Oleh:
Panji Untoro
Jurusan S1 Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang
e-mail : panjiuntoro@yahoo.com
Abstrak
Secara
garis besar jurnal ini membahas mengenai arah peradilan hukum terhadap anak terutama dalam masalah tindak pidana anak. Jurnal ini mengambil beberapa contoh
berdasarkan kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur
(belum dewasa) di indonesia yang telah dibawa ke meja hijau (pengadilan). Beberapa kasus di Indonesia menunjukan
bahwa di Indonesia masih perlunya mempertanyakan perihal keadilan hukum yang
ada di Indonesia. Jurnal ini memperoleh data dari berbagai sumber. Bukan hanya dari pemberitaan di media
cetak maupun digital mengenai kasus-kasus tindak pidana anak, namun juga dari
jurnal dan beberapa undang-undang hukum lain yang memberikan penjelasan mengenai keadilan pada anak khususnya dalam perkara tindak pidana
kriminal. Disajikan pula beberapa pendapat dari pengamat-pengamat hukum mengenai
keadilan hukum pada anak. Di Akhir jurnal ini memberikan beberapa kesimpulan dari
beberapa ulasan penjelasan, permasalahan, pendapat serta pemikiran-pemikiran
mengenai topik yang telah diangkat, yaitu “Arah Keadilan Peradilan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Kriminalitas Oleh Anak”.
Keyword : Hukum, Anak, Kriminal, Pidana.
1. Pendahuluan
Hak
anak merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang telah tercantum di
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam undang-undang dasar 1945 telah
dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan[1].
Oleh karena itu, Orang tua, keluarga, dan masyarakat wajib bertanggung jawab
untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut sesuai dengan kewajiban
mereka. Dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah
juga semestinya ikut bertanggungjawab dengan jalan menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya secara optimal dan terarah. Pertanggungjawaban orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Tindakan
ini bertujuan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang kelak diharapkan
sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang
tinggi, serta dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai-nilai Pancasila, serta
berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Upaya perlindungan terhadap anak perlu
dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai
sudah beranjak dewasa. Setiap
anak memerlukan pembinaan dan perlidungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosialnya agar seimbang.
Berbicara masalah hukum di
indonesia, sering kita melihat kasus-kasus tindak kriminalitas sring terjadi,
baik itu dari media cetak ataupun elektronik. Dari sekian sekian banyak
pemberitaan yang ada tak sedikit pemberitaan yang menyangkutpautkan anak
sebagai subjek ataupun pelaku tindak pidana kriminal. Jika dilihat secara
kenyataan, di Indonesia memang kerap kali terjadi tindak kriminalitas yang
dilakukan oleh anak di bawah umur. Banyak sekali kasus-kasus yang melibatkan
anak-anak. Hal tersebut menjadi salahs satu problem yang melanda para remaja di
Indonesia. Kasus-kasus yang melibatkan anak-anak remaja ini, seakan semakin
memperburuk citra para remaja di Indonesia bahkan di Dunia. Remaja yang tadinya
dianggap calon-calon pemimpin bangsa yang kuat, dan memiliki rasa nasionalisme
yang tinggi serta bakal menjadi keturunannya kelak, kini sering dianggap oleh
orang-orang sekitar sebagai “biang kenakalan” atau yang biasa kita sebut
sebagai pusat kenakalan. Terlebih kasus-kasus tersebut bukan lagi kasus yang
sepele. Bahkan kasus-kasus yang melibatkan anak-anak remaja ini sudah banyak
yang berkembang menjadi kasus-kasus besar yang diangkat dan dibawa kes meja
hijau (peradilan).
Salah satu contoh, masih kita ingat
sebuah kasus yang terjadi sekitar kurang lebih 1 tahun yang lalu yang
melibatkan seorang anak yang berinisial AAL. Kasus ini pastinya tidak asing
lagi di masyarakat indonesia. Kasus tersebut merupakan salah satu dari sekian
kasus yang menjadi kontroversi di
indonesia. Kita masih ingat bagaimana seorang anak yang berusia kurang lebih 14
tahun sempat ditahan di kantor polisi dan dibawa ke peradilan hanya karena
dituduh mencuri sepasang sandal ketika sehabis sholat di masjid. Peristiwa itu
lantas bisa kita jadikan cerminan dari betapa buruknya perlakuan hukum di
Indonesia, terutama pada anak-anak remaja.
Bukan hanya satu kasus tersebut yang
bisa kita jadikan cerminan dan bahan pertimbangan dalam menilai hukum di
indonesia. Tentunya masih banyak lagi kasus-kasus yang bisa kita ambil sebagai
contoh. Beberapa penjelasan diatas mungkin bisa menjelaskan mengenai tujuan
dari pembuatan jurnal ini. Berdasarkan beberapa uraian di atas,
telah menjelaskan bahwa karya ilmiah ini berisi mengenai beberapa pandangan,
mengenai penanganan ataupun perihal penjatuhan pidana terutama untuk anak-anak
yang melakikan tindak kriminalitas. Dengan disertai beberapa contoh kasus yang
saya temukan dari realita hukum di indonesia, karya ilmiah ini mencoba mengulas
tenteng sisi lain keadilan hukum terhadap anak di indonesia yang sebenarnya
patut untuk dipertanyakan. Saya berharap penulisan karya ilmiah ini nantinya
bukan menjadi pengadu domba hukum di indonesia, namun saya berharap kebergunaan
tulisan ini lebih kepada sebagai refleksi hukum di Indonesia, terutama dalam
konteks kriminalitas anak.
Tujuan
penulisan jurnal ini adalah untuk
mengkaji lebih lanjut mengenai hukum di Indonesia, terutama dalam hal tindak
piadana anak-anak remaja dengan disertai berbagai macam ataupun alternatif
peradilan dalam menangani anak yang terlibat dalam tindak pidana atau
kriminalitas. Dengan adanya contoh kasus diharapkan bisa memberikan suatu
gambaran mengenai arah keadilan hukum di Indonesia. Jurnal ini juga berkaitan
dengan masalah perlindungan
anak pelaku tindak pidana dan peradilan anak di Indonesia.
2. Pembahasan
Sebelum membahas
inti dari jurnal mengenai “Arah Keadilan Peradilan Hukum Terhadap Tindak
Kriminalitas Oleh Anak” ini, alangkah lebih baik jika kita mengkaji terlebih
dahulu mengenai apa itu tindak pidana dan mengenai anak remaja.
Tindak pidana
merupakan perbuatan yang dilarang oleh seburah aturan (hukum) yang apabila
dilanggar akan disertai sanksi yang disesuaikan dengan tingkat seberapa berat
tindak pidana tersebut. Secara yuridis tindak pidana juga dapat didefinisikan
sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang atau peraturan yang berlaku. Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana
telah menyerap banyak energi para anak bangsa untuk membangun rekontruksi
sosial.
Untuk pengertian
anak sendiri, di dalam undang-undang no 3 tahun
1997 dijelaskan bahwa, Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan
seimbang. Selain
itu di dalam undang-undang ini juga menyimpulkan bahwa Anak ialah orang yang telah mencapai 8 tahun tetapi belum
mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. Sendangkan Pengertian tentang
anak secara khusus (legal formal) dapat kita ketemukan dalam pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada
dalam kandungan.
Selain
pengertian tentang anak secara umum yang telah dijelaskan di atas, maka dirasa
perlu juga untuk sedikit menjabarkan tentang pengertian dari anak yang
melakukan tindak pidana kriminal, atau dalam bahasan hukum biasa kita sebut sebagai
“Anak Nakal”. Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos RI No. 23/HUK/1996)[2]
menyebutkan bahwa anak nakal adalah anak yang berperilaku menyimpang dari
norma-norma sosial, moral dan agama, merugikan keselamatan dirinya, mengganggu
dan meresahkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta kehidupan keluarga dan
atau masyarakat. Sedangkan pengertian lain dari anak nakal sendiri adalah anak
yang melakukan tindak pidana atau
juga biasa diartikan sebagai anak-anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut perundang-undang maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup di dalam suati masyarakat (negara).[3]
Yang
dimaksud perbuatan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut baik tertulis
maupun tidak tertulis misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan
dalam masyarakat.
Di Indonesia
tindak kriminalitas anak (tindak pidana anak) telah diatur di dalam beberapa
undang-undang, diantaranya adalah Undang-undang no 3 tahun 1997 (Tentang
Pengadilan Anak), Undang-undang no 11 tahun 2012 (Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak), dan Undang-undang no 23 tahun 2002 (Tentng Perlindungan Anak). Di
dalam butir-butir dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah
mengatur mengenai bagaimana cara penanganan terhadap anak yang melanggar hukum.
Ketiga Undang-undang tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melindungui hak-hak
anak sebagaimana telah diatur juga di dalam undang-undang mengenai HAM, demi
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum di dalam sila ke-5
Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Seperti
diketahui bahwa sekarang ini terjadi peningkatan aktivitas kriminal olah anak
yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut sangat memperhatikan bagi pemerintah di
Indonesia. Dalam upaya mengatasi kenaikan julmlah aktivitas kriminal anak di
indonesia sendiri, pemerinta Indonesia telah membentuk sebuah badan yang diberi
nama Pengadilan Anak yang memiliki kekuasaan kehakiman yang masih berada di
lingkungan peradilan umum. Badan ini berwenang dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara anak yang terjerat dalam kasus kriminal. Peningkatan aktivitas kriminal dalam berbagai bentuk
telah menyebabkan munculnya kebijakan-kebijakan baru di dalam hukum di
Indonesia.
Pembaharuan arah
kebijakan hukum di Indonesia sendiri bertujuan untuk menjadikan hukum di
Indonesia semakin baik dalam memberikan perlindungan bagi hak-hak warga negara,
dan menjamin kehidupan generasi muda di masa depan. Dalam praktiknya arah
kebijakan hukum di Indonesia terus mengalami modernisasi dan amandemen-amandemen
demi menyampurnakan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya.
Namun pada
kenyataanya, dalam penerapanya secara langsung di masyarakat, tidak ada
perubahan yang sangat signifikan dalam hukum di indonesia. Bukan menjadi lebih
baik, tetapi palah menjadi tidak karuan. Hukum menjadi tidak memihak ke
siapapun. Entah itu orang dewasa maupun anak-anak. penerapannya saat ini masuh
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang telah dibuat sebelumnya.
Saya mengambil
contoh berdasarkan sebuah kasus yang terjadi di Indonesia yang terjadi sekitar
tahun 2012 lalu. sebuah kasus yang telah membuktikan kegagalan hukum di
Indonesia. Kasus tersebut menuai banyak konflik dan menjadi bahan kontroversi. Kasus
yang menimpa seorang anak yang berusia kurang dari 18 tahun itu menjadi bahan
perbincangan publik. Karena kasus tersebut, banyak terjadi perdebatan serius
mengenai keadilan hukum di Indonesia. Hingga banyak pakar-pakar yan mengecam
atas kegagalan dan kegagalan hukum di Indonesia.
Kasus ini
sebenarnya hanyalah kasus sepele yang sebenarnya tidak pantas untuk diangkat ke
meja hijau. Yaitu hanya karena masalah sebuah “Sandal Jepit”. AAL diduga
mencuri sepasang sandal milik seorang pejabat tinggi di daerahnya seusai
melaknsanakan shalat jum’at. Polisi (aparat setempat) yang menangani kasus ini segera
membawa kasus tersebut ke pengadian secara sekitar untuk dilakukan persidangan
langsung. Akibatnya AAL dianggap terbukti bersalah telah mengambil sandal
tersebut tanpa izi. Yang lebih parah lagi, akibatnya AAL dihukum selama kurang
lebih 4 bulan di dalam tahanan sebelum akhirnya dibebaskan bersyarat.
Kejadian
tersebut sempat menjadi perbincangan para pakar hukum. Sangat disayangkan
keputusan dari aparat sekitar yang membawa kasus tersebut langsung ke meja
hijau. Patut dipertanyakan pula bagaimana seorang aparat hukum yang pada
hakikatnya merupakan orang-orang yang terpercaya dan dianggap sebagai penengah
dalam setiap perkara, langsung mempergunakan jalur meja hijau sebagai jalan
keluar utama, seakan tidak ada jalan keluar lain yang bisa digunakan dalam
memecahkan perkara tersebut.
Penahanan
terhadap anak dibawah umur sebenarnya juga bukan menjadi satu pilihan, tetapi
sedapat mungkin penyidik seharusnya mengedepankan pengambilan keputusan atas
perkara tersebut berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak. Bukan berarti, bahwa
anak kebal dengan hukum di indonesia, akan tetapi harusnya dilihat juga beberapa
pertimbangan-pertimbangan yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan sebuah
perkara tindak kriminal anak. Dalam hal ini proses hukum bisa dan tetap akan dijalankan,
tetapi tidak harus dengan dilakukan penahanan terhadap sang anak. Sebenarnya polisi
dapat melakukan pembinaan terlebih dahulu dalam berbagai cara atau menitipkan
anak tersebut kembali ke orang tuanya untuk kemudian dididik.
Aparat penegak
hukum dinilai tidak mengacu pada undang-undang perlindungan anak. Padahal,
banyak upaya yang sebenarnya bisa dilakukan dalam penyelesaian sebuah kasus
pidana yang dilakukan oleh anak. mengedepankan persuasif yakni upaya damai atau
segalanya. Apalagi di dalam kasus pencurian, polisi masih bisa mencoba cara
damai antara korban dan pelaku.
Dalam konteks hukum, terutama
pemutusan perkara yang dijatuhkan terhadap anak-anak yang melakukan tindak
pidana, seharusnya mengutamakan kepentingan anak atau melihat kriteria
apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan tanpa mengurangi
perhatian kepada kepentingan masyarakat. Selain itu, perlakuan tehadap anak yang
terjerat kasus hukum juga harus mempertimbangkan aspek psikologis dan masa
depan sang anak. Segala bentuk
penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan
memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Apabila kasus diteruskan
sampai persidangan, keputusan yang diambil hakim harus adil serta tidak
semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum. Keputusan hukum tersebut juga
harus mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan
sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta
diatur dalam UU no 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Belum
adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak dan sistem hukum
selanjutnya memandang masalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak hanya pada
urusan pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas
yang terlibat masih merupakan pertimbangan hukum semata.
Menurut Paulus Hadisuprapto (2003),
di Indonesia penjatuhan pidana terhadap anak nakal cenderung merugikan
perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana
penjara. Sehingga kecenderungan tindakan hukum di Indonesia ini, khususnya
terhadap anak bukan semakin membuat anak menjadi baik, namun bisa jadi dengan
diberikannya hukuman hanya semakin menambah kecenderungan pandangan negatif
terhadap anak, khususnya dari lingkungan. Baik dari Lingkungan sekolah tempat
ia menuntut ilmu maupun dari masyarakat sekitar. Beliau juga menjelaskan bahwa keadilan
paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan
seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan
secara memadai dari interaksi mereka dalam sistem peradilan anak.[4]
Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk
sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat
dalam UU No.3 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangannya, serta penghargaan terhadap anaak itu sendiri. Dalam menghukum
anak-anak yang terlibat kasus tindakan kriminal, sebaiknya dengan cara
dikembalikan yang tidak menyebabkan mental dan psikis si anak terganggu.
Dikelmbalikan ke keluarga mungkin adalah jalan terbaik dalam menangani kasus
tindak pidana. Hal
ini mungkin tidak akan membuat jera bagi anak nakal. Namun saat ini peran
orangtua sangat berpengaruh dalam mengarahkan dan mendidik anak agar bertindak
serta bertingkah laku yang baik dan sopan. Masa depan anak itu tergantung
bagaimana para orangtua mengawasinya selama 24 jam di rumah. Sebaiknya para
orangtua membuat kesepakatan di rumah dengan anak terkait hal-hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan. Dengan dikembalikan kepada kedua orang tua, maka
orang tua akan bisa dengan mudah mengawasi dan menjaga pergaulan sang anak.
dengan begitu orang tua akan bisamemantau perkembangan anak.
Penyelesaian tindak pidana, semestinya tidak
harus melibatkan peradilan. Banyak cara yang bisa digunakan dan
diimplementasikan untuk memecahkan dan mencari jalan keluar bagi anak yang
menjadi pelaku tindak pidana kriiminal. Terhadap anak yang melakukan tindak
pidana dapat di kenakan bentuk pidana seperti yang sudah di atur dalam Pasal 23
UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berbagai bentuk pidana yang dapat
di jatuhkan oleh hakim terhadap anak nakal selain bertujuan untuk memberi efek
jera juga harus melindungi hak-hak anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan
terbaik bagi anak (the best interest of child), hal ini di maksudkan untuk
lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang.
3.
Penutup
Kesimpulan
yang bisa saya petik dari tulisan-tulisan diatas antara lain, bahwa terhadap
anak yang melakukan tindak pidana hendaknya jangan dihukum dengan hukuman
penjara ataupun dibawa ke pengadilan.Pemberian sanksi dapat dapat beupa bentuk-bentuk
pidana seperti yang sudah di atur dalam Pasal 23 UU No 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Berbagai bentuk pidana yang dapat di jatuhkan oleh hakim
terhadap anak nakal selain bertujuan untuk memberi efek jera juga harus
melindungi hak-hak anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak
(the best interest of child), hal ini di maksudkan untuk lebih melindungi dan
mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih
panjang.
Demikianlah Jurnal dengan tema
“Arah Keadilan Peradilan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kriminalitas Oleh Anak
(Pandangan Hukum Terhadap Tindak Pidana Anak)”. Saya menyadari penulisan karya
tulis ini jauh dari kata sempurna. Namun semoga dengan kerendahan hati saya
meminta maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan jurnal ini, serta saya memohon masukan dan kritik
yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaan pembuatan jurnal ini. Say
aberharap, semoga jurnal ini nantinya bisa bermanfaat dan memberikan kontribusi
pemikiran bagi seluruh masyarakat khususnya dalam bidang hukum dan peradilan
anak.
Daftar Pusaka
Shalahuddin, O. (2012, 1 6). Odishalahuddin.wordpress.com.
Retrieved from Odi Shalahuddin: http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/01/06/kasus-aal-cermin-penanganan-anak-yang-berkonflik-dengan-hukum-1/
Maskur, M. A. (2012). Pandecta. Perlindngan
Hukum Terhadap Anak Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana
Indonesia, 07(2).
Hadisuprapto,
Paulus. (2006). “Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa
Depan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Dipetik
dari Jurnal “Pengaturan
Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana Untuk Mewujudkan Restorative Justice Dalam
Sistem Peradilan Anak Di Indonesia” oleh Yohanes Hermanto Sirait (2012) Jurnal Hukum UNY-Indonesia.
Republik
Indonesia (2012), Undang-Undang No.11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Republik
Indonesia (2002), Undang-Undang No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Republik
Indonesia (1997), Undang-Undang No.3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
[1] Telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 B ayat 2.
[2] Kepmensos RI No.23/HUK/1996 ini merujuk pada Glosarium Penyelenggaraan
Kesejahteraan Kepmensos yang dikutip dari laman https://www.kemsos.go.id/modules.php?name=glosariumkesos
[3] Pengertian anak nakal telah dijelskan di dalam undang-undang Nomor 3
Tahun 1997, di dalam pasal 1, ayat 2.
[4] Hadisuprapto, Paulus. (2006). “Peradilan Restoratif : Model
Peradilan Anak Indonesia Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar