. Peningkatan potensi spiritual mencakup
pengenalan,pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, dan penanaman itu
harus diterapkan dalam kehidupan individunya, ataupun kolektif masyarakat. Hal
tersebut sudah menjadi kewajiban sebagai seorang muslim yakni mematuhi segala
perintah Alloh SWT. Hingga tercipta akhlak mulia menyangkut etika, budi
pekerti, dan moral yang religius. Pendidikan religius pada pendidikan islam
harus berdasar pada Al-qur’an. Majid al-Kailani (dalam Abdullah, 2005: 10)
tesisnya yang disampaikan untuk Jordania University:
Perkembangan
pendidikan islam dimulai sejak masa kebangkitan islam hingga sekarang. Al-qur’an
merupakan asas dasar pendidikan islam—bahwa dasar pokok ini disebut sebagai
Filsafat Pendidikan Islam—harus dipandang sebagai petunjuk umum...
Dari kutipan diatas, kurikulum pendidikan islam
harus berbasis dengan Al-Qur’an dengan itu tercapainya makna-makna Al-Qur’an
ada dalam setiap kehidupan manusia saat ini. Karena jika makna-makna Al-Qur’an
telah tercapai dalam kehidupan manusia, akan melahirkan kepribadian yang
bermoral religius.
Kedua, pemerintah terhadap
pendidikan di Indonesia saat ini lebih mengutamakan kepentingan politiknya,
yakni untuk mempertahankan kekuasannya saja melalui kontrol pendidikan. Kerja
pemerintah pada pendidikan yang sentralis saat ini belum optimal, terbukti
dengan semakin banyaknya permasalahan pendidikan di Indonesia mulai dari
masalah biaya, output, sistem, dll. Hal
ini dikarenakan pemerintah yang abai dan lalai terhadap kemajuan pendidikan
(lihat pemaparannya di politik.kompasiana.com,
2013/10/21).
Pendidikan yang semestinya
untuk kepentingan masyarakat, saat ini belum terwujud pada sekolah-sekolah di
Indonesia. Karena pada dasarnya pendidikan itu tidak terpisah dari budaya dan
masyarakat dimana pendidikan itu dilaksanakan. Tetapi itu berkebalikan dengan
data banyaknya pengangguran terdidik di Indonesia, jumlah pengangguran terdidik
terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi, yaitu 12,78 persen. Posisi
berikutnya disusul lulusan SMA (11,9 persen), SMK (11,87 persen), SMP (7,45
persen) dan SD (3,81 persen) info dapat dilihat www.republika.co.id,
12/09/2012.
Sejatinya pendidikan itu dari, oleh, dan untuk
rakyat. Jadi, masyarakatlah yang berperan dalam mengatur pendidikan untuk dapat
memenuhi kepentingan masyarakat itu sendiri. Bagaimana suatu kurikulum suatu
pendidikan itu, jalannya, sistemnya, tergantung masyarakat dimana pendidikan
itu dilaksanakan. Bukan pemerintah yang mengatur ini, itu tetapi tidak
mengetahui kondisi aktual pendidikan yang ada di tempat yang dilaksanakan,
karena pendidikan di wilayah satu dengan yang lain berbeda budaya, dan berbeda
pula masalahnya.
Sesuai pemaparan mulai dari
yang pertama sampai yang kedua, artikel ini ditulis untuk dapat menjawab
pendidikan yang seharusnya diterapkan pada saat ini yakni pendidikan religius
berbasis Al-Qur’an dan berbasis masyarakat sehingaa dapat mengubah pendidikan
menjadi lebih baik dari saat ini yang dirasa belum tercapainya tujuan dari
pendidikan itu sendiri.
Pentingnya
Al-Qur’an dalam Pendidikan dan Kehidupan
Al-Qur’an merupakan kumpulan ayat-ayat suci yang
berisi firman-firman Alloh SWT yang diwahyukan pada nabi besar Mukhammad SAW.
Manusia yang beragama muslim wajib mengimaninya karena Al-Qur’an adalah sebagai
petunjuk hidupnya. Namun dewasa ini, umat muslim yang jauh dengan Al-Qur’an dalam
kehidupannya. Di zaman akhir ini, hampir seluruh umat muslim memiliki Al-Qur’an,tetapi
hanya sekedar disimpan di kamar, di meja, atau bahkan di kardus. Yang
benar-benar cinta Al-Qur’an sangat minim sekali jumlahnya di negeri yang
katanya mayoritas umatnya adalah beragama islam. Orang-orang lebih suka membaca
novel, cerpen, koran, dll. Ada lagi yang bahkan penulispun pernah rasakan yakni
dilema dengan adanya dunia maya, berbagai macam teknologi canggih yang
disediakan di dunia sehingga melalaikan Al-Qur’an, sungguh, astaghfirullohal’adzim. Tak jarang umat muslim yang hanya musiman dalam
membaca Al-Qur’an. Seperti dibaca pada saat bulan romadhon saja, isra’ mi’raj,
maulid nabi, dsb (lihat www.hidayatullah.com, 13/12/2012)
Pada zaman nabi Mukhammad SAW dan
para sahabat, Al-Qur’an dijadikan kebutuhan pokok untuk memperbaiki rohani
mereka. Siang malam ayatnya di lantunkan dengan indah. Anak-anak merekapun
diwarisi dengan ilmu Al-Qur’an sehingga mereka tumbuh besar dibekali dengan
kehidupan yang berbasis pada Al-Qur’an. Mereka belajar menghayati, memahami,
mentadaburi, dan mengamalkan kemudian diajarkannya ilmu yang telah mereka
kuasai kepada yang belum menguasai. Sehingga ketika mereka dewasa mereka sudah
terbiasa dengan Al-Qur’an, kecintaan mereka sudah mendarah daging, oleh karena
itu kesibukan dunia yang beragam mereka hadapi tidak menyurutkan mereka untuk
melalaikan Al-Qur’an (lihat ipqikairo-mesir.blogspot.com,
2012). Telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, Alloh SWT berfirman:
“ Orang-orang yang telah kami beri kitab
(Al-Qur’an), mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman
kepadanya. Dan kepada siapa yang ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang
yang merugi “ (QS. Al-Baqoroh:
121)
Jadi jika
seseorang mengaku dirinya mengimani Al-Qur’an, sudah seharusnya untuk
menjadikan Al-Qur’an bacaan favoritnya dan mutlak harus membaca setiap harinya.
Indonesia adalah masyarakat yang
multikultural, dan mayoritas penduduk di Indonesia beragama muslim. Pendidikan
islam di Indonesia belum memenuhi tujuan pendidikan Indonesia. Terbukti dengan
banyaknya kasus kenakalan-kenakalan ramaja saat ini. Tidak hanya pada remaja,
kaum dewasapun juga, apalagi pejabat negara yang rusak moralnya hingga tanpa
memikirkan nasib orang lain santai saja melakukan tindak korupsi. Seperti kasus
korupsi yang tejadi di Kementrian Agama yaitu korupsi dalam pengadaan Al-Qur’an, na’udzubillaah (lihat kompasiana.com, 30/06/2012).
Oleh karena itu,
pendidikan islam Indonesia harus
diperbaiki dengan berbasis dengan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an sumber ilmu
pengetahuan. Dengan itu, diharapkan moral dan karakter religius seseorang akan
terbentuk. Sehinggga Al-Qur’an tidak terbengkelai oleh kesibukan duniawi.
Contoh nyata Al-Qur’an sebagai sumber dari segala ilmu misalnya ilmu
matematika, Al-Qur’an menyebutkan problema matematika dalam beberapa
peristiewa. Mengenai matahari dan bulan misalnya:
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam
untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.
Itulah ketentuan Alloh matahari dan
bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Alloh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui” (QS.Al-An’aam:96)
“Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda,lalu kami hapuskan
tanda malaam dan Kami jadikan tanda siang itu terang agar kamu mencari kurnia
dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan.
Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas” (QS.Al-Israa’:12).
Selain
problematika diatas ada juga problematika mengenai perkalian, penjumlahan,
perhitungan-perhitungan bilangan dan masih banyak lagi lainnya yang berkaitan
dengan ilmu matematika (baca Rahman, 2000:92–115).
Dalam penerapan pendidikan religius
yang berbasis pada Al-Qur’an, maka kita harus mengerti terlebih dahulu makna
yang terkandung dalam Al-Qur’an. Untuk dapat mengerti makna yang terkandung di
dalam Al-Qur’an, terlebih dahulu kita harus sering membacanya (Al-Qur’an). Sekarang
kita renungkan, berapa kali kita sehari membaca Al-Qur’an ? Lebih sering mana
membuka laptop, handphone, atau bahkan
facebook ? Pernahkah merasa menyesal ketika sehari saja tidak membaca Al-Qur’an
?. Manusia akhir zaman mudah sekali terlena dengan kenikmatan dulia seperti
adanya berbagai macam teknologi canggih seperti handphone, laptop, dan internet
(seperti yang dijelaskan di www.hidayatullah.com, 13/12/2012). Alloh SWT berfirman:
“ bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu Al Kitab
(Al-Qur’an) .” (QS. Al-Ankaabut: 45)
(Al-Qur’an) .” (QS. Al-Ankaabut: 45)
Ayat tersebut
memerintah kita sebagai umat muslim untuk membaca Al-Qur’an dimana Al-Qur’an
sebagai petunjuk kehidupan manusia. Seperti pada firman Alloh SWT:
“ kitab Al-Quran ini tiada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa “ (QS. Al-Baqoroh:
2)
Pendidikan islam
yang terjadi saat ini tidak menjurus peserta didik untuk sesering mungkin membaca
Al-Qur’an, yang terjadi hanyalah guru yang tau segalanya sedangkan peserta
dididk tidak tau apa-apa. Kebiasaan itu perlu dirubah, misalkan dengan setiap
sebelum memulai pelajaran membaca Al-Qur’an terlebih dahulu kemudian
mengkajinya—dalam hal ini, peserta didik yang berperan dan guru hanya
mengarahkan— dan menarik kesimpulan kaitannya dalam kehidupan manusia. Selain
itu, diadakan kegiatan wajib untuk penilaian yang dimana peserta harus
menyetorkan hafalan bacaan Al-Qur’annya dalam tahap dan tempo waktu tertentu, setelah
hafalan tercapai tinggal pemahaman dan pengkajiannya. Dodge, dalam ( Abdullah:2005)
mengungkapkan:
Tujuan pendidikan yang sesungguhnya
adalah menjelaskan wahyu-wahyu Alloh (nashnash Al-Qur’an). Maka langkah pertama
yang mesti di tempuh adalah memahami bahasa arab, sebab Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab. Tidak seorangpun dapat memahami kandungan Al-qur’an dengan
baik bila tanpa memahami bahasa arab dengan baik. Apakah sebagai pengacara (advocate),imam masjid atau guru,
semestinya akrab dengan bahasa arab.
Berdasarkan pendapat
diatas memahami bahasa arab menjadi awal untuk dapat memahami Al-Qur’an. Oleh
karena itu, porsi pembelajaran bahasa arab ditambah dalam setiap pertemuan. Dengan
bagaimana?Komunikasi dalam kelas sedikit menggunakan bahasa arab, pelatihan
guru untuk bisa berbahasa arab, lomba karya cipta dengan bahas arab.
Berawal dari
membaca, menghafal, kemudian mentadaburi, memahami dan diaplikasikan dalam
pembelajaran. Jadi semua aspek pembelajaran berdasarkan pada teori Al-qur’an.
Penerapan Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam
Pesantren
Partisispasi
masyarakat dalam pendidikan mutlak diperlukan, karena pendidikan berdasarkan
kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan
dari, oleh, dan untuk masyarakat (UU No.20 th 2003: pasal 1). Pendidikan dilaksanakan untuk memenuhi
tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu pula, dan masyarakat juga membutuhkan
pendidikan untuk bisa tercapainya kebutuhan-kebutuhan dan tuntutannya. M. Quraish
Shihab menyatakan (dalam M. Quraish Shihab, 1992:
173):
Disepakati
oleh seluruh ahli pendidi-kan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu
masyara-kat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu
negara atau masyarakat. Ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia
adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran
pemakai-nya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat ataunegara tersebut.
Jadi, antara
penyelenggaraan pendidikan dan masyarakat seharusnya terjadi hubungan yang
saling timbal balik. Lalu bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah seharusnya
hanya sebagai faktor penunjang saja atau faktor pendukung dalam penyelenggaraan
pendidikan, bukan semuanya terkendalikan oleh pemerintah. Pemerintah hanya sebagai
penyandang dana, fasilitator, pendamping dalam penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat.
Banyak yang menilai pendidikan
berbasis massyarakat hanya bisa dilakukan oleh pendidikan nonformal misalkan
lembaga-lembaga kursus atau swadaya masyarakt. Menurut Nielsen, pendidikan
berbasis masyarakat menunjuk pada beberapa pengertian yaitu: (1) Peran serta
masyarakat dalam pendidikan; (2) Pengambilan keputusan berbasis sekolah; (3) Pendidikan
yang diberikan oleh sekolah swasgta atau yayasan; (4) Pendidikan dan pelatihan
yang diberikan oleh pusat milik swasta; (5) Pendidikan luar sekolah yang
disediakan oleh pemerintah; (6) Pusat kegiatan belajar maasyarakat; (7) Pendidikan
luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput (grassroot organization), seperti LSM dan pesantren. Walaupun demikian,
dalam Undang-undang No.20 tentang Sisdiknas pasal 13 ayat 1 memaparkan bahwa “
jalur pendidikan terdiri atas jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang dapat saling melengkapi dan memperkaya” ini berarti konsep pendidikan
berbasis masyarakat tidak hanya dalam pendidikan nonformal, tetapi juga bisa
dalam jalur pendidikan formal.
Pendidikan berbasis masyarakat disini
berarti bahwa segala keputusan- keputusan ditentukan oleh masyarakat seperti
kurikulum, membuat kebijakan sehingga tidak terikat dengan aturan pemerintah.
Pemerintah hanya berperan sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan. Dengan
pendidikan berbasis masyarakat, masalah-maslah terkait pelaksanaan pembelajaraan
masyarakat dimana pendidikan dilaksanakan yang akan menganalisis dn menentukan
penyelesaiannya. Mengapa? Karena kondisi, budaya, norma antara daeerah satu
dengan yang lain itu berbeda, jika kondisis masyarakatnya berbeda tentu masalah
yang dihadapi juga berbeda. Dengan itu, tujuan apa yang diinginkan masyarakt
akan terselenggaranya pendidikan, tepat sasaran. Disini masyaraktlah yang
berperan aktif, bukan pemerintah yang hanya mengutamakan status quo.
Model pendidikan berbasis masyarakat
dapat diambil dari konsep pendidikan pesantren, seperti yang dikemukakan
Nielsen diatas. Karena manajemen atau sistem pendidikan yang digunakan dalam
pesantren tidak terikat dengan pemerintah. Mulai dari perencanaan hingga
evaluasi, pesantren menentukan dan mengaturnya sendiri.
Tri winarti dalam
makalahnya (lihat triwinarti9.blogspot.com,
Maret 2013) memaparkan bagaimana manajemen pendidikan dalam pesantren. Pertama mengenai perencanaan,
dalam perencanaan Kyai merupakan elemen paling esensial dalam sebuah pesantren. Pertumbuhan
suatu pesantren seringkali bergantung pada pribadi dari Kyai. Peran Kyai yang
begitu dominan menangani suatu pondok dapat dipahami karena beberapa hal yakni: (1) Pesantren bias diandaikan sebuah kerajaan kecil dimana Kyai merupakan
sumber mutlak dari kekuasaan dan kewewenangan dalam lingkup lingkungan
pesantren; (2) Seorang Kyai dengan pembantunya merupakan hiererki kekuasaan satu-satunya
yang secara eksplisit diakui lingkungan pesantren; (3) Kebanyakan pesantren merupakan
gmbaran dari menifestasi Kyainya.
Kedua tentang pengorganisasian, pengorganisasian
dalam suatu pesantren diatur dan dibagikan tugas-tugas pada seluruh anggota
serta pengelola pesantren agar dilaksanakan supaya mencapai tujuan yang diharapkan
bersama. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan sehingga
pengaturan tugas seperti tugas mengajar, mengatur ketertiban dan keamanan
dilingkungan pesantren serta mengontrol kegiatan santri. Dalam pembagian tugas
ini, biasanya Kyai akan mempertimbangkan beberapa hal yaitu: (1) senioritas
santri, (2) penguasaan bidang ilmu tertentu, (3) pengabdian
dan keiklasan. Dalam hal pengorganisasian peran ustadz dan santri yang bertindak sebagai
pembantu Kyai biasanya dilakukan berupa saran dan masukan. Kepemimpinan Kyai
yang kharismatik sering terdengar samapi luar pesantren, sehingga para tokoh
dan warga masyarakat menerima pesan keagamaan atau cultural Kyai. Kyai
merupakan tonggak awal adanya dukungan dari para masyarakat luar. Luasnya
pengorganisasian yang dilakukan pesantren sampai melibatkan masyarakat dapat
mempermudah dalam pencarian sumber dana.
Ketiga tentang pengawasan, pengawasan
ataupun pengendalian pondok pesantren dalam proses belajar santri dilaksanakan
bias dengan melibatkan para pembantunya. Perhatian dan rasa kasih sayang Kyai
merupakan sikap dari wujud pertanggung jawaban yang diamanfaatkan dari
para wali santri. Kebanyakan para santri mengidolakan sosok Kyai, Kyai adalah
orangtuanya sendiri sehingga proses pengawasan serta pengendalian dapat
berjalan secara efektif.
Keempat tentang penganggaran, setiap
organisasi membutuhkan dana untuk mebiayai kegiatan yang akan dilakukannya.
Begitu pula pesantren, pesantren merancang anggaran yang dibebankan kepada para
santrinya. Meskipun Kyai merupakan tokoh sentral dalam manajemen pesantren, peran Kyai yang
sudah melekat dalam masyarakat dapat meletakkan fondasi masyarakat dalam pengembangan pesantren, termasuk
untuk mendanai pesantren dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Sehingga kemandirian
atau otonomi dalam pengelolaan dana pembiayaan pendidikan dalam pesantren.
Kelima mengenai evaluasi, setiap
kegiatan yang dilakukan oleh Kyai dalam mendidik para santrinya diperlukan
adanya evaluasi. Evaluasi dilakukan setahun sekali dengan agenda pertanggung
jawaban pada Kyai. Dalam hal ini diadakan dua kepengurusan yaitu pengurus
pondok dan pengurus madrasah. Pengurus podok bekerja dalam menangani urusan asrama seperti
kebersihan, ketertiban, pemeliharaan dan lain-lain. Sedangkan pengurus madrasah mengurusi
bagaimana pendidikan dalam pesantren berjalan dengan baik dan lancar. Dalam
evaluasi dapat diketahui tentang kesalahan atau kekurangan serta kemacetan yang
dihadapi sehingga bias diperbaiki untuk kedepannya.
Dari itu terlihat jelas bagaimana seharusnya
pendidikan berbasis masyarakat itu, tidak seperti sekarang walaupun pemerintah
meemberikan wewenang atas partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan (lihat
UU No.20 th 2003 tentang Sisdiknas pasal 54 dan 55) tetapi itu tidak
benar-benar diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Masih ada campur tangan
pemerintah yang mengikat dan semata hanya untuk melanggengkan kekuasaan saja.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, pendidikan berbasis Al-Qur’an
dan bebasis masyarakat diharapkan akan tidak adanya lagi krisis moral yang
melanda bangsa saat ini. Dan juga diharapkan akan tercapainya tujuan pendidikan
yang sesungguhnya, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga akan tercipta
manusia-manusia yang bermoral religuis dan siap menghadapi tantangan kehidupan
masyarakat yang menuntutnya, untuk pembangunan masyarakat yang lebih baik.
Untuk itu, perlunya memperbaiki sistem pendidikan yang ada saat ini, karena
melalui pendidikalah salah satu penentu utama bagaimana suatu bangsa itu. Agama
yang menjadi utama serta hak masyarakat dalam mengatur pendidikan harus di
perbaiki. Komponen seperti visi, misi, tujuan, dasar, kurikulum, metode, sarana
semua perlu mempertimbangkan dengan Al-Qur’an serta harus adanya pastisipasi
masyarakat secara utuh—sebagia pemilik pendidikan—.
Keseriusan
dan kesadaran penuh pemerintah sangat diperlukan untuk terwujudnya pendidikan
berbasis Al-qur’an dan masyarakat. Karena tidak mudah mengubah pendidikan saat
ini yang dianggap lumrah dan biasa, bila pendidikan itu milik pemerintah
dan dikendalikan pemerintah. Selain keseriusan dari pemerintah, masyarakatpun
harus mengubah cara pikirnya yang mempasrahkan pendidikan ditangan pemerintah,
karena hakikatnya pendidikan itu dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Daftar
pustaka:
Al-Qur’an.
Abdullah, Abdurrahman Saleh. (2005). Teori-teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Qur’an.Terjemahan H.M Arifin,Zainudin. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Al-Qur’an.Terjemahan H.M Arifin,Zainudin. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Rahman, Afzalur. (2000). Quranic Science. Terjemahan H.M Arifin. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Suharto, Toto.,
Isnaini,Muhammad. Community
based-education dalam perspektif pendidikan kritis. Di unduh di kemeneg.org
tanggal 11 Oktober 2013.
Shihab, M. Quraish. (1992). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Referensi
Media Massa:
IPQI MESIR. (2012). “Ketika Al-Qur’an Menjadi
Saksi” diunduh dari (http://ipqikairo-mesir.blogspot.com/2012/09/ketika-al-quran-menjadi-saksi.html), tanggal 18 Oktober 2013.
Kompasiana.com.
(2013). “Menggunggat Pemerintah Atas Pelanggaran Konstitusi Soal Pendidikan”
diunduh dari (http://politik.kompasiana.com/2013/10/21/menggugat-pemerintah-atas-pelanggaran-konstitusi-soal-pendidikan-602409.html), tanggal 18
Oktober 2013.
Kompasiana.com.
(2013). “Beberapa Catatan Kelam Remaja Kita” diunduh dari (http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/17/beberapa-catatan-kelam-remaja-kita--602468.html), tanggal 18
Oktober 2013.
Kompasiana.com.
(2012). “Korupsi Menodai Kesucian Al-Qur’an” diunduh dari (http://regional.kompasiana.com/2012/06/30/korupsi-menodai-kesucian-al-quran-473686.html), tanggal 18
Oktober 2013.
Mukhtar, Alimin. (2012). “Berapa Kali Buka
Al-Qur’an Dibanding Buka Gadget?” diunduh dari (http://www.hidayatullah.com/read/26336/13/12/2012/berapa-kali-baca-al-quran-dibanding-buka-gadget%3F.html), tanggal 18 Oktober 2013.
Winarti,
Tri. (2012). “Pesantren Sebagai Upaya Model Pendidikan Berbasis Masyarakat”
diunduh dari (http://triwinarti9.blogspot.com/2012/03/pesantren-sebagai-upaya-model.html), tanggal 29
Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar