Postur
Korupsi di Indonesia
Oleh Hanifa Indriana
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Semarang
hanifaindriana@gmail.com
Abstrak
Maraknya
kasus korupsi di Indonesia yang telah membudaya menjadi masalah serius yang
harus diselesaikan secara tuntas. Korupsi merupakan sebuah masalah
yang harus difikirkan secara serius oleh pemerintah guna mewujudkan negara
kesatuan yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai pemerintahan yang baik.
Korupsi mencakup segala penyalahgunaan wewenang sebagai hasil
pertimbangan demi memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini sudah
ada sejak dulu yaitu pada masa
kerajaan di mana kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial dalam kerangka
kekuasaan feodal. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya-upaya
pemberantasan korupsi yang tuntas sampai ke akarnya, diantaranya transformasi
budaya sebagai langkah awal, baru kemudian upaya preventif dan represif. Pemerintah yang baik juga menjadi syarat mutlak untuk
suksesnya pemberantasan korupsi. Jika semua itu dilakukan dengan benar maka negara kita pasti akan terbebas dari
korupsi.
Kata Kunci: korupsi,
Indonesia, kasus, masalah, berantas, preventif.
1. Pendahuluan
Banyak orang yang
beranggapan bahwa korupsi di negara kita telah membudaya. Gejala korupsi tentu
ada di setiap negara dan di tiap zaman. Hal ini akan menjadi masalah serius
ketika gejala korupsi dibiarkan membengkak hingga menguasai tingkah laku
manusia. Tetapi mengadakan usaha untuk memberantas korupsi memang bukan suatu
yang sia-sia. Pada kenyataannya penyelesaian korupsi masih tebang pilih dan
pelaksanaan hukumnya masih belum maksimal.
Merebaknya kasus
korupsi di Indonesia bukan hanya kali ini saja, bahkan budaya korupsi sudah
berakar dari orang-orang terdahulu yaitu pada masa kerajaan di mana kekuasaan
bertumpu pada ”birokrasi patrimonial” dalam kerangka kekuasaan feodal (dalam
Mochtar Lubis dan James C. Scott, 1988: 18). Warisan birokrasi patrimonial kita
telah menimbulkan birokrasi nepotisme, yang memberi jabatan atau jasa khusus
pada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan seperti ini berbuat korupsi dianggap
sebagai sesuatu yang wajar saja.
Kehadiran birokrasi
patrimonial tidak hanya dalam bentuk-bentuknya yang tradisional, melainkan juga
dalam bentuk-bentuknya yang baru, seperti badan pengawas keuangan negara,
inspektur jenderal di tiap kementrian, parlemen, alat penuntut umum, dan
sebagainya. Tetapi bentuk-bentuk modern ini, yang tetap dikuasai oleh
nilai-nilai birokrasi patrimonial yang lama tentu tidak mempunyai kekuatan
untuk menghalangi berkembangnya korupsi. Malahan kita lihat betapa si pengawas
ikut korupsi dengan yang diawasinya. Malahan sampai-sampai alat penyidik,
penuntut umum, dan hakim sendiri banyak terlibat dalam tindak korupsi.
Seperti kasus yang
populer akhir-akhir ini, yaitu kasus yang dilakukan
oleh ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Dalam kasus ini Akil
Muchtar tidak bermain sendiri, bahkan mantan
ketua Mahkamah Konstitusi itu menyeret beberapa nama yang ikut andil di
dalamnya (lihat Suara Merdeka,
4/10/13). Ini merupakan tamparan besar bagi para pengak hukum Indonesia.
Kasus ini
memberikan sedikit gambaran bahwasanya perkorupsian di Indonesia masih sangat
membudidaya dan belum mampu diberantas hingga akar-akarnya. Korupsi merupakan
sebuah masalah yang harus difikirkan secara serius oleh pemerintah, guna
mewujudkan negara kesatuan yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai good govermance.
3. Sekilas Tentang Korupsi
Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian
korupsi itu nampaknya sangat berkaitan erat dengan sistem kekuasaan dan
pemerintahan di zaman dulu maupun di zaman modern ini. Adapun pengertian
korupsi dikaji dari bahasa latin yaitu corruptio
yang mempunyai arti suatu perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat
disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memitnah.
Suapan
atau sogokan dan korupsi saling terkait erat, tetapi bukan tidak dapat
dipisahkan. Seseorang yang menerima suapan bersifat korup atau bejat, tetapi
seorang yang tidak menerima suapan pun mungkin saja bersifat demikian. Korupsi
mungkin mencakup nepotisme atau sikap suka memberi jabatan kepada sanak famili,
serta mengadakan penggelapan. Dalam kedua hal ini terdapat perangsang dengan
pertimbangan tidak wajar. Jadi, korupsi sekalipun khusus terkait dengan
penyuapan atau penyogokan. Jadi keduanya dalah istilah umum yang mencakup
penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi memperoleh keuntungan
pribadi. Dalam arti yang seluas-luasnya, korupsi mencakup penyalahgunaan
kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam masyarakat untuk
maksud-maksud pribadi. Lebih lanjut Salomonson (dalam Mochtar Luis dan James C.
Scott, 1988: 18) menyatakan penyalahgunaan kekuasaan telah berakar dalam
perdagangan swasta, baik di dalam maupun di luar negeri, dan meluas sedemikian
rupa dalam takaran tak terbayangkan.
Dalam
hal ini, Pelaku perbuatan korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang,
yaitu mereka yang menginginkan keputusan-keputusan secara tegas dan yang mampu
untuk mempengaruhi keputusan tersebut dengan tujuan untuk menyelubungi
perbuatannya dan berlindung di balik pembenaran hukum. suatu perbuatan korupsi
jelas melanggar norma-norma tugas dan tanggung jawab dalam tatanan masyarakat.
Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dan didasarkan
atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan
khusus.
4. Penyebab Korupsi di Indonesia
Semakin maraknya kasus korupsi yang
terjadi di Indonesia, maka menimbulkan pertanyaan mengenai penyebab terjadinya
tindakan tersebut. Kini perlu diungkap bahwa tindak pidana korupsi yang telah
mengakar dalam tubuh masyarakat tertentu harus dicari sumber-sumbernya
berdasarkan latar belakang sejarah dan kebudayaanya. Kita mesti meninjau suatu
kemungkinan yang demikian dalam mengungkap sumber-sumber korupsi. Misalnya
perlu diteliti adakah hubungan meluasnya korupsi dengan sejarah perkembangan
masyaralat Indonesia, dengan struktur sosial, dengan kebiasaan, tata cara dan
sikap hidup, serta dengan pola kebudayaan yang dianut. Adapun tindakan-tindakan
atau sikap, perilaku yang menjadi kebiasaan, meskipu di luar dikutuk oleh kita,
tetapi secara diam-diam ditoleransi, pasti mempunyai hubungan dengan pandangan
hidup kita.
Berkaitan dengan
perkembangan korupsi di Indonesia, selain dapat diselidiki dari sebab-sebab
terjadinya tindak pidana itu, juga dapat ditinjau sampai seberapa jauh
masyarakat kita mengutuk korupsi, mentolerirnya, dan menerimanya sebagai jalan
hidup. Adapun terkait faktor penyebab korupsi di Indonesia, Ilham Gunawan
(1993: 9-10) menggolongkannya menjadi tiga faktor.
Pertama, faktor politik atau yang berkaitan dengan
masalah kekuasaan. Lord acton (1902) bahkan menyatakan kecenderungan kekuasaan
pada tindakan korupsi dan kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi yang
berlebihan pula.
Kedua, faktor yuridis yang berkaitan dengan
lemahnya sanksi hukum, maupun peluang terobosan pada peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi (lebih jelasnya
lihat Undang-Undang No. 31 Tahun 1999). Jika membicarakan lemahnya sanksi
hukuman berarti analisis pemikiran mengarah kepada dua aspek, yaitu peranan
hakim dalam menjatuhkan putusan akhir dan sanksi yang memang lemah berdasarkan
bunyi pasal-pasal serta ayat-ayat pada peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Peraturan Perundang-undangan yang tidak
canggih dan tidak mampu mengikuti arus perkembangan ilmu, budaya dan teknologi,
kiranya perlu dengan segera untuk merumuskan dan menyusun kembali peraturan
perundang-undangan tentang korupsi, yang mampu dan sesuai dengan perkembangan
zaman.
Ketiga, faktor budaya sebagaimana yang
disebutkan Mochtar Lubis dan James C. Scott (1988: 18) dapat dicatat bahwa korupsi di Indonesia
antara lain bersumber pada peninggalan peninggalan feodal. Akibatnya masih
dirasakan sampai sekarang dan akan menimbulkan benturan kesetiaan antara
kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban terhadap negara. Banyak
orang terkemuka seperti pejabat dalam masyarakat Indonesia, meskipun berpangkat
rendah menganggap biasa melakukan korupsi. Hal ini tentunya berkaitan dengan
kepribadian yaitu meliputi mentak dan moral yang dimiliki dan kesemuanya itu
berakar dari budaya yang dianutnya. Kondisi tersebut kiranya perlu ditinjau dan
diungkap dalam kaitannya dengan sejarah kebudayaan Indonesia.
5. Taraf Korupsi
Sebagaimana dapat diduga,
perkiraan-perkiraan tentang taraf korupsi di dalam negara- negara yang sedang
berkembang khususnya Indonesia, sama sekali tidak cermat. Desas-desus yang beredar
sangat berlimpah, namun faktanya langka sekali. Tiga hal dapat dicatat.
Pertama, di Indonesia rakyat menganggap korupsi
sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sikap sinis
masyarakat terhadap hal ini sangat menyolok. Anggapan masyarakat bahwa korupsi
merupakan bagian dari kehidupan, umumnya adalah hal yang pertama-tama harus
diubah.
Kedua, para pejabat sependapat dengan masyarakat,
dan pendapat mereka ini adakalanya disokong dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang
di prakarsai oleh pemerintah. Seberapa benar dan bohongnya korupsi di
tingkat-tingkat tinggi, tiada yang mengetahui dengan pasti. Hal yang memang
benar adalah bahwa perjalanan melalui suatu ruangan-ruangan kekuasaan di negeri
ini, sama dengan perjalanan melalui suatu ruangan yang dipenuhi oleh
desas-desus gunjingan, di mana fakta mengenai korupsi pada tingkat-tingkat
tertinggi diterima sebagai fakta wajar, dan satu-satunya hal yang menarik bagi
masyarakat adalah menutupi kisah terakhir dengan sebuah kisah lain yang lebih
menggemparkan lagi (dalam Mochtar Luis dan James C. Scott, 1988: 18).
Ketiga, korupsi tidak terbatas hanya pada beberapa
hirarki resmi, tetapi agaknya meresap keseluruh struktur pemerintahan. Harus
dicatat bahwa sekalipun korupsi di tingkat paling atas menarik paling banyak
perhatian di forum umum, serta meliputi jumlah uang yang besar dalam transaksi
terpisah, korupsi ditingkat paling tendah lebih nyata dan menyolok, dan jumlah
uang yang terlibat mungkin menandingi jumlah korupsi di tingkat tinggi.
6. Akibat-akibat Perbuatan Korupsi yang Merusak
Dalam menganalisa akibat-akibat perbuatan
korupsi, dapat dibedakan dua kategori. Pertama,
akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini adalah akibat-akibat yang merupakan
bagian dari perbuatan itu sendiri, yaitu akibat-akibat yang terkandung dalam
alasan-alasan si koruptor untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, akibat-akibat tak langsung
melalui mereka yang merasakan bahwa perbuatan korupsi telah dilakukan. Ada tiga
golongan pelaku yang terlibat, yaitu golongan yang dikorupsi, si koruptor dan
orang-orang yang tidak terlibat tetapi mengetahui tentang kejadian tersebut.
Dalam
pembicaraan berikutnya, Mochtar Lubis dan James C. Scott (1988: 97-102) menunjukkan
setidaknya ada sepuluh akibat perbuatan korupsi yang merusak, diantaranya
sebagai berikut: (1) suatu perbuatan korupsi merupakan kegagalan pemerintah
untuk mencapai tujuan-tujuanyang ditetapkannya waktu menentukan kriteria bagi
berbagai jenis keputusan. Kegagalan tersebut diantaranya adalah sirnanya
efisiensi serta terjadi pemborosan, menghalangi pembangunan ekonomi sebagai
keseluruhan dan masih banyak lagi kegagalan-kegagalan lain yang bahkan
dampaknya lebih besar bagi kehidupan bangsa; (2) Korupsi menyebabkan kenaikan
biaya administrasi; (3) jika korupsi terjadi dalam bentuk “komisi”, akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan
masyarakat umum; (4) korupsi mempunyai pengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain
dari aparat pemerintah dan menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh
pada nilai-nilai sopan santun yang tinggi. Moral dan akhlak merosot, karena
setiap orang berpikir, mengapa hanya ia saja yang harus menjunjung akhlak yang
tinggi, sedangkan yang lain tidak; (5) korupsi di kalangan pemerintah yang
dilihat olah khalayak umum, menurunkan martabat penguasa resmi, menjatuhkan
kepercayaan masyarakat akan tindakan adil pemerintah, serta merendahkan unsur
hormat rakyat; (6) Korupsi di kalangan suatu golongan elit bukan saja
menurunkan nilai-nilai yang dilihat oleh masyarakat, tetapi juga memaksa
masyarakat melakukan korupsi agar mendapat bagian mereka yang wajar, bukan
untuk mencapai keuntungan-keuntungan luar buasa; (7) keberanian politik yang
luar biasa sukar dipertahankan dalam suasana yang toleran terhadap korupsi; (8)
dengan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap keadilan sikap
pejabat-pejabat pemerintah, timbullah keinginan akan hubungan-hubungan khusus,
guna mengumpulkan “bobot” yang cukup untuk membuyarkan tuntutan-tuntutan yang
sama dari orang-orang lain; (9) karena korupsi merupakan tindakan tidak adil
yang telah dilembagakan, terhadap orang kecil dengan sendirinya timbul
tuduhan-tuduhan, dakwaan-dakwaan bersifat fitnah serta rasa sakit hati yang
mendalam; dan (10) korupsi menyebabkan keputusan akan dipertimbangkan
berdasarkan uang dan bukan berdasarkan hukum. Orang miskin yang mempunyai
kebutuhan mendesak dan wajar, tak akan menemukan belas kasihan.
Disamping
akibat-akibat yang disebutkan di atas, tindakan korupsi juga berakibat langsung
pada diri pelaku korupsi itu sendiri. Tidak hanya hukuman fisik, namun para
pelaku korupsi juga menerima hukuman mental, sehingga mereka tidak dapat
merasakan kenikmatan, ketenangan, keamanan, dan kedamaian (Husain Husain
Syahatah, 2005:24). Tentu saja ini merupakan siksaan batin yang sangat berat
bagi orang yang memiliki kehormatan dan kemuliaan.
7. Transformasi Budaya sebagai Upaya Awal Pemberantasan Korupsi
Jelas pula, bahwa untuk membasmi korupsi
dalam masyarakat seperti kita ini, di mana korupsi berakar pada kebudayaan
lama, dan berasal dari birokrasi-patrimonial dari masa feodal yang lampau,
tetapi yang nilai-nilainya masih bekerja dalam diri kita, maka hanya dengan
melakukan transformasi budaya yang tuntas, barulah kita mempunyai harapan yang
baik untuk dapat berhasil memberantas korupsi di negara kita.
Setelah kita
mengidentifikasikan nilai-nilai budaya mana yang harus kita buang dan
nilai-nilai baru apa yang perlu kita kembangkan hingga berakar dalam masyarakat
kita dan lalu secara sadar kita melakukan transformasi budaya lewat pendidikan,
pemberian teladan, dan sebagainya, maka barulah perjuangan melawan korupsi
dapat dilakukan di atas landasan yang lebih benar.
Untuk menggalakkan
transformasi budaya anti korupsi, kita dapat mencoba apa yang pernah dilakukan
RRC dengan menyesuaikan pada kondisi masyarakat kita. Pada Tahun 1951, di sana
dilancarkan kampanye besar-besaran tiga anti, yaitu antikorupsi,
antipemborosan, dan anti sikap birokrasi yang kaku. Lalu disusul dengan gerakan
masyarakat yang melancarkan lima anti, diantaranya antisogok menyogok, antitipu
daya menghindari pembayaran pajak, antipenipuan, anti mencuri milik negara, dan
antipembocoran rahasia ekonomi.. Jelas pula, bahwa nilai-nilai budaya
birokrasi-patrimonial telah amat ketinggalan zaman, tidak lagi sesuai dengan
kesadaran bangsa kita yang mendambakan birokrasi yang bersih dan jujur,
mengabdi pada kepentingan umum dan seluruh masyarakat.
Dalam masyarakat kita
sekarang, sebenarnya kunci pemberantasan korupsi berada di tangan pemerintah
sendiri. Mereka tidak akan berhenti sendiri berbuat korupsi. Mereka harus
diberi motivasi baru, diberi teladan yang baik, dan di atas kepala mereka harus
ada ancaman hukuman yang berat jika mereka berbuat korupsi, serta masyarakat
harus pula ikut membantu dengan sikap budaya baru, tidak membenarkan korupsi
dengan selalu menolak untuk terlibat dalam penyogokan. Sikap kita terhadap
korupsi harus tegak dan tuntas.
8. Analisis dan Srategi Penanggulangan Korupsi Lebih Lanjut
Dalam usaha pemberantasan korupsi yang
mengganggu pembangunan nasional serta mengembalikan wibawa pemerintah dengan
menciptakan pemerintahan yang bersih telah dilakukan segala upaya. Mulai dari
tindakan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, S.H. dengan kebijakannya
menayangkan koruptor di televisi yang bertujuan untuk memberikan sanksi moral,
sehingga diharapkan akan timbul rasa jera, sampai pada upaya berbagai
pendekatan sistem seperti pendekatan sistem hukum, pendekatan sistem pengawasan
fungsional, sistem pengawasan struktural, dan pendekatan sistem pengawasan melekat.
Hukum pidana yang di
tetapkan pemerintah mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi juga cukup
lengkap dan tangguh. Mulai dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 yang
memberikan ancaman berupa pidana penjara maksimum seumur hidup bagi semua kasus
yang dikategorikan sebagai korupsi, baik yang kecil, sedang, maupun yang besar,
ditambah dan atau denda maksimum tiga puluh juta rupiah (pada saat harga emas
satu gram tiga ribu rupiah), sampai pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
sekarang menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Tidak cukup sampai di situ saja,
instruksi-instruksi kepada pegawai untuk melaporkan percobaan korupsi serta
keyakinan-keyakinan umum berdasarkan etik bahwa korupsi harus ditolak. Namun
kesemuanya itu dianggap sebagai tongkat
yang patah. Yang jauh lebih penting ialah pola tingkah laku di mana tidak
terdapat kejahatan dalam suatu lembaga, baik dari para pemegang kekuasaan yang
bersangkutan maupun dari umum yang belum terkena korupsi. Selain itu, sumpah
penguatan yang diucapkan sebelum memegang jabatan juga perlu diperhatikan
secara khusus, ketika dinyatakan dengan sumpah, atau dengan pernyataan yang
menggantikan sumpah, bahwa untuk memperoleh jabatan itu tidak diterima uang
suap (lihat Undang-undang Dasar Belanda pasal 97). Namun, jaminan terkuat
supaya tidak terjadi korupsi terletak dalam struktur hirarki dari organisasi-organisasi
pemerintahan dan bisnis. Dengan demikian kekuasaan alihan dapat lebih mudah
dicegah dan dibendung.
Disamping semua itu, menurut saya, yang perlu
ditekankan lagi adalah usaha untuk menempuh tindakan institusional. Hal itu
antara lain mencakup: (1) pembangunan dan penyegaran etos pejabat dan pegawai
baik pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik negara atau milik perusahaan; (2) mewujudkan keadilan
sosial dalam segala aspek kehidupan masyarakat; (3) menumbuhkan pengertian dan
kebudayaan politik bahwa kekuasaan dan wewenang itu harus terbuka untuk
kontrol, koreksi, dan peringatan sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan; (4) melaksanakan asas pembuktian terbalik, yaitu meminta
keterangan resmi kepada para pegawai negeri maupun karyawan swasta tentang
pendapatannya selama sebulan penuh secara rinci; (5) meningkatkan pengawasan
melekat, fungsional, dan struktural melalui inspektur jenderal di setiap
departemen dan inspektur wilayah provinsi pada masing-masing pemerintah daerah
di seluruh Indonesia; dan (6) memperkeras sanksi hukuman terhadap para
pelanggar Undang-undang No. 31 tahun 1999, mengenai Pemberantasan Korupsi. Jika
dipandang perlu mengenakan sanksi pidana mati bagi yang menghilangkan, memakai,
dan memanfaatkan uang negara dalam batasan jumlah tertentu yang cukup besar
nilai rupiahnya.
Lebih
lanjut, selain upaya represif harus pula ditempuh sistem preventif dan
penyuluhan hukum kepada masyarakat tentang gejala dan bahaya korupsi, misalnya
dengan mendayagunakan lembaga keagamaan dan lembaga aliran kepercayaan untuk
melakukan khotbah dakwah atau ceramah agama dalam setiap kesempatan dengan menayangankan di televisi, radio, maupun di
media massa dalam wujud gambar dan tulisan. Political
will pemerintah juga menjadi syarat mutlak untuk suksesnya pemberantasan
korupsi. Suatu sisitem pemberantasan korupsi yang hanya bertumpu pada jalur
represif, bukan saja tidak akan mampu memberantas korupsi, bahkan untuk menahan
lajunya korupsi pun tidak akan berhasil.
Demikianlah
tinjauan yang menyangkut strategi dalam menanggulangi perbuatan korupsi,
sebagaimana telah diuraikan. Barangkali uraian tersebut dapat berkenan untuk
dilaksanakan sehingga dapat bermanfaat bagi kesungguhan pemerintah dalam
menuntaskan pemberantasan korupsi di seluruh wilayah Indonesia. Sebab,
bagaimanapun juga suatu pemerintahan yang bersih merupakan modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur, guna memperkuat ketahanan nasional dalam berpacu mengejar perkembangan
ilmu, kebudayaan, dan teknologi pada masa kini maupun masa depan.
9. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis di atas, dapat kita simpulkan bahwa korupsi
telah ada sejak dulu yaitu
pada masa kerajaan dimana kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial. Kini
dalam perkembangan budaya yang semakin maju, para pelaku korupsi melakukannya
dengan lebih canggih. Hal ini sejalan dengan meningkatnya ilmu pengetahuan
manusia menuju pada perkembangan ilmu dan teknologi di berbagai kawasan dunia.
Namun demikian, sebagai warga negara Indonesia, tentunya kita berupaya untuk
mengusahakan kemakmuran ekonomi berdasarkan rasa keadilan sosial, sebagaimana
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Berdasarkan hasil yang dicapai selama ini, koordinasi tugas aparatur
negara dalam menanggulangi korupsi semakin erat dan baik. Akan tetapi, dapat
terungkap bahwa titik terlemah dalam kebijakan pemberantasan korupsi ternyata
berada dalam mekanisme di lembaga peradilan.
Untuk menuntaskan tindak pidana korupsi,
langkah pertama yang harus kita lakukan dalah tranformasi budaya, yaitu dengan mengidentifikasikan
nilai-nilai budaya mana yang harus kita buang dan nilai-nilai baru apa yang
perlu kita kembangkan melalui pendidikan, pemberian teladan, dan sebagainya.
Selanjutnya, melalui upaya preventif seperti penyuluhan hukum dan penyuluhan
keagamaan serta melalui upaya represif diantaranya: pelaksanaan asas pembuktian
terbalik, memperkeras sanksi hukum, dan meningkatkan pengawasan. Sukses tidaknya
pemerintah dalam memberantas korupsi juga
ditentukan dari political will
pemimpin negara yang harus menyatakan perang terhadap korupsi secara konsisten.
Jika semua itu dilakukan dengan benar maka negara kita pasti akan terbebas dari
korupsi.
Daftar Pustaka
Lubis, Mochtar & James
C.Scott. 1988. Bunga Rampai Korupsi.
Jakarta: LP3ES.
Lubis, Mochtar & James C.Scott. 1987. Mafia dan Korupsi Birokratis. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Gunawan, Ilham. 1993.
Postur Korupsi di Indonesia. Bandung:
Angkasa.
Syahatah, Husain Husain. 2005. Suap dan Korupsi dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amzah.
Wiyono. 2005. Pembahasan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta:
Sinar Grafika.
Suara Merdeka. 2013. “Akil Mochtar, Sang Pembuat
Buku Korupsi Malah Korupsi”. Suara Merdeka. 4 Oktober.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar