Jumat, 27 Desember 2013

Penyakit Putus Sekolah

Oleh Alfi Setiani
Jurusan kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Abstrak
 Pendidikan pada dasarnya merupakan landasan atau fondasi kemajuan dari sebuah negara. Pendidikan merupakan hak dari seluruh anak di Indonesia, namun tidak semua anak bisa mendapatkan haknya tersebut. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi masalah tersebut misalnya saja untuk faktor internal berasal dari dalam diri anak sendiri yang tidak menginginkanya suatu pendidikan. Kemudian faktor eksternal yaitu faktor dari ligkunganya, seperti keluarga yang kurang perhatian atau ketidakharmonisan dalam keluarga,serta kurangnya fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung untuk  pembelajaran. Putus sekolah juga membawa beberapa akibat yang merugikan, seperti kenakalan remaja, pengangguran, minimnya wawasan dan masalah-masalah sosial yang lainya. Putus sekolah merupakan masalah pendidikan di negeri ini yang belum bisa dituntaskan sampai sekarang, perlu suatu kebijakan atau solusi yang tepat serta peran dari pemerintah dan setiap elemen masyarakat untuk memerangi permasalahan yang masih mengambang ini, optimalisasi kejar paket dan sekolah terbuka yang sudah dilaksanakan pemerintah diharapkan dapat meminimalkan angka putus sekolah yang masi tinggi, kemudian perlu lagi dioptimalkan pemberian fasilitas dan pra sarana yang mendukung untuk proses belajar mengajar seperti halnya pembangunan gedung sekolah serta akses menuju sekolah yang layak, selain itu mengubah mindset, misalnya saja dengan sosialisasi untuk masyarakat yang masih menganggap sekolah kurang penting sangat diperlukan, biasanya masyarakat seperti ini ditemui pada daerah pedesaan dan daerah-daerah yang masih terpencil.
Kata kunci : Pendidikan; Putus sekolah; Faktor-Faktor; Akibat; Solusi

1.       Pendahuluan
Sering kita jumpai dijalanan banyak anak-anak yang masih dibawah umur sudah mencari nafkah, misalnya saja menjadi pengamen, pengemis, pemulung, gelandangan dan masih banyak lagi. Tentu saja hal itu membuat prihatin bagi setiap orang yang melihatnya, terlebih pada usia-usia seperti mereka seharusnya sedang asyik menikmati masa anak-anaknya, bermain bersama teman sebayanya dan merasakan bangku sekolah. Di tengah masyarakat lain sedang berlomba untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, namun di sisi lain ada masyarakat yang tidak dapat bersekolah, bahkan mencari uang untuk sesuap nasi saja sulit. Sugguh kenyataan yang ironis ditengah usaha pemerintah untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat primer yang dibutuhkan oleh semua orang, pendidikan adalah wadah untuk membentuk generasi Indonesia yang dibutuhkan di masa mendatang, melalui pendidikan juga karakter suatu bangsa itu bisa terbentuk. (Syafaruddin dan Anzizhan, 2004:1) mengatakan :
Pendidikan sebagai salah satu kunci penting dalam proses perkembangan untuk memajukan suatu bangsa dapat dikatakan demikian manakala tingkat pendidikan suatu negara dikatakan tinggi, setidaknya peradaban dan pola pikir masyarakat di Negara tersebut haruslah tinggi pula.
Keberhasilan suatu Negara banyak tergantung pada kemajuan tingkat pendidikanya, di Indonesia sendiri banyak dijumpai berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan, misalnya saja adalah putus sekolah. Permasalahan putus sekolah ini masih belum bisa dituntaskan secara maksimal, pendidikan merupakan hak dari anak dan adanya putus sekolah merupakan jurang yang menghambat anak untuk mendapatkan haknya. Program yang dijalankan pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun pun belum cukup membantu untuk menekan tingginya angka anak putus sekolah. Dalam UUD 1945 pasal 28 C dinyatakan bahwa :
setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,berhak mendapat pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Putus sekolah merupakan masalah yang cukup serius di negeri ini, ada dua faktor yang melatarbelakangi kasus ini yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Untuk faktor internal berasal dari dalam diri anak itu sendiri, misalnya saja keenggananya dalam belajar atau menerima pelajaran, bisa juga faktor-faktor psikologis dari diri anak tersebut. Faktor eksternal disini berkaitan dari luar diri anak, misanya saja berkaitan dengan lingkunganya, keluarganya, ekonomi dan fasilitas serta sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar (lihat eonyhuh.blogspot.com, 2013).
Menurut saya faktor yang paling dominan adalah karena kemiskinan, karena faktor yang satu ini sebagian masyarakat memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya dan terpaksa memilih mengajak anaknya bekerja untuk membantu kedua orang tuanya. Kemiskinan yang dikarenakan rendahnya pendidikan orang tua dan rendahnya pengetahuan akan pentingnya pendidikan menjadikan sebagian masyarakat di negeri ini menjadikan pendidikan di sekolah formal sebagai kebutuhan sekunder. Kemudian akibat yang ditimbulkan dari permasalahan putus sekolah ini juga beragam, seperti kenakalan remaja, pengangguran dan lain-lain.            Iskandar Irwan Hokum Sekretaris Jenderal Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) mengungkapakan “Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index”. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Bahkan pada tahun 2010 usia sekolah yakni 7-15 tahun yang terancam putus sekolah sebanyak 1,3 juta (lihat citizenjurnalism.com, 2013). Sedangkan menurut data BPS tahun 2013, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7–12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia 13–15 tahun sebanyak 2,21 persen, atau 209.976 anak; dan usia 16–18 tahun semakin tinggi hingga 3,14 persen atau 223.676 anak. Provinsi terbanyak siswa putus sekolah usia 7–12 tahun dan 13–15 tahun adalah Jawa Barat hingga masing-masing 32.423 anak dan 47.198 anak. Pada usia 16–18 tahun, distribusi putus sekolah terbanyak di Provinsi Jawa Timur mencapai 35.546 anak (lihat di SHNEWS.com, 2013).
Kemudian Angka partisipasi Sekolah (APS), ratio penduduk yang bersekolah berdasarkan kelompok usia sekolah masih belum sesuai yang diharapkan. Susenas 2010 menunjukan bahwa APS untuk penduduk usia 7–12 tahun sudah mencapai 96,4% , namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81%, Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19% anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah tidak melanjutkan pendidikan (75,7%), karena kebutuhan siswa jauh lebih besar dibandingkan dengan iuran sekolah (lihat di ekonugroho45.blogspot.com, 2012) .
 Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Senin 11 Februari 2013 di Banjarmasin menjelaskan, pada tahun 2007, dari 100 persen anak-anak yang masuk SD, yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 persen, sedangkan 20 persen lainnya putus sekolah. Dari 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya. Kemudian dari jumlah tersebut, yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48 persen. Sementara itu, dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA tinggal 21 persen dan berhasil lulus hanya sekitar 10 persen. Sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,4 persen (lihat di jurnas.com, 2013).
Sungguh prihatin melihat data-data tersebut, ditengah era ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang, masih ada masyarakat kita yang belum bisa mengenyam pendidikan. Berbagai upaya pemerintah dilakukan untuk penuntasan permasalahan putus sekolah ini, namun masih ada oknum-oknum yang nakal yang pandai memanfaatkan situasi yaitu para koruptor. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) ada 296 kasus korupsi pada dunia pendidikan dengan 479 orang tersangka yang terjadi mulai dari 2003-2013. Kerugian keuangan negara diperkirakan mencapai Rp 619 miliar lantaran korupsi. Kasus korupsi Diantaranya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan DAK (Dana Alokasi Khusus)  (lihat di republika.co.id, 2013) .
 Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam pemberantasan kasus putus sekolah ini. Diharapkan pendidikan di Indonesia untuk kedepanya dapat lebih maju, serta dapat menghasilkan bibit-bibit unggul generasi muda di masa depan. Selain itu dengan kemajuan pendidikan diharapkan Indonesia bisa mendongkrak eksistensinya di kancah internasional sebagai Negara yang memiliki sistem pendidikan yang maju. Serta diharapkan pemerintah dapat memperjuangkan hak anak yaitu memperoleh suatu pendidikan, akan sungguh indah melihat senyum anak Indonesia yang kembali merekah ketika mereka mendapatkan haknya.

2.      Fenomena Putus Sekolah

Fenomena putus sekolah sangat mudah dijumpai dimana saja, terlebih dipedesaan yang masyarakatnya masih tradisional. Sering kita jumpai anak-anak gelandangan yang tidak mengenal apa itu pendidikan, ada juga kita jumpai anak-anak yang sekolah di bawah jembatan karena terkendala fasilitas akhirnya tidak bisa berjalan. Indonesia memang sudah dikatakan merdeka, namun dimata mereka belum bisa merdeka mendapatkan hak apa yang seharusnya mereka miliki yaitu pendidikan. Drop out karena kurang biaya kemudian membantu orang tua diladang, dilaut, dan lain-lain itu lah fenomena yang terjadi, ditengah banyaknya berita mengenai korupsi di negeri ini. Setiap orang tentunya memiliki kehidupan yang didambakanya, termasuk menikmati pendidikan merupakan dambaan setiap orang yang belum beruntung untuk mendapatkanya. Pendidikan menurut UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.  
Dalam pengertian diatas, pendidikan dikatakan sebagai wadah untuk menggali potensi dari diri anak. Kemudian masih dalam UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan :
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Tentu saja dalam hal ini bermakna bahwa pendidikan merupakan hak setiap orang. Putus sekolah merupakan keadaan dimana anak tidak bisa melanjutkan pendidikan atau tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak. ada berbagai faktor yang melatarbelakangi kasus ini, seperti yang sudah disebutkan diatas yaitu ada faktor internal dan faktor eksternal.

3.      Faktor Penyebab Putus Sekolah

Faktor internal merupakan faktor yang datangnya berasal dari diri anak itu sendiri, seperti anak yang malas berangkat sekolah karena tidak memiliki minat dalam pendidikan. Hal ini karena faktor lingkungan yang mempengaruhi anak tersebut, misalnya saja karena malas belajar karena kebanyakan main game dan menonton tv, desakan pergaulan, pola pikir anak yang menganggap pendidikan tidak penting kemudian rasa minder karena anak tidak bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya dan kesenjangan ekonomi kemudian keadaan lingkungan sperti keluarganya yang kurang memotivasi anak untuk sekolah yang menjadi penyebab anak enggan ke sekolah (lihat eonyhuh.blogspot.com, 2013).
Faktor eksternal yang pertama dan merupakan faktor paling besar pengaruhnya adalah faktor ekonomi. Biaya pendidikan yang cukup mahal dirasakan tidak mampu untuk mereka menyekolahkan anak-anaknya, berbagai bantuan beasiswa seperti BOS dan BSM pun belum cukup membantu. Hasilnya banyak orang tua yang menyuruh anaknya untuk mencari nafkah membantu mereka, bahkan tidak sedikit anak yang menjadi tulang punggung keluarga. Dan anak yang sudah menikmati penghasilanya biasanya sudah tidak memperdulikan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun yang digagas pemerintah sungguh tidak ada artinya bagi sebagian kalangan masyarakat. Biaya sekolah yang belum bisa gratis, ditambah lagi harus membayar penunjang-penunjang sekolah yang lain, misalnya buku pelajaran. Buku pelajaran di Indonesia bisa dikatakan mahal, karena harus melalui proses distribusi yang panjang serta pajak yang tinggi. Selain buku pelajaran masih ada seragam, alat tulis dan tentunya uang saku dan transport yang harus ditanggung untuk menyekolahkan anaknya. Selain itu dalam pendidikan juga dikenal budaya kapitalis, siapa yang menyumbang dana terbesar maka kesempatan masuk terbuka lebar, hal ini biasanya terjadi di perguruan tinggi sehingga mayarakat yang perekonomianya lemah tidak bisa bersaing (lihat di edukasi.kompas.com, 2009).
Yang menjadi faktor eksternal selanjutnya (dalam uraian Susilo, 2007) adalah sedikitnya perhatian orang tua. Anak merupakan titipan dari Yang Maha Kuasa, dan orang tua wajib untuk membimbingnya. Di zaman ini banyak orang tua yang lebih sibuk dalam pekerjaanya daripada mengurusi anak. Alasan ekonomi yang melandasi kesibukan orang tua yang menyebabkan kurangnya perhatian kepada anak, tentu saja akan berpengaruh pada proses kegiatan belajar dari anak. Anak yang kurang perhatian dari orang tua akan cenderung nakal di sekolah, sering membolos, sering menyepelekan tugas dan pekerjaan rumah yang dikasih guru, masuk pergaulan bebas, terlibat tawuran. Kemudian broken home juga menjadi salah satu factor yang mempengaruhi anak menjadi nakal di sekolah. Dalam keadaan tersebut anak sangat riskan mengalami putus sekolah.
 Kemudian menurut saya faktor ketiga adalah pemaksaan hak oleh orang tua. Pendidikan merupakan kewajiban dari orang tua, namun kadang ada orang tua yang mengatur pendidikan yang dipilih dari anaknya dan sering bersifat memaksa. Pendidikan yang dipilih orang tua selalu dianggap terbaik untuk mereka, walaupun keinginan, minat dan bakat, dan kemampuan dari si anak tidak sesuai. Anak yang terpaksa menuruti pendidikan dari orang tuanya yang tidak sesuai dengan keinginanya akan berpengaruh pada psikologisnya. Dalam belajar anak tersebut akan cenderung bertele-tele dan asal-asalan dalam menimba ilmu di sekolah, kemudian mengakibatkan nilai dari anak tersebut jelek dan berujung pada putus sekolah.
Faktor yang keempat adalah kurangya prasarana dan fasilitas penunjang pendidikan. Sering kita jumpai dalam media massa pemberitaan tentang anak-anak yang bersekolah di bawah jembatan, tidak adanya transportasi untuk pergi ke sekolah sampai ada yang rela berjalan jauh melewati hutan  hanya demi mengenyam sebuah pendidikan. Dalam pedesaan atau daerah terpencil belum semua anak bisa menikmati pendidikan di sekolah, para pendidik, transportasi dan gedung sekolah yang memadai dan yang dibutukan pun belum bisa dipenuhi oleh pemerintah untuk mereka. Karena lingkungan atau tempatnya yang sulit dijangkau sehingga masih banyak dari mereka yang belum menyentuh pendidikan formal. Dalam pembelajaran yang efektif diperlukan fasilitas-fasilitas penunjang yang memadai. Fasilitas-fasilitas tersebut berupa alat tulis, buku pelajaran, serta perangkat-perangkat pendukung pembelajaran lainya yang memadai. Kurangnya fasilitas penunjang tersebut akan mengakibatkan minat anak untuk belajar turum, sehingga berpotensi untuk putus sekolah (lihat di imadiklus.com, 2012)
Faktor selanjutnya menurut saya adalah pola pikir masyarakat. Masyarakat yang tradisional atau masyarakat yang hidup dipedesaan mempunyai pola pikir yang mengaggap pendidikan merupakan hal yang tidak penting, mereka berpikir buat apa sekolah tinggi tapi kalau hanya menjadi pengangguran atau ujung-ujungnya hanya berladang membantu kedua orang tuanya atau menangkap ikan dilaut, bisa juga dikatakan lha wong sama-sama hasilnya bekerja mengapa harus sekolah. Mereka berpikir bahwa pendidikan di sekolah hanya membuang-buang waktu, uang dan termasuk kegiatan yang tidak berguna serta tanpa pendidikan pun pasti bisa hidup layak. Ada juga sebagian masyarakat yang memandang perempuan tidak berhak sekolah, karena kaum perempuan hanya burujung menjadi ibu rumah tangga. Bahkan ada sebagian masyarakat pedesaan yang memilih menikahkan anaknya di usia muda, sehingga kedudukan pendidikan dalam kehidupanya hanya sebagai pelengkap. Latar belakang pendidikan orang tua pun mempengaruhi pola pikirnya, misal orang tua yang hanya lulusan Sekolah Dasar pasti cara berpikirnya untuk menyekolahkan anaknya berbeda dengan orang tua yang berpendidikan tinggi. Mereka menyekolahkan anaknya hanya terkesan asal-asalan yang penting si anak bisa sekolah dan tanpa memberikan motivasi, hal ini juga mempengaruhi minat anak untuk sekolah sehingga berakibat putus sekolah.
Faktor yang terakhir adalah kelainan fisik maupun mental (lihat di imadiklus.com,2012). Angka putus sekolah dikarenakan faktor ini tidak sebanyak faktor-faktor lain, karena sudah adanya sekolah yang dikhususkan untuk anak kelainan fisik maupun mental yaitu Sekolah Luar Biasa. Namun jika menengok ke lapangan masih ada anak yang putus sekolah atau tidak bisa bersekolah dikarenakan faktor ini.

4.      Akibat Putus Sekolah

Putus sekolah merupakan masalah yang kompleks dalam dunia pendidikan, penyakit ini harus ditangani serius dan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Putus sekolah sudah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, karena berkaitan dengan memperjuangkan hak pendidikan bagi anak yang belum bisa meraih haknya. Banyak akibat yang disebabkan oleh masalah ini dalam (imadiklus.com, 2012 ) disebutkan antara lain :
            Akibat yang pertama adalah kenakalan remaja. Pada era globalisasi ini kenakalan remaja sudah menjadi hal yang mainstream di masyarakat, terlebih masyarakat yang tinggal di kota karena pergaulan bebas. Kenakalan remaja misalnya pemakaian narkotika, minum-minuman keras, terlibat tawuran, kebut-kebutan dijalan, perkelahian, serta hal-hal yang menggangu ketentraman masyarakat seperti perampokan, penodongan dan pemerkosaan, terlihat sekali penyimpangan-penyimpangan seperti ini menunjukan menurunya moral bangsa. Hal ini dikarenakan kurangnya pendidikan serta perhatian orang tua, bisa juga karena kurangnya penanaman nilai dan norma pada remaja, sehingga banyak kasus-kasus penyimpangan pada remaja. Remaja adalah generasi penerus dari bangsa ini, dan melalui pendidikan lah diharapakan menghasilkan anak-anak muda yang tangguh serta dapat memikirkan serta peduli akan nasib bangsanya. Pendidikan sangat berperan untuk menghasilkan generasi emas di masa yang akan datang dan sebagai wadah untuk mengarahkan manusia menjadi manusia yang baik serta berkelakuan baik sesuai norma dimasyarakat , jika fenomena penyimpangan ini dibiarkan terus-menerus, Indonesia tidak akan bisa menjadi bangsa yang maju.
Akibat putus sekolah selanjutnya adalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah yang serius bagi suatu negara, Negara dikatakan maju apabila masyarakatnya bisa hidup sejahtera termasuk minimnya angka pengangguran. Di Indonesia sendiri angka pengangguran masih sangat tinggi salah satu penyebabnya adalah pendidikan yang belum bisa dijangkau oleh masyarakat. Sedangkan dalam dunia kerja banyak lowongan bagi mereka yang mempunyai ijazah, itupun kebanyakan dibuka untuk lulusan minimal jenjang SMA/SMK, tentu hal ini menjadi masalah bagi mereka yang putus sekolah. Pengangguran yang disebabkan putus sekolah kebanyakan adalah pengangguran yang tidak terlatih, hal ini akan lebih mempersulit mereka untuk mencari pekerjaan karena kurangnya kompetensi yang dimiliki alhasil mengakibatkan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan yang berkepanjangan yang mempersulit untuk mobilisasi serta tingkat kriminalitas semakin tinggi selain itu mereka lebih memilih menjadi TKI karena sulitnya mencari pekerjaaan di negeri sendiri, dan ironisnya hanya karena diiming-imingi gaji yang besar mereka rela hanya menjadi pembantu rumah tangga. Pendidikan sebagai penyalur anak untuk memasuki dunia kerja, di dalam pendidikan anak diajarkan untuk menjadi calon pekerja yang kompeten dalam bidangnya. Dunia kerjapun pastinya lebih memprioritaskan bagi mereka yang berpendidikan, oleh karena itu putus sekolah berakibat pengangguran. Selain itu juga berakibat ketidak jelasan masa depan anak, mau kemana dan mau jadi apa anak tersebut jawabanya masih abu-abu, kecuali jika ia memilki skill atau bakat yang dapat ia asah.
Kemudian akibat selanjutnya adalah minimnya wawasan atau ilmu yang dimiliki anak putus sekolah. Membicarakan tentang wawasan atau ilmu di zaman ini semakin banyak orang yang berlomba-lomba untuk mengejar untuk mencari ilmu setinggi-tingginya, keadaan yang sangat bertolak belakang bagi anak-anak yang putus sekolah. Pengetahuan yang mereka dapatkan sungguh minim, sampai-sampai ada yang masih belum bisa berhitung, membaca dan menulis diantara mereka. Putus sekolah juga akan mempengaruhi pola pikir anak tersebut di masa mendatang, banyak dari mereka juga akan berpikir bahwa pendidikan tidak penting kemudian menyuruh anaknya nanti untuk bekerja. Seharusnya lewat pendidikan anak-anak bisa mengasah dan mengembangkan potensi yang ia miliki, namun lagi-lagi keadaan lah yang menyebabkan mereka tidak bisa mendapatkan itu.
Putus sekolah juga akan mengakibatkan semakin banyaknya gelandangan, pengemis, pengamen yang dilakukan anak-anak dijalanan. Alhasil beban yang dipikul pemerintah semakin berat, hal ini semakin menunjukan peran pemerintah yang belum optimal dalam membantu anak-anak utuk mendapatkan haknya. Membicarakan mengenai hak, pendidikan merupakan hak yang harus diperoleh oleh setiap orang, negara wajib untuk melindungi hak anak dan memfasilitasi anak untuk memperoleh hak yang sama seperti yang diperoleh teman-teman sebayanya, ( Abdussalam, 2007: 56) menyatakan :
Hak asasi manusia adalah hak dari setiap manusia yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya. Hukum positif adalah pranata sosial yang dibutuhkan oleh semua manusia untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia.
Kemudia hak-hak anak juga lebih dijelaskan dalam Undang-Undang tentang perlindungan anak.
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi(4). Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai
identitas diri dan status kewarganegaraan(5). Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua(6). Setiap anak berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri(7 ayat 1).Setiap anak
berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial(8). Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya(9ayat 1). khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangka bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (9 ayat 2).
Pendidikan selain menjadi tanggungan pemerintah juga menjadi tanggungan keluarga serta masyarakat. Orang tua wajib untuk memperjuangkan hak anaknya, agar anak bisa mendapatkan haknya secara maksimal. Serta masyarakat juga harus turut aktif dalam mengusahakan hak anak, anak yang seyogyanya mendapatkan apa yang harus mereka peroleh namun masih banyak ditemui yang belum bisa mendapatkan itu. Anak juga kadang dijadikan sebagai alasan oknum-oknum tertentu untuk mengais rejeki, misalnya saja disuruh untuk menjadi pengemis atau pengamen karena mereka masih lemah dan banyak yang iba kepada mereka, ada juga yang memperkerjakan anak-anak dengan upah minimum.

5.      Solusi Putus Sekolah

Sebuah permasalahan memerlukan sebuah solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Ada beberapa solusi yang dicanangkan pemerintah untuk memberantas masalah putus sekolah.
            Solusi yang pertama adalah melalui kejar paket. Kejar paket merupakan pendidikan nonformal yang dapat membantu anak-anak putus sekolah, untuk kejar paket A diperuntukan bagi yang tidak tamat SD, kejar paket B untuk mereka yang tidak tamat SMP dan sederajat serta kejar paket C untuk mereka yang tidak lulus SMA sederajat. Kegiatan belajarnya pun tidak genap seminggu, dan pesertanya tidak dibatasi oleh usia. Ijazah yang diperoleh jug bisa untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, misalnya ijazah paket C bisa digunakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi (lihat imadiklus.com, 2012)
            Selanjutnya dengan memfasilitasi atau memberikan sarana prasarana yang memadai. Seperti yang telah kita ketahui banyak anak-anak yang belum bisa mengenyam pendidikan karena kurangya fasilitas dan sarana yang memadai. Memfasilitasi juga termasuk memberikan beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu, selama ini beasiswa yang diberikan masih banyak yang salah sasaran dan dirasa kurang. Pemerintah dihimbau untuk mengawasi jalanya beasiswa-beasiswa tersebut, penyimpanganpun banyak terjadi misalnya saja korupsi. Selain beasiswa pemerintah harus lebih aktif untuk pemerataan pendidikan dengan membangun dan memperbaiki gedung sekolah di daerah-daerah, taggap memberikan transportasi yang lebih memadai, serta memberikan fasilitas penunjang-penunjang kegiatan belajar mengajar ditambah lagi pengadaan seragam sekolah dan buku paket gratis. Untuk merealisasi tersebut harusnya anggaran pendidikan sedikit dinaikan, dan bagaimana mencegah korupsi pada anggaran pendidikan berkurang (lihat di arifatul-arifannas.blogspot.com, 2012).
            Solusi yang ketiga menurut saya adalah mengubah mindset masyarakat, dengan cara sosialisasi. Untuk mengubah pola pikir masyarakat dibutuhkan sosialisasi kepada mereka, pemerintah harus lebih aktif mengadakan sosialisasi ke masyarakat yang masih tradisional. Diharapkan dengan kegiatan ini mereka sadar akan pentingnya sebuah pendidikan, apalagi pada era yang semakin berkembang ini pendidikan dianggap sebagai kebutuhan primer. Selain itu sosialisasi juga harus menekankan pentingnya motivasi orang tua kepada anaknya untuk sekolah, sehingga anak akan lebih semangat untuk sekolah karean merasa ada yang mendukung penuh.
            Sekolah terbuka, (dalam Suyanto & Abbas, 2004)  juga menjadi solusi untuk mereka yang putu sekolah. sekolah terbuka merupakan pendidikan formal yang diperuntukan untuk merek yang kurang mampu, karena tidak memungut biaya sepersenpun dan siswanya tidak berseragam. Sekolah ini juga dilengkapi modul untuk mereka belajar, dalam pembelajaranya dengan belajar mandiri dan berkelompok. Lulusan dari sekolah ini juga menerima Surat Tanda Tamat Belajar dan mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama seperti sekolah regular. Karena dalam sekolah ini lebih banyak belajar mandiri daripada tatap muka pemerintah sangat diharapkan memikirkanya secara serius agar lulusan dari sekolah terbuka ini tidak mengecewakan, bisa menjadi manusia yang handal.

6.      Kesimpulan

Putus sekolah merupakan suatu permasalahan yang belum bisa dibasmi oleh pemerintah. Tingginya angka putus sekolah di Indonesia menandakan bahwa pendidikan kita masih jauh dikatakan berhasil. Kemiskinan yang menjadi alasan paling utama yang menyebabkan anak-anak masih banyak yang belum bisa mendapatkan haknya, banyak anak yang harus mencari nafkah untuk keluarganya tidak jarang mereka dijadikan tulang punggung keluarganya. Miris jika kita lihat diusia mereka sudah terbebani hal tersebut, disamping itu teman sebayanya bermain dengan ceria dan memperoleh pendidikan yang layak. Kemiskinan bukanlah satu-satunya hal yang menyebabkan putus sekolah, minat anak dalam pendidikan juga mempengaruhi yang dikarenakan kondisi lingkunganya selain itu juga ada pola pikir masyarakat yang masih tradisional, kurangnya perhatian orang tua kepada anaknya, kurangnya fasilias serta sarana dan prasarana, dan faktor kelainan mental maupun fisik. Akibat dari putus sekolah merupakan beban tambahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah, seperti kenakalan remaja, pengangguran, banyaknya anak-anak terlantar, minimnya wawasan masyarakat. Pendidikan adalah upaya untuk mencerdaskan bangsa, kemelut masalah pendidikan seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah seberapa upaya mereka menuntaskanya. Kejar paket, sekolah terbuka, beasiswa merupakan suatu cara yang digunakan pemerintah untuk masalah ini, selain itu menyediakan fasilitas dan sarana, sosialisasi juga harus digalakan oleh pemerintah. 


Daftar Pustaka
Abdussalam. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung
Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta.
Susilo, M. Joko. 2007.Pembodohan Siswa Tersistematis.Jogjakarta : PINUS
Suyanto & Abbas. 2004. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa.Jogjakarta : Adicita Karya Nusa

Syafaruddin & Anzizhan.2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan.Jakarta:Grasindo

Referensi Media massa

Arifannas, arifatul. (2012). “Analisis Penyebab Anak Putus Sekolah”. di unduh di

Citizen Jurnalism. (2013). “Tiap Menit, Empat Anak Indonesia Putus Sekolah”. Diunduh di http://www.citizenjurnalism.com/media-news/facebook-2/tiap-menit-empat-anak-indonesia-putus-sekolah/ tanggal 29 Oktober 2013

Jurnal nasional. (2013). “Anak Putus Sekolah Terbanyak Ada di Jabar”. Di unduh di http://www.jurnas.com/halaman/11/2013-02-11/234106.%20%5B22 tanggal 29 Oktober 2013
Kompas. (2009). “Banyak Anak Putus Sekolah karena Bekerja”. Di unduh di http://edukasi.kompas.com/read/2009/06/14/02574059/.Banyak.Anak.Putus.Sekolah.Karena.Bekerja tanggal 29 Oktober 2013
Lestari, Eni.w. (2013). “Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah”. Di unduh di http://eonyhuh.blogspot.com/2013/05/makalah-faktor-penyebab-anak-putus.htm  tanggal 29 September 2013
Nugroho, eko.( 2012). “Penyebab Anak-anak Putus Sekolah dan Cara Penanggulanganya”. Di unduh di http://ekonugroho45.blogspot.com/2012/11/penyebab-anak-anak-putus-sekolah-dan.html tanggal 29 September 2013
SHNEWS. (2013). “Bantuan Siswa Miskin Rp 8 Triliun”. Di unduh di http://www.shnews.co/detile-16825-bantuan-siswa-miskin-rp-8-triliun.html tanggal 29 Oktober 2013
Yuda, Dwi. C.K. (2012). “Penyebab Anak- anak Putus Sekolah dan Cara Penanggulanganya”. Diunduh di  http://www.imadiklus.com/2012/07/penyebab-anak-anak-putus-sekolah-dan-cara-penanggulanganya.html tanggal 29 Oktober 2013

 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar