Oleh Dwi Puji Astuti
Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Semarang
wi2x.pashter@gmail.com
Abstrak
Masyarakat Indonesia saat ini memprihatinkan,
terbukti dengan fakta-fakta penelitian yang menyebutkan rendahnya minat baca
warga Indonesia. Sebuah survei yang menyatakan masyarakat Indonesia lebih
banyak menonton televisi, mendengarkan radio, bermain game daripada membaca
buku dan menjadi peringkat 124 dari 187 negara
dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Maka dari itu dengan
adanya karya ilmiah dapat memberikan solusi pemecahannya. Dari mengetahui
faktor penyebab rendahnya minat baca, upaya peningkatannya, kurikulum sekolah
dan keunggulan membaca serta dengan mengatur pola dan strategi dalam
pembelajaran maupun tatanan budaya membaca dapat membantu untuk meningkatkan
minat baca sekaligus membantu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Kata
Kunci : minat baca, budaya, kurikulum, intelektual.
Pendahuluan
Membaca adalah salah satu
ketrampilan yang paling penting pada manusia yaitu ketrampilan dalam berbahasa.
Dengan berbahasa manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Terlebih lagi
jika manusia senang membaca, maka kemampuan dalam berbahasanya akan baik. Jika berkomunikasi
menggunakan perasaan yang jernih maka akan tercipta komunikasi yang jelas dan
baik. Burns, dkk. (dalam
Suwaryono,1989) mengemukakan bahwa kemampuan
membaca merupakan sesuatu yang yang vital dalam masyarakat terpelajar. Namun
bagi anak-anak yang tidak memahami pentingnya membaca tidak akan mempunyai
motivasi untuk belajar. Sedangkan anak-anak yang melihat tingginya nilai
membaca dalam kesehariannya akan lebih giat belajar. Itulah pendapat seorang
pakar yang secara tidak langsung menyatakan bahwa anak yang tidak memahami
pentingnya membaca berarti anak tersebut tidak mempunyai minat untuk membaca.
Minat
baca warga negara Indonesia sangat rendah dan memprihatinkan. Hal ini
dibuktikan dengan hasil indeks nasional yang menyebutkan bahwa indeks baca di
Indonesia hanya 0,01. Sedangkan rata-rata indeks baca negara maju berkisar
antara 0,45 sampai dengan 0,62. Hasil tersebut membuktikan bahwa Indonesia
menjadi peringkat ketiga dari bawah untuk minat baca (lihat sindonews.com,
19/09/13). Masalah ini yang menjadi titik
fokus karya ilmiah saya dan harus saya carikan solusi. Rendahnya minat baca di
Indonesia menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini
dikarenakan warga Indonesia lebih suka menonton tv, mendengarkan radio,
berkecimpung di dunia internet daripada membaca buku. Inilah yang membuktikan
bahwa kualitas sumber daya manusia di Indonesia semakin tahun semakin menurun
dan tidak memahami keunggulan-keunggulan membaca. Tingkat minat baca warga
mempengaruhi kemajuan pendidikan di Indonesia dan akan mempengaruhi kemajuan
pembangunan bangsa.
Penulisan karya ilmiah ini
bertujuan untuk memberikan penjelasan keunggulan membaca buku daripada yang
lain dan memberikan upaya-upaya peningkatan minat baca di Indonesia. Dengan
adanya penulisan ini diharapakan pembaca dapat ikut serta dalam upaya
peningkatan minat baca di Indonesia, agar mutu pendidikan di Indonesia menjadi
lebih baik.
Acuan
Teori
Pertama, teori yang digunakan adalah
teori kurikulum. Teori ini memberikan gambaran bagaimana kurikulum yang
diterapkan di Indonesia saat ini. Apakah kurikulum itu menekankan anak untuk
pasif atau aktif? Apakah kurikulum pendidikan di Indonesia lebih menekankan
anak untuk membaca buku atau browsing internet? Kurikulum pendidikan mempunyai
peran penting dalam mengembangkan minat membaca anak. Dan kurikulum harus
membuat anak gemar membaca. Bagaimana isi kurikulum saat ini dan kompetensinya
seperti apa? Itulah yang menentukan minat baca anak dari sekarang dan ke
depannya.
Kedua,
teori kebudayaan teori kebudayaan dapat memberikan gambaran sejak kapan dan apa
yang menjadi penyebab rendahnya minat baca? Salah satu faktanya adalah dongeng
sebelum tidur. Kita tidak dapat memungkiri bahwa sejak kecil, sejak belum
mengetahui angka dan huruf kita selalu mendengarkan dongeng dari orang tua
sebelum tidur. Bahkan sampai kita SD pun masih didongengi orangtua. Hal seperti
itu sudah membudaya sejak dahulu hingga saat ini. Budaya seperti itu yang
membuat anak malas dan kurang berminat untuk membaca. Dari kecil hingga dewasa
mereka akan lebih senang mendengarkan karena budaya mendengarkan dongeng dari
kecil.
Ketiga, teori reproduksi sosial yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu seorang sosiolog
Perancis yaitu teori dimana satu generasi dari suatu kelas sosial yang
memastikan bahwa seseorang mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak
istimewanya kepada generasi berikutnya. Bordieu mengkombinasikan teori dan
fakta-fakta yang bisa diverifikasi, dalam upaya untuk mendamaikan
kesulitan-kesulitan, bagaimana memahami subyek di dalam struktur obyektif.
Dalam proses itu, ia mencoba mendamaikan pengaruh dari dua hal yaitu latar
belakang sosial dan pilihan bebas terhadap individu.
Keempat, teori evaluasi dapat mengetahui seberapa jauh perkembangan minat baca warga
Indonesia terutama anak-anak usia sekolah. Evaluasi adalah proses penilaian
terhadap suatu kegiatan pendidikan. Dengan teori evaluasi suatu kegiatan untuk
meningkatkan minat baca dapat dikendalikan dan dapat diketahui mutu dan
hasilnya. Evaluasi dapat mempermudah kita dalam menentukan tujuan peningkatan
minat baca dan umpan balik yang dapat kita terima untuk penyempurnaan mutu
pendidikan di Indonesia.
Data
Fakta Rendahnya Minat Baca
Data-data yang dapat menunjang penulisan ini adalah
data fakta sejumlah institusi atau badan-badan penelitian yang telah melakukan
survei mengenai tinggi rendahnya minat baca warga Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia Nomor 16369-IND dan studi
IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement),
untuk kawasan Asia Timur, Indonesia memegang posisi terendah
dengan skor 51,7, dibawah Filipina dengan skor 52,6. Data lainnya
dari UNDP, angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Pada tahun 2002, Penelitian Human Development Index (HDI)
yang dirilis UNDP menyebutkan, melek huruf Indonesia berada
di posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi
111 di tahun 2009. Pada tahun 2006 berdasarkan studi lima
tahunan bertajuk Progress in International Reading Literacy
Study (PIRLS) yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD),
Indonesia menempati posisi 36 dari 40 negara (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik
menunjukan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai
sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton
televisi (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran
(23,5%). Pada tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi
Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat
Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya
minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya
0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat
baca tinggi). Pada tahun
2012 Indonesia nangkring di posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar
penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan ‘melek
huruf’. Indonesia sebagai Negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya
memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya,
rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang (lihat kompasianan.com, 5/04/13).
Faktor-faktor
Penyebab Rendahnya Minat Baca
Sampai saat ini minat baca warga Indonesia masih terbilang
sangat rendah. Terbukti dari beberapa data yang telah disebutkan di atas. Tak
ada api jika tak ada asap. Takkan rendah minat baca warga Indonesia jika tak
ada faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya minat membaca. Banyak faktor
yang mempengaruhi rendahnya minat baca. Tidak hanya faktor dari dalam diri (internal),
akan tetapi juga faktor dari luar (eksternal).
Pertama, warisan budaya dari
orang tua atau determinisme genetic. Budaya baca belum pernah diwariskan
nenek moyang. Dari sejak kecil kita hanya terbiasa mendengar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat yang diceritakan oleh
orang tua, nenek, dan tokoh masyarakat hanya secara lisan atau verbal saja. Terlalu
sering kita mendengarkan, sampai-sampai tidak ada pembelajaran secara tertulis
yang dapat menimbulkan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca sangat dipengaruhi
oleh faktor determinisme genetic tersebut. Seseorang yang dibesarkan oleh
orangtua yang cinta membaca akan mempunyai kegemaran membaca. Sebaliknya, jika
seseorang dibesarkan dari orangtua yang tidak
cinta membaca maka orang tersebut tidak akan mempunyai kegemaran
membaca. Lingkungan terdekat adalah orang tua. Hal inilah yang akan mempengaruhi
seseorang untuk mendekatkan diri pada bacaan .
Di negara maju, seperti Jepang, budaya membaca adalah suatu kebiasaan yang
telah menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Membaca mereka ibaratkan sandang,
pangan dan papan, membaca adalah bagian dari kehidupan mereka tiap harinya. Sajidiman
Surjohadiprojo, ketika menjabat sebagai duta besar
Jepang mengatakan bahwa yang paling membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa
Jepang adalah kemampuan adaptifnya, termasuk kemampuan membaca dan mempelajari
budaya bangsa lain. Tidak akan dijumpai orang Jepang melamun dan mengobrol di
kereta api bawah tanah, kegiatan mereka kalau tidak tidur tentu membaca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Kedua, determinisme lingkungan. Lingkungan yang dimaksud disini adalah
teman bermain, masyarakat sekitar, rekan kerja, dan guru. Orang tidak senang
membaca juga disebabkan karena lingkungan yang tidak gemar membaca, lingkungan
dimana dia bersosialisasi setiap harinya. Di samping itu juga di masyarakat, di
kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan dan tidak ada peraturan
perusahaan/instansi yang mengharuskan seseorang untuk membaca (lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13)..
Ketiga, sistem pembelajaran dan kurikulum di Indonesia telah membuat
siswa cenderung pasif dan hanya mendengarkan guru mengajar di kelas
daripada mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di
sekolah. Jarang sekali guru yang memberi tugas untuk membaca buku
sebanyak-banyaknya. Misalnya saja PR yang diberikan oleh guru, kebanyakan PR
tersebut berbentuk mengerjakan soal-soal di buku paket atau LKS. Dan jawabannya
pun sudah pasti berada dalam LKS atau buku paket. Sebaiknya PR yang diberikan
lebih berbentuk sebuah proyek yang menyenangkan, dimana anak dituntut untuk
banyak membaca dari berbagai literatur. Dengan begitu wawasan mereka akan
berkembang dan akan menciptakan iklim membaca. Membaca bukan dianggap sebagai
hal yang membosankan dan tidak menarik, melainkan sebagai hal menyenangkan.
Di negara maju, siswa SMA berkewajiban
menamatkan buku bacaan dengan jumlah tertentu sebelum mereka lulus sekolah.
Seperti data yang terdapat di salah satu banner di rumah puisi milik sastrawan
nasional, Taufik Ismail, bahwa di Jerman, Perancis dan Belanda mewajibkan
siswanya harus menamatkan hingga 22-32 judul buku (1966-1975), sedangkan di
Indonesia sejak tahun 1950-1997 nol buku atau tidak ada kewajiban untuk menamatkan
satu judul buku pun. Kepedulian pemerintah dalam sistem pendidikan sangat
berpengaruh terhadap kemajuan bangsa. Yang dilakukan Jepang pertama kali untuk
dengan mengumpulkan para guru. Karena Jepang yakin, bahwa mereka akan dapat
bangkit dan menjadi salah satu negara terkemuka di dunia adalah dengan
kepeduliannya terhadap pendidikan
(lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Keempat, banyak muncul berbagai teknologi dan
tempat-tempat hiburan. Permainan (game) yang makin canggih dan variatif
serta tayangan televisi yang semakin menarik, telah mengalihkan perhatian anak
dari buku. Semakin banyaknya mall, tempat karaoke, dan taman rekreasi. Tempat
hiburan yang didirikan membuat anak-anak lebih banyak meluangkan waktu ke
tempat hiburan daripada membaca buku di perpustakaan maupun taman baca (lihat
bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Kelima, minimnya sarana untuk memperoleh
bacaan. Andai kita harus membeli buku bacaan, harga buku yang ada di pasaran relatif
mahal. Hal ini menyebabkan orang tua tidak membelikan buku bacaan tambahan
selain mengutamakan buku-buku yang diwajibkan oleh sekolah. Terlebih lagi
kondisi ekonomi masyarakat yang kurang mampu, jangankan terpikir untuk membeli
buku bacaan, untuk makan sehari-hari terkadang menjadi hambatan bagi mereka. Pemerintah
sebagai pembuat kebijakan yang mengatur hal ini terutama pihak yang terkait
seperti Departemen Pendidikan, belum memiliki kebijakan yang mampu membuat
bangsa ini merasa perlu membaca
(lihat bimba-aiueo.com, 01/05/13).
Keenam, kemalasan yang merajalela. Sekarang adalah jaman modern, dengan
lingkungan yang modern pula. Namun tidak dengan sendirinya kita sebagai manusia
dapat dikatakan menjadi modern. Kita dapat dikatakan modern kalo dapat
mengubah pola pikir dan perilaku kita. Ciri-ciri manusia modern adalah
jika ia mau membuka diri terhadap pengalaman baru, dan inovasi. Bukan hanya
sekedar malas-malasan.
Menurut Suherman, M.Psi, dalam bukunya
“Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban”
bahwa di negara maju, misalnya Amerika Serikat dan Jepang, setiap individu
memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka
menghabiskan waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari. Sementara
itu, di negara berkembang (Indonesia) hanya dua jam setiap hari. Mereka
cenderung memilih untuk bersantai main game, bermalas-malasan,
menonton televisi atau jalan-jalan ke mall dan ke tempat hiburan lainnya.
Kurikulum
Sekolah
Mulyasa (2003) mengatakan bahwa Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 diharapkan dapat memberikan arah tujuan pendidikan di tanah air semakin
jelas dalam mengembangkan kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM
yang kompetitif di era globalisasi, sehingga bangsa Indonesia tidak selalu
ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan
harus memenuhi prinsip sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat dan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung.
Kedua prinsip di
atas harus saling berkesinambungan. Artinya dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik sepanjang hayat, harus diisi dengan kegiatan pengembangan budaya
membaca, menulis dan berhitung. Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi
khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia harus memuat kegiatan
pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi waktu yang cukup memberi
kesempatan banyak untuk membaca. Demikian pula dalam bahan kajian seni dan
budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang dengan kegiatan
menggambar/melukis, menyanyi dan menari. Kegiatan membaca dan menulis tidak
saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan Bahan Kajian
Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implisit harus tercantum dalam bahan-bahan
kajian lainnya.
Kurikulum Indonesia yang banyak menekankan anak atau
siswa lebih bersifat pasif. Siswa lebih
banyak dituntut untuk mendengarkan gurunya mengajar dibanding membaca buku
sebanyak-banyaknya. Guru pun lebih suka memberi tugas latihan apa yang
dipelajarkan di sekolah hari itu dibandingkan memberi tugas yang mengharuskan
membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebaiknya kurikulum yang diterapkan di
Indonesia adalah kurikulum yang menekankan anak untuk aktif dan banyak mencari
pengetahuan dengan membaca buku sebanyak-banyaknya. Hal ini diperlukan kerja
sama antara guru yang profesional dan berkualitas dalam rangka meningkatkan
minat baca untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Keunggulan
Membaca
Membaca
mempunyai banyak keunggulan daripada surfing internet, menonton
televisi, dan mendengarkan radio. Keunggulan-keunggulan
membaca diantaranya : (1) meningkatkan pengembangan diri, (2) dapat memenuhi
tuntutan intelekual, (3) meningkatkan minatnya terhadap suatu bidang, (4) dapat
menyaksikan dunia lain yaitu dunia pikiran dan dunia renungan, dan (5)
menjadikan pembaca mempunyai tutur kata yang halus.
Pertama,
menurut
Farida Rahim (2005), dengan
membaca seseorang dapat meningkatkan ilmu pengetahuan. Daya nalarnya pun
semakin berkembang dan berpandangan luas. Orang yang gemar membaca lebih pintar
dalam memilah-milah. Hal mana yang lebih bermanfaat bagi masyarakat daripada
kelompok atau dirinya sendiri. Dan mereka akan lebih mementingkan apa yang
bermanfaat bagi orang banyak daripada diri sendiri.
Kedua, menurut Gray dan Rogers (dalam
Supriyono, 1998) dengan membaca buku, pengetahuan bertambah dan perbendaharaan kata-kata
meningkat. Semakin banyaknya pendaharaan kata yang kita ketahui, daya ingat dan
daya intelektual kita akan lebih bagus didandingkan dengan menonton tv atau
mendengarkan internet.
Ketiga,
menurut
Gray dan Rogers (dalam Supriyono, 1998) ketika seseorang menyukai suatu hal, dengan banyak membaca
buku tentang apa yang dia senangi maka akan menimbulkan motivasi untuk
meningkatkan bakatnya. Bakat yang dia senangi yang akan menghasilkan suatu
prestasi dengan memperbanyak membaca buku.
Keempat,
ketika seseorang membaca suatu
buku, dia akan ikut merasakan apa yang terjadi di buku tersebut. Tidak hanya
itu saja, setiap kata yang terdapat pada buku tersebut akan membuat si pembaca
ikut merenungkan dan berfikir jauh apa makna dan apa ang harus dilakukan selanjutnya.
Kelima,
kata setiap kata dalam buku
ditulis dengan sedemikian indah. Dengan kita banyak membaca buku, berarti kita
juga mempelajari kata setiap kata. Menurut Widyamartaya (1992: 140-141), semakin banyak kita membaca buku kita akan ikut
berperilaku dan bertutur kata yang indah seperti dalam buku. Berbeda halnya
dengan internet yang kata setiap katanya tidak ada peninjauan ulang.
Membaca tidak hanya berdampak
pada bidang intelektual saja, akan tetapi membaca juga dapat berdampak pada
kesehatan. Beberapa keunggulan membaca dalam bidang kesehatan yaitu : (1)
melatih otak, (2) meringankan stres, (3) menjauhkan resiko penyakit alzheimer,
(4) mengembangkan pola tidur yang sehat, dan (5) meningkatkan konsentrasi (lihat healt.detik.com,
12/03/2011).
Pertama,
melatih otak adalah salah satu keunggulan dalam
bidang kesehatan. Membaca secara rutin akan membuat otak menjalankan fungsinya
secara sempurna. saat kita membaca berarti kita dituntut untuk berfikir lebih
sehingga akan membuat lebih cerdas. Tetapi, hal tersebut tidak dapat dilakukan
sekali atau beberapa kali saja, akan tetapi harus dilakukan terus-menerus.
Kedua,
meringankan stres. Keindahan
bahasa dalam tulisan memiliki kemampuan untuk menenangkan dan mengurangi stres.
Terlebih lagi jika kita membaca cerita fiksi seperti novel, cerpen, atau komik
sebelum tidur, karena bahasa dalam cerita fiksi biasanya menarik dan indah. Hal
tersebut dianggap dapat mengatasi stres.
Ketiga,
orang yang suka membaca akan
memiliki konsentrasi yang tinggi dan fokus. Semakin sering seseorang membaca,
maka konsentrasinya akan semakin meningkat. Hal ini akan membuat otak menjadi
fokus dan memiliki kemampuan untuk perhatian dan praktis dalam kehidupan.
Keempat,
kebiasaan membaca buku sebelum
tidur akan membuat kita terbiasa tidur pada waktunya. Pola membaca sebelum
tidur dapat bertindak sebagai alarm bagi tubuh dan mengirimkan sinyal bahwa
sudah waktunya tidur. Rutinitas seperti ini akan membantu kita dalam mengatur
pola tidur yang sehat.
Kelima,
menjauhkan risiko penyakit
alzheimer. Membaca dapat meningkatkan daya ingat otak. Ketika membaca otak
dirangsang secara teratur dapat mencegah gangguan pada otak seperti alzheimer. Penelitian telah menunjukkan bahwa latihan otak seperti
membaca buku atau majalah dapat menunda atau mencegah kehilangan memori.
Menurut para peneliti, kegiatan membaca dapat merangsang sel-sel otak.
Upaya
Peningkatan Minat Baca
Masyarakat
Indonesia saat ini kurang berminat membaca. Padahal jika dicermati penerbitan
buku, majalah, koran, tabloid sangat meningkat. Tetapi minat membaca hanya
terbatas pada koran, majalah dan tabloid saja. Sedangkan minat baca pada
buku-buku yang memuat pengetahuan sangat rendah. Maka dari itu diperlukan upaya-upaya
untuk meningkatkan minat baca warga Indonesia terutama anak-anak. Upaya yang
dapat kita lakukan adalah upaya internal maupun upaya eksternal.
Pertama, motivasi keluarga dan
guru. Pada dasarnya, keluarga adalah sumber upaya utama. Keluarga harus mendukung,
terutama dari orang tua harus mencontohkan kegemaran membaca kepada anak-anak
mereka. Selain itu, orang tua juga harus memperhatikan dan mengawasi kegiatan
anak-anaknya. Sementara terkait dengan fasilitas, ketersediaan bahan bacaan di
rumah juga dipenuhi agar membuat anak berminat pada kegiatan membaca. Karena
awal dari gemar membaca adalah rasa ingin tahu terhadap buku bacaan yang ada di
rumah. Selain itu, pihak sekolah / guru bertanggungjawab ikut menumbuhkan minat
baca siswa, karena sumber kreatifitas siswa akan muncul. Sekolah harus mengajar
anak-anak berpikir melalui budaya belajar yang menekankan pada memahami materi
dan membaca buku (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Kedua, tersedianya perpustakaan yang dikelola dengan
baik. Terkait
dengan budaya membaca, tidak lepas dengan adanya peran penting sebuah
perpustakaan terlebih di lingkungan sekolah. Sebuah perpustakaan harus
memberikan pelayanan dan manajemen yang baik dalam memberikan kebutuhan
referensi siswa di sekolah. Jika perpustakaan adalah sebuah produk maka ia
harus menjamin kualitasnya dengan baik. Pustakawan juga harus cerdas dalam
menganalisa koleksi buku apa yang di inginkan dan disuka oleh pelajar maupun
pihak umum. Jika perlu dilakukan penelitian atau request perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar yang sangat
penting untuk menunjang minat baca. Melalui penyediaan perpustakaan, siswa
dapat berinteraksi dan terlibat langsung baik secara fisik maupun mental dalam
proses belajar. Penyediaan buku-buku yang menarik juga dapat menjadi penunjang
minat baca. Tidak hanya buku pelajaran, buku sejarah atau buku ilmiah saja yang
ada di perpustakaan, akan tetapi buku-buku cara berternak yang baik, bertanam
yang baik dan buku-buku yang menarik lainnya yang tidak hanya tersedia untuk
anak-anak, akan tetapi bisa untuk orang dewasa juga. Dan buku tersebut
mengandung informasi yang diinginkan pembaca (Darmono, 2007).
Ketiga, promosi gerakan gemar membaca di lingkungan
sekolah. Cara untuk melakukan promosi ini bisa bekerjasama dengan
pihak kepala sekolah bersama jajarannya. Akan lebih baik lagi jika kepala
sekolah, guru, dan staff sekolah menjadi orang pertama yang mengawali gerakan
gemar membaca di sekolahnya. Bisa juga membuat baliho atau spanduk di sekitar
sekolah yang berisi seruan rajin membaca misalnya, “Ingin jadi Juara dan
Berprestasi ? Rajinlah Membaca” atau yang sejenisnya. Cara
lain bisa juga dengan cara kebijakan sekolah yang mewajibkan semua siswa pada
seminggu sekali atau dua kali diwajibkan untuk membaca sebuah buku di
perpustakaan yang kemudian memerintahkan mereka untuk merangkum buku yang
dipinjam serta menjelaskan poin-poin penting dari buku yang sudah dibaca (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Keempat, memberikan penghargaan untuk orang yang gemar
membaca. Caranya bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak
perpustakaan dan kepala sekolah maupun perpustakaan dengan pemerintah setempat melalui
kebijakan. Hadiah tersebut bisa diberikan kepada orang yang paling sering
meminjam buku di perpustakaan dan mampu menjelaskan apa yang telah mereka baca.
Dan jika siswa atau pelajar ada semacam ketentuan berlaku disini bahwa yang
mendapatkan hadiah adalah mereka yang rajin meminjam buku dan kemudian diikuti
dengan peningkatan prestasi setelah rajin membaca (lihat
cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Kelima,
menyediakan buku murah. Atau dengan
menyelenggarakan pameran buku. Seperti yang ada di Cairo beberapa bulan lalu.
Selain menyediakan buku-buku baru, juga menyediakan buku-buku bekas yang
berharga murah namun masih dalam kondisi yang bagus dan layak baca. Sehingga
pengunjung terutama pelajar, punya keinginan untuk membeli buku yang murah dan
membacanya (lihat cicendekia.wordpress.com, 03/04/13).
Keenam,
pengemasan buku yang menarik. Tidak hanya
kemasan dari luar saja, kemasan dalam segi isi buku juga diperlukan. Kebanyakan
para pelajar suka membaca buku fiksi seperti komik dan novel. Mereka tidak suka membaca buku
ilmiah karena dianggap membosankan. Mereka menganggap buku sejarah itu
menyebalkan dan memusingkan, walaupun sebenarnya buku sejarah itu berisi
tentang cerita dan kejadian-kejadian penting di masa lalu. Hal itu terjadi
karena bahasa yang ada di dalam buku sejarah sulit dimengerti oleh siswa,
selain itu nama-nama dan tanggal-tanggal yang ada di dalamnya juga membuat
mereka jenuh. Lalu, bagimana jika sejarah itu dikemas dalam bentuk yang menarik
dan berbeda. Seperti dijadikan suatu komik yang disertai dengan ilustrasi
gambar. Atau dikemas dalam bentuk novel, yang hanya fokus terhadap jalan cerita
dan tidak banyak mencantumkan tanggal-tanggalnya (lihat cicendekia.wordpress.com,
03/04/13).
Kesimpulan
Minat baca warga negara Indonesia terutama anak-anak sangat
rendah karena mereka lebih menyenangi menonton tv, main game pada komputer,
ipad, gadget dibanding membaca. Meskipun hanya membaca buku cerita, mereka lebih
menyukai hal-hal tersebut. Untuk itu kita harus segera mengubah pola, strategi
dan kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia agar minat baca warga Indonesia
meningkat. Dengan upaya meningkatkan minat baca, berarti kita juga meningkatkan
mutu pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Semakin kecil indeks minat baca berarti semakin
rendah pula mutu pendidikan di Indonesia. Sebaliknya jika semakin tinggi indeks
minat baca berarti semakin tinggi pula mutu pendidikan di Indonesia
Apabila dirunut
minat baca sangat berkait dengan kualitas suatu bangsa. Rendahnya kebiasaan dan
kemampuan membaca masyarakat kita disebabkan rendahnya minat baca, dan tidak
mengondisikan kedalaman pengetahuan dan keluasan wawasan. Di samping itu,
rendahnya kebiasaan dan kemampuan membaca berpotensi menurunkan angka melek
huruf yang secara langsung menentukan mutu pendidikan dan kualitas bangsa. Kurangnya
minat baca telah tertutupi oleh gaya hidup pelajar yang hedon. Kehidupan hedon
yang dimaksudkan adalah suka jalan-jalan ke mall, bermain-main ke tempat
hiburan, pergaulan sudah mengarah pada pergaulan bebas. Kondisi seperti ini
membuat keingintahuan pelajar tidak ada. Ada sifat dalam diri pelajar yang
sangat buruk. Yakni, masa bodoh atau tidak ingin tahu.
Daftar
Pustaka
Suherman. 2010. Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban.
Bandung : MQS Publishing
Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Rosda
Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca Di Sekolah Dasar. Jakarta
: Bumi Aksara
Wiryodijoyo, Suwaryono. 1989. Membaca
: Srategi, Pengantar dan Tekniknya. Jakarta : P2LPTK
Darmono. 2007. Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Grasindo
Widyamartaya, A. 1992. Seni Membaca untuk Studi. Yogyakarta: Kanisius
Supriyono.
1998. “Kontribusi
Pustakawan Dalam Meningkatkan Minat Baca”. Media
Pustakawan Vol. V, No. 3
Referensi Media Massa
Sindonews. 2013. Minat Baca Masyarakat Indonesia Ketiga
dari Bawah. Diperoleh 4 Oktober 2013, dari http://daerah.sindonews.com/read/2013/09/19/22/785115/minat-baca-masyarakat-indonesia-ketiga-dari-bawah
Arismunandar, Satrio. 2009. Pierre Bourdieu
dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa, dan Kekerasan Simbolik. Diperoleh
12 Oktober 2013, dari http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/pierre-bourdieu-dan-pemikirannya.html
Kompasiana. 2013. Ciyus,Ini 12 Fakta SBY Gagal Tingkatkan
Minat Baca. Diperoleh 17 Oktober 2013, dari http://metro.kompasiana.com/2013/04/05/ciyus-ini-12-fakta-sby-gagal-tingkatkan-minat-baca-548552.html
Ranis. 2013. Kenapa
Minat Baca di Indonesia Rendah?. Diperoleh 26 Oktober 2013 dari http://www.bimba-aiueo.com/kenapa-minat-baca-di-indonesia-rendah/
Detiknews. 2011. 5
Manfaat Membaca Buku untuk Kesehatan. Diperoleh 1 Desember 2013, dari http://health.detik.com/read/2011/03/12/075450/1590162/766/5-manfaat-membaca-buku-untuk-kesehatan
TPP Cahaya Insan Cendekia. 2013. Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa. Diperoleh 17 Oktober 2013,
dari http://cicendekia.wordpress.com/2013/04/03/upaya-meningkatkan-minat-baca-siswa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar