Oleh
Muhammad Firdaus Immas
Jurusan
Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Keselarasan
hubungan manusia dengan lingkungan fisik, bukan hanya akan dapat dipakai untuk
mengembangkan daya dukung alam, tetapi juga dapat dipakai untuk mengembangkan
diri manusia dan masyarakat. Apabila ini yang terjadi, akan tercapai suatu keselarasan
hubungan antara alam dan manusia. Kondisi kebudayaan suatu bangsa dan tingkat
pembangunan yang diupayakan berada pada hubungan yang saling mempengaruhi.
Karena itu, keanekaragaman suku-bangsa dan golongan sosial di Indonesia, telah
memunculkan pula terjadinya berbagai pola strategi adaptasi. Oleh karenanya
pemahaman terhadap strategi adaptasi suku-bangsa dan golongan sosial tertentu,
yang tercermin pada peta kognitif dan dipelajarinya melalui proses
sosialisasinya, akan dapat diperoleh pemahaman dan mampu memberikan penjelasan
terhadap fenomena sosial yang sedang terjadi dan dihadapinya.
Keywords : konsep,
perkembangan, pewarisan, persebaran kebudayaan Indonesia, masyarakat.
1. Pendahuluan
Penulisan ini dilakukan untuk dapat
memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam pemahaman
tentang konsep kebudayaan, ekologi kebudayaan, pewarisan dan perkembangan
kebudayaan, persebaran kebudayaan, kebudayaan dan inovasi. Ada 2 (dua) yaitu : (1) Kurangnya
pemahaman masyarakat tentang konsep, ekologi, pewarisan dan perkembangan,
persebaran, dan kebudayaan dan inovasi; (2) Kurangnya pemahaman tentang
hubungan konsep, ekologi, pewarisan dan perkembangan, persebaran, dan
kebudayaan dan inovasi terhadap lingkungan.
Kata
kebudayaan yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang juga merupakan
bentuk dari kata buddhi ataupun juga budi dan akal yang bias juga diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris juga menyebutkan, kebudayaan yang disebut culture, yaitu berasal dari
kata Latin Colere, yang mengolah ataupun mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (lihat wikipedia.org, 2013).
Terdapatnya
keanekaragaman manusia dan kebudayaan yang berada di muka bumi ini, telah
menarik perhatian dari para ahli antropologi. Pada dasarnya, kebudayaan adalah
proses adaptasi, yang terjadi karena ada yang berpendapat bahwa konsepsi
tentang kebudayaan ialah sebagai strategi adaptasi terhadap pada lingkungan.
Sementara itu, keanekaragaman kebudayaan adalah disebabkan oleh lingkungan
tempat tinggal yang berbeda. Penilaian bahwa salah satu dari penyebab
keanekaragaman kebudayaan juga disebabkan oleh faktor ekologi.
Sebagian
besar masyarakat desa di Indonesia, diliputi oleh sindrom kemiskinan dan
sindrom enersia dan dimensi yang terkait ke dalam dua jenis sindrom tersebut
amat kompleks dan saling terkait. Karenanya upaya untuk mengembangkan sumber
daya alami yang tersedia di suatu kawasan, sering dihadapkan pada kendala sosial-budaya
yang melekat pada diri manusia. Introduksi suatu in-put baru pembangunan akan
menyentuh soal preferensi nilai-nilai (lihat referensimakalah.com,2012).
2. Konsep
Kebudayaan
Konsep kebudayaan telah berkembang di kalangan para ahli antropologi, dan
telah berkembang juga di berbagai bidang pemikiran.Masih banyak yang dijumpai,dan
belum ada konsistensi penggunaannya, terutama dalam pemakaiannya yang juga terdapat kekurang pahaman yang kurang
jelas. Menurut Roger M. Keesing dan Goodenough berpendapat pada tahun 1981 1957
dan 1961, bahwa dalam konteks definisi serta penggunaannya seringkali masih
kabur, misalnya seperti dalam membeda-bedakan antara teori pola untuk perilaku
dan pola dari perilaku (Poerwanto,2008:56).
Kebudayaan sebagai “pola untuk perilaku” adalah yang
mengacu pada “pola kehidupan suatu masyarakat”,yaitu berupa berbagai kegiataan
ataupun bentuk-bentuk pengaturan sosial dan material. Dan sedangkan pengertian
“pola dari perilaku”, adalah berupa gagasan yang mengacu pada sistem
pengetahuan dan kepercayaan, yang menjadi pedoman untuk mengatur tindakan
mereka.
Dalam pengunaan sehari-hari, kata “kebudayaan” dan
“budaya” yang dianggap memiliki sebuah kesamaan dalam ruang lingkup
sementaraitu juga, sering ditemukan kerancuan penggunaan karena sebuah kesalahan
dalam menterjemahkan.
Menurut beberapa para ahli antropologi yang
mengemukakan dalam buku seperti E.B. Tylor yang menuliskan pendapatnya dalam
buku yang berjudul “Primitive Culture” yang diterbitkan pada tahun 1871, yang
berisi tylor mengungkapkan bahwa kata kultur arti dalam bahasa Jerman adalah
sama pengertiannya dengan sebuah kata “civilization” dalam bahasa Inggris (Poerwanto,2008:57).
Budaya yang juga sebagai sistem pemikiran yang mencakup dalam sistem
gagasan, konsep-konsep, aturan-aturan dan serta pemaknaan juga yang mendasari
dan diwujudkan dengan kehidupan yang dimilikinya melalui proses belajar. Dan C.
Geertz pula berpendapat bahwa “kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki
bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan hanya
proses perorangan” . Dalam perkembangannya terlihat bahwa pembatasan kebudayaannya
yang lebih menekankan pada hal-hal yang dinilai abstrak daripadayang dinilai
konkret, seperti yang dituliskan oleh C. Geertz yang menuliskan dalam bukunya “The
Interpretation of Cultures” pada tahun 1974 (Poerwanto,2008:59).
Dan ia menganjurkan supaya dapat memahami suatu kebudayaan yang lebih
memperhatikan pemahaman makna daripada tingkah laku manusia, ataupun hanya
sekedar mencari dalam hubungan sebab akibat. Agar bisa memahami makna dari
suatu kebudayaan maka dari itu para ahli antropologi harus sanggupmemahami
simbol-simbol yang dipergunakan oleh seseorang. Suatu penafsiran konfigurasi
atau sistem simbol-simbol bermakna tadi, harusnya dilakukan secara menyeluruh
dan mendalam. Dengan seperti itu, suatu pemahaman kebudayaan dapat mencakup
bagaimana para warga masyarakat itu melihat, merasakan dan berpikir mengenai
sesuatu di sekelilingnya. Sama dengan pandangan C. Geertz, dalam sosiologi juga
berkembang dalam pemikirannya interaksionis simbolik dari para ahli antropologi
seperti Herbert Blumer mengatakan tahun 1969 dan Ritzer mengatakan pada tahun 1988
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Poerwanto,2008:59).
3. Ekologi
Budaya
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang saling keterkaitannya
antara organisme dengan lingkungannya, termasuk juga dengan lingkungan fisik
dan berbagai bentuk hidup organisme. Sementara itu banyak dari para kalangan ahli
antropologi menyadari bahwa sesungguhnya tidak selalu alam sekitar itu mempengaruhi
kebudayaan suatu masyarakat (Poerwanto,2008:67).
Julian H.Steward pada tahun 1955 melakukan
pendekatan ekologi budaya. Ia memakai istilah cultural ecology, merupakan ilmu
yang mempelajari tentang bagaimana manusia sebagai makhluk hidup yang bisa
menyesuaikan dirinya pada suatu lingkungan geografi tertentu. Ia terkejut
dengan pertumbuhan peradaban di Peru dan Meso Amerika, yang ternyata menemukan
sejumlah persamaan. Dan dengan itu, ia menyarankan kebutuhan yang akan dikaji dengan
keterkaitan hubungan antara teknologi didalam suatu kebudayaan dengan
lingkungannya, antara lain dengan cara menganalisis hubungan tentang pola tata
kelakuan didalam suatu komunitas dengan teknologi yang digunakan sehingga,
warga dari suatu kebudayaan yang dapat melakukan aktivitas mereka dan yang pada
akhirnya sanggup bertahan hidup terus-menerus. Dalam rangka analisisnya, yang juga
harus mampu menjelaskan tentang bentuk-bentuk hubungan dari pola-pola tata
kelakuan tersebut dengan berbagai unsur lain dalam sistem budaya mereka. Dibalik
itu semua ada juga yang harus diupayakan dalam mengungkapkan tentang berbagai
lain yang dilakukan sehingga suatu komunitas dapat tetapbertahan hidup, serta
dengan berbagai kegiatan sosial dan dengan hubungan-hubungan antar pribadi di
kalangan mereka (Poerwanto,2008:68).
Awalnya dari, J.H.Steward mengatakan bahwa proses
perkembangan kebudayaan itu didunia ini memiliki corak khas dan unik. Proses
perkembangannya di berbagai belahan bumi yang tidak terlepas antara satu dengan yang lainnya,
dan bahkan ada pula beberapa diantaranya yang tampak sejajar dari
lingkungan-lingkungan tertentu. Contoh yang ia berikan adalah yang dilakukan
pada saat masyarakat berburu, maka ada kecenderungan mereka untuk hidup di
lingkungan alam yang sulit dengan binatang buruan yang hidup terpencar. Agar ia
dapat mendapatkan binatang buruan, maka mereka harus benar-benar mengenal
lingkungan alam tempat ia berburu. Untuk itu mereka harus hidup secara
berkelompok. Karena ia harus mengambil wanita dari kelompok lain untuk
dikawini, mereka harus membawa gadis itu kedalam kelompoknya
(Poerwanto,2008:69).
Apabila dalam suatu lingkungan tertentu jumlah binatang
buruannya terbatas, ia harus hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Dan sebaliknya
jika di daerahnya luas dan jumlah binatang di kawasan buruan itu hidup dalam
kawanan besar dan berpindah-pindah secara berulang tetap menurut musim, maka
jumlah anggota kelompok pemburu tersebut juga akan lebih besar dari kelompok
itu. Untuk itu mereka harus mengembangkan pola-pola hubungan dengan kerabat
wanita istrinya, baik berkaitan dengan pola menetap sesudah nikah maupun adat
perkawinannya (Poerwanto,2008:70).
Sama halnya juga pada kalangan masyarakat yang juga telah
mengenal sistem pertanian. Yang jumlah penduduknya sedikit dan tanah masih
luas, mereka harus berkehidupansecara terpencar dalam desa-desa kecil. Apabila
jumlah penduduk semakin banyak maka akan terjadi kekurangan tanah sehingga
orang tidak lagi didapat begitu saja meninggalkan ladang mereka yangsudah tidak
subur. Orang terpaksa mengerjakan sebidang tanah untuk waktu yang lama, dan hal
ini hanya mungkin dilakukan jika ada irigasi dan pemupukan.
Dalam perkembangan kemudian, semakin lama kehidupan
mereka semakin kompleks. Sementara itu di kalangan masyarakat juga terjadi atau
muncul berbagai jenis pekerjaan lain seperti tukang dan pendeta. Untuk itu
perlu ditentukan kelas-kelas sosial dari mereka ini, dan muncullah berbagai
aturan yang mengantar hubungan di antara mereka. Dengan kata lai, suatu
perkembangan kebudayaan tersebut disebut dengan evolusi yang multilinear
(Poerwanto, 2008:71).
4. Pewarisan dan
Perkembangan Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
terpisahkan, karena manusia merupakan pendukung kebudayaan. Jika manusia akan
mati, kebudayaan yang dimilikinya akan selalu diwariskan kepada keturunannya, dan
seterusnya. Pewarisan kebudayaa seperti manusia, tidak hanya kepada anak dan cucu
mereka, melainkan bisa juga dilakukan dengan cara manusia yang satu dapat belajar
kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagi pengalaman dalam rangka kebudayaannya,
yang akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau bisa juga dikomunikasikan
dengan individu lainnya karena manusia mampu mengembangkan gagasannya sendiri
dalam bentuk lambang-lambang vokal seperti bahasa, yang dikomunikasikan dengan
orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis.
Kebudayaan berkembang secara akumulatif, dan semakin
lama semakin bertambah banyak. Untuk meneruskan dari generasi ke generasi,
diperlukan suatu sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada yang
dimiliki binatang, yaitu seperti bahasa, baik lisan, tertulis maupun dalam
bentuk bahasa isyarat. Agar suatu kebudayaan dapat merespon berbagai masalah
kelangsungan hidup manusia dan tetap dipelajari oleh generasi berikutnya, serta
tetap “lestari” maka suatu kebudayaan harus mampu mengembangkan berbagai saran
yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok para individu (Poerwanto,2008:89).
Pada dasarnya ada tiga pandangan untuk memahami proses
perkembangan kebudayaan. Pandangan pertama, beranggapan bahwa kebudayaan
mengandung berbagai fakta sosial dan merupakan gambaran kolektif untuk
mengungkapkan pemikiran dan perasaan dari para individu. Oleh karena itu
tingkah laku manusia ditentukan oleh kebudayaannya, dan bukan sebaliknya.
Pandangan kedua, sering dipergunakan oleh para ahli
antropologi, dan mengatakan bahwa suatu konsep untuk suatu konstruksi. Melalui pandangan
kaum konseptualis inilah kebudayaanyang pada akhirnya dapat dipakai untuk
menjelaskan dan menggambarkan berbagai tingkah laku dan yang dihasilkan oleh
makhluk manusia. Menurut R.Linton pada tahun 1945, semua kebudayaan
dapatdijelaskan secara sosiopsikologikal, karena kebudayaan hanya merupakan
wujud dari pikiran seseirang yang akhirnya merupakan suatu kepribadian jika ia
berinteraksi dengan individu lain dalam masyarakat (Poerwanto,2008:90).
Pandangan ketiga, adalah pandangan yang melihat
bahwa kebudayaan itu bersifat abstrak, dan merupakan suatu konstruksi dan
bukannya suatu entitas yang dapat diperhatikan secara menyeluruh. Sementara itu
kebudayaan juga merupakan sesuatu yang nyata, atau yang tidak perlu
dipersoalkan hakikatnya.
Berbagai unsur kebudayaan asing yang datang, sering
merupakan serpihan dan bukan merupakan budaya induk, dan merupakan pecahan
serta terputus dari budaya induknya. Kebudayaan yang dibawa oleh para perantau
Cina di Indonesia misalnya, bukan budaya dari kalangan “Mandarin” maupun
“bangsawan”, melainkan suatu budaya yang dimiliki oleh suatu kolektiva tertentu
(Poerwanto,2008:92). Budaya serpihan tadi juga bukan merupakan suatu “sub
culture” maupun budaya suatu “ethnic groups”, karena seringkali dikaitkandengan
konotasi “budaya tingkat rendah”. Seringkali budaya serpihan tadi harus mencari
‘gantungan’ dan fungsi baru dalam suatu budaya induk baru dan dalam alam budaya
baru. Melalui perjalanan sejarah dapat dipahami bahwa serpihan budaya tadi
terpisah dari induknya sebagai akibat penjajahan atau penguasaan oleh bangsa
asing.
5. Persebaran
Kebudayaan
Memahami sejauh manakah yang dapat menyebabkan perubahan, baik sosial
maupun budaya. Telah disadari bahwa suatu perubahan yang terjadi, tidak selalu
dapat diartiakan sebagai kemajuan namun dapat pula dianggap sebagai kemunduran
karena akibat berubahnya unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki.
Pertama kalinya, studi difusi kebudayaan berawal
dari rasa tertarik untuk mengetahui mengapa beberapa kebudayaan di bumi
seringkali di daerah yang sangat berjauhan, terdapat unsur-unsur kebudayaan
yang sama, baik dalam bentuk-bentuk maupun isinya. Dalam perkembangan dan
persebaran unsur-unsur kebudayaan, ternyata tidak harus disertai perpindahan
dari kelompok-kelompok manusia.Persebaran kebudayaan terjadi karena komunikasi
mereka melalui media komunikasi seperti buku-buku, suratkabar, majalah, dan
berbagai media audiovisual.
Akan tetapi di Jerman pada akhir menjelang abad
ke-XIX yang dipelopri oleh F. Ratzel, muncul pemikiran lain dalam memandang
persamaan yang dianggap sebagai akibat terjadinya hubungan dari bangsa-bangsa
pendukung kebudayaan di masa lampau dan itu mengakibatkan persebaran kebudayaan
dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Oleh karena itu, jika ada persamaan unsur kebudayaan
di daerah A, B, dan C; telah mengalami evolui yang sama, dengan kata lain di
tiga tempat itu telah mengalami “independent envention”, atau menurut A.Bastian
memiliki persamaan dalam pemikiran dasar. Sedangkan menurut laum difusionis
seperti G. Gerland, bahwa terjadinya persebaran kebudayaan (Poerwanto,2008:98).
Dan ternyata sependapat dengan kaum evolusi,
karenadalam perkembangan makhluk manusia dan mendapatkan beberapa jenis “invention”
saja. Oleh karenanya, para ahli pada awal abad XX cenderung berpendapat bahwa
terdapatnya sejumlah persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di
muka bumi ini lebih disebabkan oleh persebaran kebudayaan.
F. Ratzel menyimpulkan bahwa persamaan bentuk-bentuk
busur, yaitu terlepas dari variasi bentuk karena perbedaan bahan dan fungsinya
(Poerwanto,2008:99). Dan juga menemukan persamaan-persamaan lain seperti bentuk
rumah mereka, topeng, pakaian dan sebagainnya. Dan disimpulkan bahwa di masa
lalu, terdapat hubungan diantaranya bangsa-bangsa yang mempergunakan busur
tersebut. F.Graebner mengembangkan metode klasifikasi “Kulturkreise-Kulturschichten”
dengan tujuan membuat perkembangan dan persebaran kebudayaan manusia (Poerwanto,2008:99).
Pemikiran F.Boas menganjurkan agar penelitian
tentang perkembangan dan persebaran kebudayaan dilakukan pada suatu daerah yang
terbatas (Poerwanto,2008:100). Untuk itu, suatu kawasan tertentu harus dikaji
sedalam-dalamnya untuk memperoleh pengetahuan tentang hal-hal kecil dalam
proses difusi.
Menurutnya terjadi perkembangan unsur-unsur
kebudayaan lama ke arah pinggir disekeliling pusat pertumbuhan. Pemikiran Boas
lainnya, dikembangkan oleh muridnya C.Wissler, yaitu konsep “culture area”.
Berbagai unsu kebudayaan, baik yang kongkret (senjata, alat-alat transport)
maupun yang abstrak (sistem kekerabatan, upacara-upacara keagamaan);
berdasarkan atas persamaan sejumlah ciri-ciri yang spesifik, digolongkan ke
dalam suatu daerah kebudayaan (Poerwanto,2008:101).
6. Kebudayaan
dan Inovasi
Salah satu upaya untuk mengkaji perubahan yang terjadi dalam masyarakat
dengan bertitik-tolak dari sumber perubahan. Menurut Rogers dan Shoemaker,
sumber perubahan itu berasal dari dalam disebut dengan perubahan “immanen”
sedangkan sumber yang berasal dari luar disebut dengan kontak. Perubahan “immanen”
terjadi apabila ide baru tersebut diciptakan dan dikembangkan oleh warga suatu
masyarakat tanpa adanya pengaruh dari pihak luar, dan akhirnya ide baru
tersebut menyebar ke seluruh sistem sosial (Poerwanto,2008:170).
Selanjutnya, kontak memiliki dua jenis perubahan
yaitu selektif dan terarah. Perubahan kontak selektif terjadi apabila warga
suatu system sosial bersikap terbuka terhadap pengaruh yang datang dari luar.
Sedangkan perubahan kontak yang terarah, memang disengaja oleh pihak luar,
misalnya para “charge agent”, yang secara intensif guna suatu tujuan tertentu
berusaha memperkenalkan ide-ide baru.
Sering kali pihak luar yang ingin melakukan
perubahan memandang bahwa perubahan yang akan dia lakukan itu cocok dan akan
ber manfaat dan sebaliknya dengan masyarakat yang meruapkan obyek dari
perubahan recipient. Cara mengetahui dan memahami serta mengintepretasikan
secara baik berbagai gejala dan peristiwa yang terdapat dalam suatu lingkungan
tertentu, kebudayaan memiliki model-model kognitif yang berperan sebagai
kerangka untuk memahaminy.
Oleh karenannya pola-pola kelakuan tertentu yang
diwujudkannya oleh makhluk manusia adalah sesuai dengan rangsangan dan
tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, Spradley mengutip pada
tahun 1972 bahwa suatu kebudayaan yang merupakan serangkaian aturan, strategi,
maupun petunjuk; adalah perwujudan model-model kognitif yang dipakai oleh
manusia yang memilikinya guna mengahadapi lingkungannya (Poerwanto,2008:175).
Permasalahannya, sejauh manakah dalam kenyataannya
kebudayaan dari makhluk manusia, baik dalam konteks etnik maupun golongan
sosial; melihat, menginterpretasi dan kemudian mengadaptasikan dirinya dengan
suatu lingkungan fisik tertentu. Dengan kata lain, suatu komunitas tertentu
dipakai sebagai suatu strategi adaptasi dalam menghadapi suatu lingkungan
biogeofisik tertentu sehingga ia tetap mampu melangsungkan kehidupannya.
Prosesnya juga dipengaruhi oleh presepsi dan
intepretasi seseorang terhadap suatu obyek, yang selanjutnya menuju pada sistem
kategorisasi dalam bentuk respon atas kompleksitas suatu lingkungan.
Foster pun mengemukakan pendapat pada tahun 1969,
bahwa ada tiga klasifikasi tentang hambatan dalam inovasi, hambatan pertama
adalah berkaitan dengan system nilai, perilaku, sikap dan kepercayaan
(Poerwanto,2008:174). Kedua hambatan sosial yang mengutamakan dengan antar
individu dan inovasi bertentangan dengan pranata sosial. Ketiga adalah hambatan
psikologis yang berkaitan dengan penyampaiannya secara pesan program inovasi.
Selain Foster, ada juga yang mengemukakan pendapat
yang mengatakan bahwa hambatan dari suatu dapat disebabkan melalui aspek ekonomik,
yang dikatakan oleh Rogers dan Shoemaker pada tahun 1987 (Poerwanto,2008:174).
Dewalt mencoba untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari aspek ekonomik dalam
adopsi inovasi, dan salah satu model yang dikemukakannya adalah “the
homogeneity model”.
Keputusan dalam menolak ataupun menerima bukanlah hal keputusan
mutlak, melainkan bisa juga berupa dalam waktu tertentu. Perubahan pun dapat
terjadi secara lambat bisa juga dengan secara cepat, karena perubahan merupakan
akibat dari perencanaan dan bisa juga merupakan akibat dari yang bukan
perencanaan. Jadi jika sebelumnya sudah menyiapkan konsep untuk
menanggulanginya maka dapat berjalan sesuai perencanaan.
Bidang teknologi dalam inovasi juga dapat
mengakibatkan perubahan kebudayaan. Dan tahap inovasi biasa melalui dengan dua
tahapan, seperti discovery dan inovention. Alat tertentu yang diciptakan
melalui gagasan seseorang ataupun beberapa orang itu disebut dengan discovery,
dan sudah dikatakan inovention apabila masyarakat sudah menerima adanya
teknologi.
7. Kesimpulan
Setelah
dianalisa kajian diatas,ternyata adanya keterkaitan yang saling
terintegrasi,dapat dilihat melalui berbagai fungsi yang terjalin dari unsur-unsur
tersebut, terutama yang menjadi fokus dari suatu kebudayaan, maupun yang
berkaitan dari etos suatu kebudayaan. Kebudayaan mengenal ruang dan tempat
tumbuh kembangkangnya, dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan.
Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa ke masa,
dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat dan
waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping
perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, suatu kebudayaan dapat dipandang
ketinggalan zaman dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal.
Saran
saya, dengan adanya kebudayaan Indonesia yang semakin berkurang seperti halnya
yang terjadi di Jawa banyak hal penyalahgunaan kebudayaan yang menjerumus ke
aliran yang musrik, seperti yang dilakukan para warga dengan meletakan sesaji
di tempat-tempat yang sakral, itu menurut saya tidak mempertahankan kebudayaan
tetapi malah merusak dan menghilangkan.Maka dari itu untuk dilestarikan
kebudayaannya bukan mengarah pada hal-hal syirik maupun musrik.
Daftar Pustaka
Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Referensi
Media Massa
Al-Hafizh, M.
2012. Pengertian Budaya dan Kebudayaan. http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-budaya-dan-kebudayaan.html. 2 November
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar